Awal Kisah Baru [Part 4]

86 3 0
                                    


Sore pun datang, waktu menunjukan pukul tiga sore. Langit masih tertutup dengan awan abu-abu. Malam ini adalah malam senin, waktu yang biasanya aku gunakan untuk pergi bersama Irena ke kota kasablanka untuk sekedar berjalan jalan dan makan.

Dalam perjalanan menuju kokas (Kota kasablanka), aku terus memikirkan apa yang irena katakan pagi tadi. Terngiang jelas ucapannya ditelingaku dan selalu ku kenang "tapi kalo jadi pasangan kekasih ga tau deh, aku ga mau pacaran soalnya. Suatu saat pasti akan putus atau semacamnya. Aku mau hubungan yang lebih serius". Hanya kata-kata seperti itu saja aku pikirkan dengan begitu keras. Mungkin bagiku saat untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan harus dipending dulu sampai waktu yang pas.

"Kiki kenapa bengong, tumben banget kamu diem aja selama bawa mobil, biasanya bawel. Hati-hati lah, jangan bengong, ntar kecelakaan",

"Hah? Engga bengong ko, cuma lagi mikirin sesuatu aja, kayaknya ada yang terlupa",

"Ada yang ketinggalan emangnya? Oh iya, bunga yang tadi pagi udah kamu kasih ke orangnya?",

"Engga ada kayaknya, udah semua ko, handphone, dompet, udah semua. Bunga yang tadi pagi ya? Kayaknya belom, takut dibuang sama orangnya",

"Kirain ada yang ketinggalan, loh ko kayaknya? Kenapa kiki takut? Kan belom dicoba, mending bunganya kasih aku, pasti aku terima dengan senang hati hehe",

"Ga tau lah, orangnya juga abu-abu, susah dibaca, biarin aja dulu. Yeee mau banget emangnya, nanti kalo aku kasih ke kamu, kamu malah baper lagi haha",

"Kan ngeselinnya kumat kan, tau ah, kesel aku".

Suasana pun kembali hening di dalam mobil. Bermaksud hati ingin menyalakan lagu yang sedang diputar dalam playlistku tapi tidak sengaja menyentuh tangannya juga yang hendak menyalakan musik. Dengan spontan aku menarik kembali tanganku, suasana menjadi canggung saat itu. Musik yang hendak mau diputar pun tidak jadi diputar.

Sesampainya disana aku dan dia bergegas ke tempat makan jepang di sana. Makanan jepang adalah salah satu makanan kesukaannya seperti sushi, entah mengapa dia sangat menyukai makanan mentah dari ikan tersebut, tapi semenjak aku berteman dan jalan-jalan dengannya, aku jadi menyukai makanan jepang tersebut.

"Irena mau tanya boleh?", sambil mengunyak sushi yang ukurannya lumayan besar.

"Telen dulu itu makanan baru boleh ngomong, emang mau nanya apaan? Boleh aja ko",

"Kamu kenapa ga mau pacaran dulu? Bukannya kalo pacaran itu biar bisa lebih dekat lagi ya? Dan juga kalo pacaran kan bisa lebih mengenal satu sama lain",

"Aku ga butuh pacaran ki, pacaran itu cuma buat pasangan orang yang ga serius, aku ga mau kaya gitu, walau kalo pacaran bisa kenal lebih jauh, aku pengennya langsung dilamar aja, atau dinikahin langsung gitu, bukannya kaya mahasiswi yang lain ya, stres gara-gara tugas akhir, tapi aku ga mau ngerasain sakit hati kalo pacaran, mending langsung dilamar, bahagianya double double, ya kan?",

"Oh... gitu toh, oke oke, kirain kenapa?, aku mau pesen salmon dong sama cumi-cumi, kamu pesen apa?",

"Biasa, menu lengkap hehe, kan tau kan kalo aku makan sushi gimana?",

"Yaudah gih pesen".

Tak berapa lama, pesanan sushi pun datang. Menu makananku dan satu paket lengkap yang dipesan oleh Irena. Ketika dia sedang seru memakan paket lengkapnya itu ada sesuatu yang mengganjal dimulutnya.

"Hmmmm.... apaan nih? Ko keras, masa salmon keras gini?", sambil mengeluarkan apa yang ada di dalam mulutnya.

Dan dia menemukan sebuah cincin indah di dalam makanannya. Niatku untuk memasukannya di dalam makananku tetapi sang chef salah memasukannya.

"Lah, ko ada cincin gini di dalemnya? Punya siapa?", tanyanya sambil memegang cincin itu dan dibersihkannya dengan tisu.

"Sini cincinnya kasih aku. Irena, kamu tadi pagi bilangnya ga mau pacaran kan, soalnya akan putus atau semacamnya. Kali ini aku ga mau bohongin apa yang aku rasakan selama ini. Aku udah ngerasa ini adalah pilihan terbaik yang aku buat buat kamu, kamu pengennya diseriusin kan. Dari tadi pagi setelah lari bareng kamu aku terus mikirin apa yang kau bilang, aku akhirnya berani untuk buat ungkapin dan beli cincin ini buat kamu. Irena maukah kamu jadi orang spesial dalam hidup aku, buat nemenin aku di segala suasana dan keadaan, aku ga mau kehilangan orang yang aku sayang lagi, Irena maukah kamu menikah denganku?", tanyaku dalam keadaan setengah berlutut di hadapannya.

"Kamu tuh apa-apaan sih, kan tau kalo aku masih kuliah dan lain-lain", jawabnya dengan nada setengah marah padaku.

"Aku tau ko ini terlalu cepat, tapi aku ga mau bohongin perasaan aku sendiri, bunga yang tadi pagi juga niatnya aku kasih kamu, buat nembak kamu. Tapi kamu bilang kalau kamu ga mau pacaran, maunya diseriusin, kali ini aku ubah bunga itu jadi cincin untuk ngelamar kamu, buat ungkapin keseriusan hati aku. Kamu mau kan nikah sama aku?", tanyaku kembali padanya.

Suasana pun terasa ramai dengan pengunjung lainnya. Mereka mengatakan untuk menerimaku agar menjadi suami untuk Irena, mungkin memang salahku karena terlalu cepat mengatakannya, tetapi apa yang sudah kuyakini akan aku lakukan.

"Ki, aku tau maksud kamu baik, dan makasih juga udah mau jujur atas perasaan kamu selama ini sama aku, aku kira kamu ga akan punya perasaan sama aku, kamu cuma orang yang aku kenal deket sama aku, dan aku kira kamu ga akan mau ngelakuin hal macam gini buat ungkapin apa yang kamu rasakan, emang ya kamu itu orangnya nekat, aku salut banget, apresiasi besar untuk apa yang kamu katakan dan nyatakan sama aku, tapi... maaf aku ga bisa ki", jawabnya kembali.

"Oh gitu, yaudah deh gapapa, mungkin salah aku juga yang ga mau jujur sama kamu atas perasanku selama ini sama kamu",

"Udah, gitu aja? Nyerah nih ceritanya?", tanyanya kembali.

"Hah? Maksudnya gimana dah?",

"Kamu ya, kebangetan polos, ya ampun... ga liat apa muka aku seneng parah gini, hadeh, calon suami aku ko kebangetan polos ya, kiki.... aku ga bisa, maksudnya ga bisa nolak buat jadi istri kamu, aku kira kamu dikodein selama ini ga peka, ternyata peka juga toh", jawabnya dengan wajah yang ceria.

"Hah? Jadinya gimana? Kamu mau nikah sama aku gitu?", tanyaku kembali dengan wajah yang polos.

"IYA SAYANG, AKU MAU NIKAH SAMA KAMU.....", jawabnya kembali dengan nada yang cukup besar.

Dengan spontan dan wajah gembira aku menaruh cincin itu di jari manisnya dan segera memeluknya. Suasana pun menjadi ramai dengan sorak dan tepuk tangan dari pengunjung lain. Aku tak menghiraukannya dan tetap memeluk Irena.

"Tapi kamu harus nungguin aku sampe lulus dan kerja ya, minimal lulus kuliah duu deh, dan kamu harus ngelamar aku secara resmi dengan kedua orang tua aku", sapanya pada pelukanku.

"Pasti lah, aku akan nunggu kamu lulus dan ngelamar dengan resmi ke orang tua kamu", jawabku padanya.

Tak terasa air mata ini turun secara reflek. Aku memeluknya dengan menangis bahagia, entah apa yang aku rasakan saat ini, tetapi ini adalah sebuah awalku untuk menjalani hidup yang lebih baik di masa depan.

Irena, Aku Sayang Kamu....

A Slice of LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang