EIGHTEEN ||

925 54 0
                                    

Bagian Delapan Belas

Dhania merasakan pening yang luar biasa dikepalanya, matanya terasa berat dan sulit untuk terbuka lebar. Badannya terasa sakit semua, perutnya pun ikut bergejolak saat telinganya mendengar keributan di luar sana.

"DHANIA! BANGUN KAMU!" seru bapak, yang kemudian diredam oleh ibuk.

"Dhania! Kamu sudah sadar, nak?" ucap ibuk khawatir. Tangannya mengelus lembut telapak tangan Dhania, saat melihat kelopak mata putrinya mengerjap-ngerjap.

Suara ibu yang pertama kali menyapa pendengarannya. Matanya terbuka secara perlahan. Silau. Kemudian, saat matanya terbuka sedikit lebar ia terkejut dengan isi ruangan serba pink serta ber-AC ini.

Dimana ini! Batinnya, heboh. Matanya kembali berpendar, memastikan kalau ini bukan mimpi. Lantas, belum puas mengamati ruangan bersuhu sejuk ini, ia melirik telapak kanannya, hatinya tersenyum lega. Namun, tidak ketika melihat telapak kirinya. Sebuah jarum infus menusuk pembuluh darahnya.

"Mana sakit nak? Bilang sama ibuk." tanya Ibuk khawatir.

Dhania menggeleng pelan, lantas matanya bertemu dengan manik mata  Bapak, secepat kilat ia mengalihkan pandangannya. Ia takut, meski Bapak tak mengeluarkan suara sedikitpun ia sangat tahu bahwa pria itu pasti menyimpan kemarahan padanya.

"Minum dulu," ucap Ibuk sembari membantu Dhania minum.


Dhania menatap langit-langit dengan tatapan kosong, otaknya berusaha menyatukan puzzle demi puzzle, kejadian tadi malam, ralat-- mungkin dini hari. Rhea, diskotik, orange juice, minuman berwarna keunguan, cokelat seperti teh, bening, dan terakhir, mabuk. Rhea mengajak ke diskotik, untuk mabuk? Tidak mungkin, karena Rhea tahu kalau ia tidak bisa minum minuman beralkohol tinggi. Lagian pula ia kesana untuk menghadiri live music dari band ternama.

"Bapak tak keluar dulu, ke masjid." pamit Bapak dengan raut wajah datar.

Sepeninggal bapak, di ruangan yang di berbau khas obat-obatan ini, berubah senyap. Namun, tak berapa lama suara pintu di ketuk. Ibuk mempersilakan sang pengetuk masuk.

"Permisi, saya membawakan makan siang, untuk nona Halwatuzahra." ucapnya, sopan.

"Terima kasih, sus. Sini, biar saya yang memegangnya, tolong sus dorong mejanya mendekat." ibuk mengulurkan tangan untuk mengambil nampan dari tangan wanita berbaju serba putih itu.

Suster itu mengangguk, lantas mengucapkan terima kasih dan menunduk hormat, sebelum melenggang keluar, ia mendorong meja yang berada di sebelah kanan brankar.

"Makan," suruh ibuk, setelah membantu anaknya duduk.

Dhania mengangguk patuh, tanpa banyak berkomentar seperti yang biasa ia lakukan di rumah. Di dalam kepalanya ia memikirkan banyak hal, termasuk mempersiapkan diri kalau kalau ibuk mengomelinya. Namun, sampai ia menghabiskan setengah makanannya. Ibuk tak kunjung mengeluarkan suara, hingga Dhania yang menyumbang suara lebih dulu.

"Buk," panggil Dhania, pelan.

"Ya?" ibuk menoleh,

"Kenapa ibuk lebih sabar ngadepin aku daripada marah?"

Sebelum menjawab pertanyaan anaknya, Aisha menarik napas terlebih dahulu. "Nak, kekerasan nggak akan ngebuat kamu jadi lembut, justru membuatmu semakin keras. Maka dari itu, ibuk belajar menyayangimu dengan sabar, supaya kamu kembali bisa lembut dan menyayangi ibuk dan bapak."

Dear Ketua RohisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang