011

5.9K 867 76
                                    


Setiap pukul dua siang. Setiap usai pulang sekolah, dimana matahari masih bersinar sangat terik, Jungkook selalu berdiri; bersandar di depan gerbang kampus Taehyung. Sambil melipat lengan di depan dada, kepalanya tertunduk dengan mata yang terpejam. Tidak peduli pada sebagian mahasiswi yang menatap terang-terangan padanya sembari memekik, mengagumi bagaimana ada siswa SMU tingkat akhir setampan dan—sepanas ini?

Jungkook melarikan diri dari latihan basket hari ini. Dia berkilah jika Taehyung sedang dalam keadaan darurat. Ya, darurat karena jam kuliah Taehyung berakhir lebih awal dari biasanya. Maka Jungkook langsung mengayuh sepedanya dengan kecepatan angin agar sampai di kampus Taehyung, sebelum Taehyung keluar dari kelas. Karena Jungkook tidak pernah mau Taehyung menunggu.

Entah kapan tepatnya, tetapi Jungkook mulai menjadi lebih protektif dan terkadang terlalu berlebihan jika itu menyangkut Taehyung. Belakangan Taehyung tidak banyak membantu Jungkook. Jarang pula Taehyung melindungi Jungkook. Sekarang ini lebih pada Jungkook yang melindungi serta merawat Taehyung. Apapun itu.

Jungkook menoleh ketika mendengar suara Taehyung yang sedang bercengkrama tidak jauh darinya. Kemudian sebuah langkah mendekat dengan berlari kecil, Taehyung sampai di hadapan Jungkook dengan seulas senyum cerah. Lebih cerah dari terik matahari di atas sana, namun senyum Taehyung jauh lebih meneduhkan menurut Jungkook.

Hyung, besok aku tidak mengantar-jemputmu dengan sepeda lagi,” kata Jungkook menarik sepedanya yang bersandar di sampingnya berdiri. Dia menuntun sepedanya, lalu naik disusul Taehyung yang juga, memegang bahu Jungkook sebagai tumpuan.

“Kenapa? Menyadari kau kerepotan mengantarku kemana-mana dengan sepeda?”

“Bukan. Tebakan yang sangat salah. Hyung, aku delapan belas tahun. Tebak apa yang didapatkan diusiaku yang kedelapan belas?”

Taehyung mencengkram sisi kemeja Jungkook, ketika Jungkook mulai mengayuh sepedanya meninggalkan jalanan kampus, menuju jalan raya dimana mobil-mobil berbalapan mengejar waktu jam makan siang.  “Papa tidak mungkin membelikanmu sebuah motor.”

“Aku ingin sebuah motor padahal, sayang sekali bukan.”

“Lalu—apa?” Taehyung menyahut penuh ketidak percayaan kemudian, “Tidak mungkin surat ijin mengemudi! Aku bahkan belum mendapatkannya!”

“Aku terlalu jenius sampai bisa mendapatkannya. Maaf sekali, hyung. Aku melampauimu untuk yang satu ini. Papa bilang aku bisa mengambilnya sore ini.”

“Aku tidak terima ini! Aku bahkan tidak lulus tes mengemudi sebanyak dua kali!”

“Terima kenyataan saja, hyung.” Jungkook tertawa sambil mengayuhkan sepedanya lebih cepat. “Kita bisa berjalan-jalan setelah ini. Hyung mau kemana? Pantai, pegunungan?”

“Sombong. Selesaikan saja ujian masuk universitasmu.”

Hyung akan terkejut, kalau sampai aku mendapat undangan dari Universitas Seoul atau Universitas Olahraga Nasional.”

Taehyung mencibir kesombongan Jungkook, rautnya masih sebal. Namun di detik berikutnya, ketika Jungkook sedikit melambatkan kayuhan sepedanya, menarik lengan Taehyung untuk memeluk pinggangnya. Di saat itu pula Taehyung mulai merasakan kenyamanan menyergapi dirinya. Bersandar pada punggung Jungkook, dimana aroma maskulin menenangkan milik Jungkook meresap  masuk melewati indra penciumannya, menjadikan dadanya berdesir terlampau tenang. Terlebih semilir angin menyejukkan saat mereka melewati jembatan sungai Han, membuat Taehyung memejamkan mata ingin terlelap dalam mimpi indah. Dimana dengungan suara Jungkook yang merdu menentramkan jiwanya seperti alunan nina bobo di siang hari.

Leave Out ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang