001

19.4K 1.2K 74
                                    

Jungkook saat itu masih lima tahun, dia bahkan belum lulus dari playgroup. Dia selalu berpikir, bahwa pekerjaan ayahnya sebagai seorang inspektur kepolisian Busan adalah sesuatu yang keren. Layaknya superhero yang menangkap semua penjahat, menyelamatkan banyak orang dari kejahatan. Pernah gurunya bertanya tentang cita-cita, dan dengan perasaan mantap penuh percaya diri—Jungkook mengangkat tangan, menjawab ingin menjadi seperti ayahnya.

Suatu siang, ketika ayahnya libur bekerja. Jungkook bermain mobil remot kontrol yang dia dapat sebagai hadiah natal dari ayahnya. Sementara sang ayah duduk di ruang tengah, menonton siaran berita kriminal. Hal biasa bagi Jungkook, biasanya dia akan bertanya banyak hal, tentang kenapa anak remaja itu mencuri? Kenapa kakek itu bunuh diri?

Kemudian ayahnya akan berujar dengan lembut, penuh pengertian. Mengatakan, bahwa mereka melakukan semua itu karena mengalami hal sulit dan menyerah. Selanjutnya, ayahnya hanya mengatakan, bahwa Jungkook harus tumbuh menjadi anak pintar yang baik dan penurut agar tidak mengalami hal sulit seperti semua penjahat yang pernah dia lihat di siaran berita kriminal.

Tapi siang ini, Jungkook tidak bertanya apapun sedang telinganya menangkap dengan jelas seseorang barusaja tertangkap karena melakukan pembunuhan terhadap kakaknya sendiri. Jungkook sibuk mengikuti kemana mobil remot kontrolnya pergi. Suara mesin mobil mainannya pergi melewati dapur, melewati kamarnya, terbentur meja, kemudian berbelok masuk ke kamar orangtuanya. Ibunya tidak ada di rumah, sedang berbelanja keluar.

Jungkook masuk ke kamar orangtuanya. Mobil mainnya menabrak nakas di samping tempat tidur dan terguling; tidak bisa berdiri dengan benar lagi, maka Jungkook merunduk memungutnya. Pada saat dia berdiri, matanya terpengkur menatap sebuah pistol di atas nakas. Pistol hitam yang berkilau.

“Woa, keren.” Jungkook menjatuhkan mobil serta remot kontrol yang tadi dipegangnya. Dia meraih pistol dengan perasaan berdebar senang, mirip sekali dengan pistol mainan yang pernah ayahnya belikan. Jungkook menggenggam pistol itu kuat sekali, teksturnya lebih padat dan berat ketimbang pistol miliknya yang tersimpan di meja belajarnya.

“Ayah! Ayo main tembak-tembakan! Ayah jadi penjahatnya!” teriak Jungkook, sambil berlari. Peringatan ibunya tentang tidak boleh berlarian di dalam rumah, pudar begitu saja diingatan Jungkook akibat euforianya atas sebuah pistol keren. “Ayah angkat tangan!”

Ayahnya menoleh reflek dan mengangkat tangan dengan senyum.

“Aku akan menembak karena Ayah penjahat yang bandel!” seru Jungkook mengacungkan pistol, gerakannya persis seperti polisi yang siap menembak penjahat yang mencoba kabur. Ayahnya tergelak pelan—tapi tiba saja menjadi pekikan yang mencekik, bersamaan setelah Jungkook menarik lepas pelatuknya.

Jungkook terjatuh ke belakang setelah pelurunya melesat, menembus tulang rusuk ayahnya. Dia kaget melihat darah merembes keluar dari kaos ayahnya. Semakin lama mengalir deras membasahi kulit sofa. Ayahnya pucat dan kesakitan, terus berucap dengan suara putus-putus yang Jungkook tidak mengerti apa. Dia hanya membeku di tempat melihat ayahnya memegangi dada sebelah kiri, dan mulai memejamkan mata, berakhir tertidur lemas tanpa pergerakan sama sekali.

Kemudian ibunya datang. Langsung berteriak histeris melihat keadaan ayahnya. Ibunya melirik pada Jungkook, yang berwajah pucat pasi. Jungkook sama ketakutannya, tapi sepertinya tidak mengerti.

“Jungkook! Apa yang kau lakukan?!” teriak ibunya yang sudah menangis sambil menggucang bahu ayahnya. “Kau menembak Ayahmu! Lihat dia berdarah karenamu! Ayahmu terluka, Jungkook!”

Jungkook menunduk, menangis dalam diam. Ibunya menabrak tubuhnya saat melangkah menuju kamar, mencari handphone lalu menelpon ambulan serta kantor polisi.

“Itu bukan pistol mainan Jungkook! Itu milik Ayahmu! Kau bisa membunuhnya! Dia mungkin akan mati karena kau tembak! Ini kesalahanmu Jungkook!”

Ibunya lagi-lagi berteriak, Jungkook tidak pernah dibentak oleh ibunya sehebat ini. Suara ibunya yang berteriak sambil menangis begitu menyakiti gendang telinga juga hatinya. Jungkook menjambak rambutnya, menutup kedua telinganya dengan gemetar. Dia menangis. Sama histerisnya dengan ibunya yang terus memanggil ayahnya untuk bangun. Kalimat bahwa ini adalah kesalahannya masih terus terngiang dalam benak Jungkook, bayangan pada menit yang telah lalu, dimana ayahnya tertembak, melayang di isi pikirannya sampai kepala sakit bagai dipukuli godam besi di pucuk kepala.

Jungkook mendengar sirine ambulan, namun tubuhnya tidak bisa bergerak. Dia melihat dengan pandangan buram kala ayahnya di naikkan ke tandu dan ibunya meninggalkannya. Napas Jungkook putus-putus, paru-parunya sesak. Dia ambruk ketika seseorang datang memanggil namanya.

“Jungkook!”

Semua menghitam. Semua telah sunyi. Jungkook tenggelam di kegelapan: tidak sadarkan diri.

-ooOoo-

Dokter bilang Jungkook hanya mengalami syok berat hingga membuatnya pingsan. Dokter menyarankan untuk tidak terlalu menekan mental Jungkook, tapi wajah ibunya terlihat tidak peduli. Hanya tersenyum culas ketika pamit setelah mengucapkan terima kasih. Menarik pergelangan tangan Jungkook dengan kasar.

“Anak nakal. Ayahmu sekarat karenamu! Dokter bilang Ayahmu mungkin tidak akan bangun! Sampai Ayahmu tidak bisa diselamatkan, ini semua karena kesalahanmu, Jungkook!”

Jungkook diam saja sampai mereka tiba di rumah. Dia menurut ketika ibunya menguncinya di kamar. Ibunya bilang ini sebagai hukuman karena Jungkook telah menjadi anak nakal. Jungkook sebenarnya tidak suka terkurung, tapi  jika dengan ini ibunya bisa memaafkannya, dan ayahnya bisa kembali, Jungkook pikir itu tidak masalah.

Bahkan saat jam makan malam tiba, dan pagi mulai muncul kembali dan ibunya tidak memberikannya makan serta minum. Jungkook tetap berpikir jika dia bisa bertahan. Ibunya tidak terdengar berada di rumah, Jungkook bisa melihat dari jendela. Di garasi yang terbuka, mobil ibunya tidak ada. Dia ditinggal sendirian. Membuat hati kecil Jungkook sakit sekali.

Lalu dia menagis karena tidak tahan lagi, meringkuk di atas tempat tidur. Memeluk tubuh mungilnya seorang diri. Jungkook merasakan panas yang menyengat di seluruh tubuh. Kepalanya pusing dan perutnya sakit. Sakit sekali sampai rasanya mau mati.

Jungkook meremat perutnya yang melilit perih. Dia sudah melawatkan tiga jam makan sejak kemarin. Jungkook tidak pernah sekalipun telat makan, ibunya selalu menjaga pola makannya terpenuhi dengan baik. Bahkan tidak pernah tertinggal jam camilan untuknya.

Tapi untuk pertama kalinya, ibunya seolah melupakannya. Membenci dirinya. Sampai tega tidak memberinya makan. Tidak mengijinkannya keluar kamar sekedar buang air ke kamar kecil. Jungkook merasakan keringat membanjiri tubuhnya hingga kaos yang dikenakannya basah. Rambutnya lepek. Jungkook tidak bisa mencium sesuatu dengan benar. Perih pada perut yang semakin tidak tertahankan membuat Jungkook tidak dapat bernapas dengan benar.

Dia mencoba menelan rasa sakit dengan memejamkan mata. Mencoba untuk tidur, barangkali tubuh kecilnya ini bisa sembuh sewaktu dia terbangun nanti. Jungkook berharap dia bisa bangun dengan rasa kenyang, dahaga terpenuhi, dan baik-baik saja. Yang paling Jungkook inginkan adalah, ibunya kembali. Ayahnya kembali. Semua bahagianya kembali.

.

.

-tbc-

Leave Out ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang