016

5.5K 810 50
                                    


“Apa yang bisa aku lakukan?” tanya Jungkook pada sersan Jung dipertemuan siang itu, usai kembalinya dari Daegu. Secangkir kopi masih mengepul hangat di hadapannya. Sersan Jung menatap penuh keyakinan.

“Tidak ada,” jawabnya tegas. Jungkook kembali menatap penuh keheranan, meminta penjelasan lebih lanjut. Mengapa dia tidak boleh membantu menuntaskan kasus ini? Mengapa dia tidak boleh mengambil tindakan apapun selain berdiam diri?

“Kau masih sangat belia, Jungkook. Usiamu masih di bawah umur legal, dimana kau masih memerlukan pengawasan orang dewasa. Terlebih posisimu sekarang ini adalah korban—tau mengapa? Karena penjahat ini mengincarmu, dan orang-orang di sekitarmu ikut terancam. Kami tidak ingin kau melakukan sesuatu yang gegabah. Jadi menurutlah Jungkook, kau hanya perlu waspada dan menjaga dirimu sebaik mungkin. Jaga juga Taehyung, Tuan dan Nyonya Kang yang sekarang menjadi walimu. Serta teman-temanmu. Kami juga akan melakukan pengawasan pengamanan dua puluh empat jam untuk kalian.”

“Aku membuka kembali kasus lamamu. Kau sudah terbukti tidak bersalah, tapi karena pelaku kejahatan kali ini kekasih Ibumu dan Ibumu, ‘lah dalang dari pembunuhan ini, maka kami menyangkutkannya dengan kasus kematian Ayahmu. Beritamu akan kembali menyebar. Untuk itu Nyonya Kang sementara ini menyarankan agar kau homeschooling. Taehyung tetap melakukan aktivitas seperti biasa, kami akan mengirimkan beberapa petugas kepolisian untuk mengawalnya. Bagaimana Jungkook, apa kau keberatan?”

Jungkook menekan pelipisnya. “Aku tidak bisa diam saja, Paman—sebenarnya apa yang ibuku incar?”

“Seluruh aset kekayaan Inspektur Jeon yang diwariskan padamu. Kau berhak memegang semuanya saat usiamu genap dua puluh. Ibumu juga mendapat bagian tapi hanya sepertiga dan dia menggunakan semua uangnya untuk bermain di pasar gelap.”

“Kalau begitu, berikan saja semua warisan Ayah pada wanita itu,” ucap Jungkook acuh.

“Jika itu terjadi, maka Ibumu akan merusak sistem perekonomian politik negara dengan memperluas jaringan bisnisnya di pasar gelap, Jungkook. Ibumu menjual narkotika, senjata illegal, dan juga rahasia keamanan negara. Ayahmu seorang anggota kepolisan tinggi, tentu dia punya akses untuk informasi itu. Ibumu memanfaatkan bekas pangkat Ayahmu untuk mendapat semua aksesnya. Kami jelas tidak bisa membiarkan ini. Aku harap kau bisa mengerti dan biarkan kami menangani ini semua,” kata sersan Jung. Jungkook menghela napas panjang.

“Baiklah,” ujarnya sebagai final. Namun dalam hati Jungkook tetap bersikukuh akan membalaskan dengan kedua tangannya sendiri. Dia tidak bisa jika harus berdiam menunggu. Lagipula Jungkook telah merapalkan dalam hatinya, wanita itu bukan ibunya lagi. Dan Jungkook sepertinya harus menerima tawaran Namjoon untuk hal ini.

-ooOoo-

Jungkook berdiri di depan pintu sebuah club elite di kawasan Gangnam, tidak begitu jauh dari jarak rumahnya. Warna mencolok dari cahaya lampu di pintu masuk menyilaukan retina Jungkook. Dia melangkah masuk, kemudian disambut hingar-bingar musik disko yang memekakkan telinga. Sorot lampu di dalam club menjadi lebih tamaram. Jungkook menjatuhkan pandangan pada meja bar, menelisik satu persatu bartender yang sibuk meleyani pelanggan.

Namjoon ada di sudut meja bar, mengenakan setelan kemeja putih dan celana kain hitam. Sedang bercengkrama diiringi gelak tawa bersama dua orang wanita berpakaian minim. Jungkook mendekat, duduk di salah satu bangku yang kosong. Berdehem cukup keras, membuat Namjoon dan dua wanita itu menoleh padanya.

“Oh, wow. Jeon Jungkook. Selamat datang, bung. Minuman seperti biasa?” tanya Namjoon. Jungkook mengeryit, dia bahkan belum pernah kemari. Juga, dia belum legal untuk mimum alkohol. Sekalipun Jungkook tahu, masuk ke sebuah club malam untuk seorang pelajar sudah melanggar peraturan perundangan.

“Namjoon-ah, siapa pria panas ini? Temanmu? Kenapa tidak kenalkan pada kami.” Salah seorang wanita pelanggan Namjoon yang berbaju maroon berbisik bertanya. Namjoon menanggapinya dengan tawa ringan,

“Dia adikku. Aku tidak mengijinkan kau mendekatinya, Noona. Lagipula Jungkook ini sudah punya pacar. Jadi bisa tinggalkan kami sebentar. Kami ada sedikit urusan pribadi.”

Kedua wanita itu tampak enggan untuk pergi, namun salah satu dari mereka mendengus sebal, mencebikkan bibirnya berlagak imut. “Baiklah, tapi nanti kau harus berikan kami nomor ponselmu.”

Namjoon mengangguk mantap sebagai balasan, “Aku juga akan meneraktir kalian minum.” Kemudian dua wanita itu berlalu, mengedipkan sebelah mata sebagai sapaan sampai jumpa. Atensi Namjoon kini sepenuhnya jatuh pada sosok Jungkook yang sejak tadi hanya diam mengamati.

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Namjoon, menuangkan wine di gelas kosong yang berada di hadapan Jungkook. “Mengenai Ibumu?”

“Kau bilang bisa membantuku.” Jungkook bergeming memerhatikan merahnya wine di dalam gelasnya. Lebih pekat dari prisa jus strawberry, tapi tidak sepekat warna darah. Gelembung kecil mendesis di pinggiran bibir gelas. Jungkook bisa melihat bayangannya sendiri yang memantul dari permukaan wine. “Aku ingin membunuh Ibuku, apa yang bisa kau bantu?”

Namjoon terhenyak, mengamati sungguh-sungguh wajah dingin Jungkook. Kentara sekali jika bocah ini tengah menahan amarahnya.

“Wanita itu hanya menginginkan harta—omong kosong sekali. Satu-satunya yang dia incar adalah nyawaku. Ayah cinta pertamanya, tentu saja dia lebih mencintai Ayah ketimbang aku. Fakta bahwa Ayah lebih menyayangiku dengan mewariskan semua hartanya, membuat wanita itu semakin sakit hati dan beralih membenciku. Dia menjadi gila karena kehilangan cinta pertamanya, dan aku sudah masuk ke pusaran kegilaannya. Dia bukan Ibuku lagi sejak Ayah meninggal. Ibu mana yang mengurung anaknya di dalam kamar tanpa diberi makan dan minum? Aku juga tidak diijinkan keluar untuk buang air. Dia selalu menyiksaku setiap aku pulang dari rumah sakit. Dia tidak memberiku obat yang dianjurkan dokter, sampai Papa menemukanku pingsan di dalam kamar dan membawaku ke rumah sakit. Tapi di sana wanita itu justru berniat membuangku.

Ya, dia memang sudah membuangku. Meninggalkanku. Aku masih ingat sekali suara dinginnya yang tidak menganggapku sebagai anaknya lagi. Ibu macam itu memang pantas mati, ‘kan?” Jungkook menegak segelas wine yang sejak tadi diamatinya. Sensasi cairan wine yang masuk melewati kerongkongannya, membuat tenggorokannya seolah terbakar oleh rasa panas. Sampai mata Jungkook memerah berkaca-kaca. Ah sial sekali, ini tidak enak, pikirnya.

“Jadi bagaimana Kim Namjoon, apa yang bisa kau lakukan untuk membantuku?”

“Apapun bisa Jungkook, tapi dunia tidak senaif itu. Tidak ada yang gratis di sini.”  Namjoon sedikit merunduk, berbisik pada Jungkook dengan seringai di bibirnya. “Bantu aku untuk membunuh seseorang juga, kau ahli menggunakan senjata, ‘kan?”

“Kalau aku menolak?”

“Kim Taehyung itu indah sekali, bukan? Berapa harganya jika aku lelang di pasar gelap?”

Jungkook mendelik pada Namjoon yang menyeringai puas.

Sial. Dia dijebak.

-ooOoo-

Taehyung memeluk teddy bearnya erat. Dia duduk di sofa ruang tengah yang terasa dingin. Masih belum bisa menghilangkan bayangan papa yang berkeliling di rumah ini, Taehyung mencoba untuk tetap tenang dan tidak menangis. Apalagi sampai mengusir Jungkook karena terlalu depresi.

Dia melirik jam dinding yang terus berputar, hampir tengah malam namun Jungkook belum juga kembali. Taehyung jadi cemas juga takut, jika Jungkook pergi secara mendadak seperti papa. Tidak mungkin. Taehyung menggeleng, mengenyahkan pemikiran anehnya.

Semakin larut malam, udara semakin dingin. Taehyung lupa tidak membawa selimutnya ikut serta menunggu Jungkook pulang. Terlalu enggan pula untuk kembali ke kamar hanya sekedar mengambil selimut. Yang bisa dilakukan Taehyung dalam kesendirannya di keheningan yang mencekam hanyalah semakin memeluk boneka teddy bear, hadiah terakhir dari papa.

“Jungkook!” seru Taehyung, ketika mendengar suara knop pintu diputar. Taehyung mendapati seluet seseorang bersandar di ambang pintu. Itu benar Jungkook. Tetapi Jungkook tidak menyahut dan hanya bergeming di sana. Maka Taehyung berjalan menghampiri. “Jungkookie?”

Jungkook berjengkit merasakan sentuhan Taehyung pada bahunya. “Oh, hyung. Kenapa belum tidur?”

“Darimana saja? Kenapa pulang malam sekali?”

Hyung belum menjawabku.”

“Itu bukan pertanyaan yang harus dijawab. Kau tahu aku menunggumu pulang. Jungkookie sendiri, apa yang terjadi sampai kau pulang larut? Aku khwatir.” Taehyung mengulurkan sebelah tangannya untuk menyentuh wajah Jungkook yang tampak sendu. Tangan kanannya masih memeluk boneka teddy bear. Dia mengusap pipi Jungkook yang semakin tirus. “Kau merindukan Papa, ya?”

“Aku juga merindukan Papa. Tapi, apa Papa akan tenang kalau kita terus bersedih seperti ini. Papa juga tidak akan senang melihatmu pulang selarut ini, Jungkookie. Kau masih punya hyung di sini. Jangan memendamnya sendirian, apalagi sampai membuatmu menjadi anak nakal Jungkook. Papa bisa saja kecewa,” tutur Taehyung menarik kepala Jungkook hingga bersandar pada bahunya. “Semua akan baik Jungkookie, penjahat itu akan mendapat balasan yang setimpal.”

Jungkook melingkarkan lengannya di pinggang Taehyung. Memeluk Taehyung. “Hyung, jangan tinggalkan aku juga.”

“Tidak akan.”

.

.

-tbc-

.
.

Terima kasih sudah mampir membaca. Terima kasih untuk segala dukungan vommentnya ♡♡♡

Untuk kalian yg sedang mempersiapkan ospek. Semangat ya. Aku juga berjuang dengan kalian. Ehuehuehehe

Leave Out ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang