Belokan menuju taman yang semula sepi mendadak menjadi ramai, banyak orang berkumpul di sana. Mereka adalah para tetangga yang penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Karena sirine ambulan membuat orang-orang yang semula berdiam di dalam rumah ikut keluar. Ditambah sirine mobil polisi yang menyusul kemudian.
Jungkook berada digendongan bibi Hani yang menangis karena tuduhan demi tuduhan terus mengaum pada Jungkook. Mata Jungkook mengawasi bagaimana tiga anak di sana meliriknya dengan gelisah, dan si anak kurus di bawa masuk ke mobil ambulan.
Jungkook tidak menangis, dia marah pada anak-anak itu yang menuduhnya. Jungkook terus mengawasi mereka. Hatinya disergapi kebencian, sorot mata Jungkook berkilat tajam. Wajah piasnya berubah datar, bibirnya terkatup rapat. Dia tidak menangis, justru bibi Hani yang mengeluarkan banyak air mata. Terus melontarkan pembelaan bahwa Jungkook tidak mungkin melakukan itu semua—mendorong si kurus sampai jatuh membentur aspal hingga kepala berdarah.
Tepat setelah papa turun dari mobil patroli, saat itu juga Jungkook baru merasakan ketakutan yang luar biasa merayapi dirinya. Sampai Jungkook memilih memeluk leher bibi Hani dan bersandar pada bahu bibi Hani. Menoleh ke belakang, enggan untuk menatap papa yang berjalan ke arahnya.
“Saejoon-ah.” Bibi Hani menyebutkan nama papa. “Jungkook tidak melakukan ini, percayalah.”
“Apa Bibi melihatnya? Jungkook tidak melakukan ini?” tanya papa, suaranya yang tegas membuat Jungkook semakin memeluk erat bibi Hani.
“Dia tidak berbicara apapun dari tadi. Jungkook ketakutan, lututnya juga berdarah. Dia hanya pamit bermain sepeda, aku pikir itu hanya di halaman. Dan setelah selesai membuat camilan aku tidak menemukan Jungkook. Pintu pagar terbuka. Aku mencarinya di arah yang berlawanan. Kemudian saat akan pulang salah satu tetangga kita menjemputku untuk kemari.”
Bibi Hani melanjutkan, masih dengan mata berkaca-kaca. “Setelah sampai di sini, anak itu sudah dinaikkan ke trotoar sementara orang-orang dewasa menyudutkan Jungkook. Mereka terus mengatai Jungkook pembunuh.”
Papa mengusap punggung Jungkook, telapak tangannya merasakan degupan cepat di tubuh Jungkook. Dia tersenyum berusaha menenangkan Jungkook yang ketakutan. Walau tanpa berucap papa tahu Jungkook sangat gelisah sekarang.
“Jungkookie, tidak mau cerita?” tanya papa dengan suara yang lembut dan bersahabat. Mengabaikan bagaimana orang-orang di sekeliling mereka saling berbisik mencemooh.
“Papa akan dengarkan dan melindungi Jungkookie, asal Jungkookie bicara yang jujur, oke?”
Jungkook berbalik memandang papa tanpa melepas pelukannya pada bibi Hani. “Aku hanya jalan-jalan, lalu anak-anak di sana dan yang tadi pergi bersama ambulan—mereka menghampiriku. Mereka bertanya apa benar aku membunuh Ayah. Aku bilang tidak, itu kecelakaan, seperti yang Papa pernah bilang. Tapi mereka tidak percaya dan anak kurus yang kepalanya berdarah—dia mendorongku dari sepeda dan mendorong sepedaku juga. Setelah itu mereka bermain di tengah jalan, tapi aku masih di tepi terotoar tempat mereka mendorongku.”
Ketiga anak di sana berdiri dengan wajah pucat, kepala tertunduk dalam.
Semua orang mendengar suara Jungkook.
Tapi Jungkook tidak peduli pada mereka, fokusnya hanya pada papa yang balas menatapnya dengan penuh keyakinan.
“Setelah itu, si anak kurus bermain di tengah jalan sendirian. Tiga anak yang ada di sana hanya menepi sedikit, sampai sebuah motor datang. Motornya cepat sekali dan menabrak si anak kurus. Pengendaranya tidak menolong, dia kabur.”
Papa tersenyum, menahan temannya yang ingin bertanya lanjut. Biar bertanya pada putranya menjadi tugasnya. “Jungkookie, ingat ciri-ciri motornya?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Leave Out ✅
Fanfiction[ KookV - Fanfiction ] "I'm strong on the surface. Not all the way through." ㅡLinkin Park 'Leave Out All the Rest' Genre : Romance; Hurt/Comfort; Crime Rate : T - M