TWENTY FIVE ||

1.3K 63 4
                                    

Bagian dua puluh lima

Gemma mondar-mandir dengan menggigiti ujung kukunya, sudah dua jam mereka menunggu kehadiran Dhania yang tak kunjung datang. Weekend ini mereka berempat harusnya berkumpul untuk belajar bersama buat persiapan try out 1 hari senin besok, namun ternyata Dhania selaku yang mengusulkan acara justru tidak datang.

"Udah Gem, kita lanjut aja, Dhania mungkin lagi sibuk." ujar Kirana seraya membolak-balik halaman bukunya.

Fathiyah dengan tenangnya mengoret-oret buku kosongnya dengan rumus-rumus, ia harus mendapatkan nilai terbaik, pikirnya dengan tersenyum.

__________

Suasana pagi yang indah dan melegakan hati serta jiwa akhirnya menjadi penutup dari pesantren kilat yang telah selesai dilaksanakan selama tiga hari dua malam itu, dengan khusyuk para peserta berdoa untuk kembali ke rumah masing-masing. Mereka bersiap masuk bis secara bergantian dan tertib.

"Dhania, yuk masuk!" ajak Nadine pada Dhania yang sempat bengong.

"Yuk!"

Pada perjalanan pulang ini, Dhania ngerasa berbeda. Harusnya ia merasa senang karena bisa kembali ke rumahnya dan bisa tidur nyaman tanpa harus was-was di bangunkan dini hari untuk shalat tahajjud dan shalat subuh. Tapi kenapa malah sedih, entahlah dia juga nggak ngerti kenapa dia begitu. Kedua bola matanya tertuju pada pemandangan disisi kirinya yang begitu hijau seperti disekitar pesantren, lalu saat ia ingin melihat pemandangan disisi kanannya pandnagannya justru bertemu dengan mata hazel yang tengah menatapnya. Cukup lama, hingga ia duluan mengalihkan tatapannya sambil beristighfar.

__________

Perempuan yang seharusnya sudah berangkat ke sekolah itu, terlihat mondar-mandir mencari peniti yang ia gunakan sewaktu pesantren kilat lalu, tapi ia lupa dimana terakhir kali dia menaruhnya, karena saat di datang, dirinya langsung melempar kerudungnya sembarangan yang menyebabkan penitinya hilang.

"Nak, sudah belum? Idar udah nunggu iniloh, kamu juga belum sarapan." seruan ibuk semakin membuatnya panik, hingga akhirnya ia memutuskan memakai jarum pentul saja.

Sebelum ibuk mendatangi kamarnya, ia segera menyambar tasnya dan berlari kecil menuju ruang makan.

"Buk, aku langsung aja ya, nanti sarapan di sekolah aja," pamitnya dengan cepat ia menyalami tangan ibuk. "Assalamu'alaikum."

"Tapi, Dhania-- wa'alaikumussalam." suara ibuk tertelan oleh angin, anaknya sudah lenyap dari ruang makan.

__________

Disepanjang perjalanan, dia duduk dengan canggung, kedua tangannya saling bertaut. Sedangkan hatinya khawatir kalau penampilan barunya tidak diterima baik oleh teman-temannya, apalagi ketiga teman dekatnya.

Dhania mengulurkan helm pada sepupunya, "Nih, makasih!"

"Tumben bener bilang makasih," sindir Haidar sinis.

Dhania yang biasanya langsung meledak ketika disindir oleh sepupunya itu, kini tampak diam saja. Dia termenung cukup lama, merasakan kebimbangan dengan penampilannya,

"Woi, kenapa malah bengong?" celetuk Haidar.

"Eh, Idar. Aku bagus nggak sih pake kerudung gini?" tanya Dhania dengan wajah serius.

Alis Haidar berkerut sembari memperhatikan penampilan perempuan didepannya dari atas ke bawah.

"Apa aku copot aja ya?" ujarnya lesu.

Tangan Haidar mencegah tangan Dhania yang bersiap mencopot kerudungnya, "Eh eh! Jangan dong!" serunya heboh, "Lo cantik kok pake kerudung gini, apalagi dipake terus. Udah, masuk sanaa, keburu telat ikut try out lo." lanjutnya dengan mendorong tubuh Dhania agar segera bergerak menuju ruang ujian.

__________

"Nadine!"

"Hemm,"

"Aku bareng ke ruang ujian ya,"

Nadine mengangguk bersemangat, ia tadi tak sengaja melihat Dhania berbincang dengan pak Haidar sewaktu ia menali sepatunya.

Memasuki ruang ujian, Dhania merasa berdebar-debar, bukan karena khawatir dengan ujian, namun dia justru khawatir sama penampilannya. Terbukti, saat ia dan Nadine masuk, hampir seluruh peserta ujian disana melihatnya dengan tatapan aneh, tetapi ada satu murid yang melemparkan tatapan teduh, yaitu si mata hazel. Yang membuat Dhania percaya diri.

"Dhaniaa, sini kamu!" Gemma melambaikan tangannya.

"Iya, Gem?"

"Iya Gem, iya Gem. Kamu kemana dek weekend kemarin, lupa ya kalau kamu ngajakin kita belajar bareng buat persiapan try out, hem?" ujar Gemma dengan wajah serius.

Dhania menepuk jidatnya, "Yaa Allah, maaf! Aku lupa ngabarin, kalau aku ikut pesantren kilat."

"Bukannya pesantren kilat, khusus untuk anak Rohis ya?" celetuk Kirana.

"Aku nggak tau soal itu, kemarin dadakan disuruh ikutan sama pakde-- ah, maksudnya pak kepsek. iya pak kepsek, pak Rahman." kata Dhania, hampir saja.

"Oh, gituu.." angguk-angguk Kirana.

Disisi lain, Fathiyah yang tengah sibuk mengulang sekali lagi materi try out tersebut tak sengaja ikut mendengarkan cerita Dhania. Tak lama, seorang pengawas ujian datang, sontak membuat peserta ujian duduk santun dikursi masing-masing.

__________

Bubaran kelas jam terakhir, murid kelas XII ESC segera berbondong meninggalkan ruang kelas menuju mading dekat tangga, untuk melihat hasil try out minggu lalu. Gerombolan murid kelas 12 berkerumun ramai disana.

"Wah, selamat ya? Nilai Bahasa Indonesia lo paling tinggi tuh, lebih tinggi dikit dari Dhania. Hebat!" sanjung Septyan dengan menepuk pelan bahu Madani.

Madani menoleh, kemudian tersenyum pada Septyan, pandangannya tak sengaja jatuh pada empat perempuan yang perlahan keluar dari kerumunan.

"Kamu memang nggak pernah mengecewakan saya, Halwatuzahra." Gemma mengacungkan dua jempol di depan wajah semringah Dhania, mem-plagiat gaya pak Soenaryo, wali kelas mereka ketika memuji Dhania.

"Ramadhania Firdausnya ketinggalan, Gem." koreksi Kirana.

"Kepanjangan ah," geleng Gemma, membuat keduanya sontak tertawa.

Fathiyah yang murung dengan hasil try out itu berusaha ikut mencair bahagia bersama teman-temannya. Tapi rasanya sulit, dia sudah mati-matian belajar untuk menjadi peringkat satu namun gagal. Tak lama, smartphone-nya berdering.

"Aku kesana bentar ya, ada telfon dari mama." pamit Fathiyah, yang diiyakan oleh ketiga temannya.

Bersambung

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang