Langit masih terasa gelap, waktu masih menunjukan pukul lima pagi. Matahari enggan untuk terbit, terhalang oleh awan abu-abu pagi ini.
Setiap dua minggu sekali dalam sebulan biasanya aku mengikuti kegiatan car free day di daerah tempat tinggalku. Biasanya aku melakukan olah raga kecil seperti lari dan mencari makanan ringan sesudahnya. Pagi ini terasa sangat ramai sekali. Semua orang yang biasa tidak keluar dari komplek rumahku, kini mereka semua keluar hanya untuk mengikuti car free day tersebut.
"Loh, kiki ngapain disini? Ini lumayan jauh loh dari rumah kamu, tumben bener kamu lari pagi disini, biasanya deket rumah doang", begitulah sapa seorang perempuan yang suaranya tak asing bagiku.
Celana ketat ditemani dengan baju berwarna biru muda dan menggunakan sepatu sporty berwarna biru pula adalah gaya yang selalu dia pakai. Ya, dia adalah Irena. Orang yang dekat denganku beberapa bulan terakhir ini. Saat bertemu dengannya kali ini, waktuku seperti terhenti beberapa detik hanya untuk melihatnya sesaat. Paras cantiknya saat olah raga dan saat keseharian bertemu denganku, semuanya berbeda.
"Lah, tumben banget seorang Irena mau lari pagi, biasanya minggu pagi macam gini masih tarik selimut bagai putri raja yang menunggu pangeran membangunkannya haha. Kalau aku mah emang biasanya 2 minggu sekali kalo cfd macam gini ikutan, bosen lari deket rumah mulu, ga ada yang bisa diliat, paling pembantu komplek yang beli sayuran, sesekali mau liat yang bening",
"Ye enak aja, aku tuh rajin kali bangun pagi, emangnya kamu, jam 8an baru bangun, itu juga kalo aku ga telepon ga akan bangun, ya ampun ini bocah satu ya, lari pagi cuma buat cuci mata doang, lari tuh buat kesehatan ini malah cuci mata. Ya tumben makanya kata aku kamu mau ikut cfd yang jaraknya lumayan jauh dari rumah",
"Irena berisik nih, sirik aja orang mau olah raga sekalian cuci mata, masa setiap lari pagi ketemunya pembantu komplek mulu, sesekali liat yang cantik lah. Tadi parkir mobil di gbk aja macet minta ampun, terus sampe HI aku lari haha, lumayan ternyata jaraknya, kirain deket",
"Seriusan parkir di gbk? Terus ke HI lari gitu? Edan, niat bener bocah satu ini, jarak yang jauh kaya gitu di jadiin tempat buat lari",
"Seriusan lah, ya kali bohong. Iya lari dari gbk ke HI, kenapa emangnya? Ga boleh? Ga niat juga lah, iseng aja, kirain deket, ternyata jaraknya jauh haha. Oh iya, hari ini ada flower day kalo ga salah denger. Liat beritanya di internet gitu, tapi ko ga ada yang jualan bunga ya?",
"Hah? Seriusan flower day? Aku baru tau, emangnya nyari yang jualan bunga buat apaan? Mau beli? Buat siapa?",
"Denger-denger sih gitu, tapi ga tau deh. Ya mau beli bunganya lah, pengennya sih beliin buat orang yang spesial di hati aku",
"Siapa? Emangnya kiki udah punya pacar ya? Ko aku ga dikenalin? Yah, kecewa lah kiki udah punya pacar",
"Kepo bener sih haha, emangnya harus banget orang spesial itu dibilang pacar? Engga ko, belom punya pacar, masih mau single dulu sampe ada yang mau ngisi hati ini. Hah? Ko kecewa sih",
"Gapapa, lupain aja, bikin bad mood aja nih orang satu, udah lari lagi aja yuk".
Dan pada akhirnya aku melanjutkan kegiatanku untuk berlari pagi dengannya. Tak berapa jauh dari tempat kita bertemu, seorang perempuan muda mendatangiku dengan membawa seember bunga mawar berwarna merah dan putih, bermaksud untuk menjualnya kepadaku.
Saat aku dihentikan oleh perempuan muda itu, dengan spontan aku mengeluarkan uang yang ada di saku ku untuk membeli setangkai bunga mawar berwarna putih. Wajah polos seorang Irena seolah tercengang ketika aku membeli bunga di depannya.
"Cie... romantis banget sih, belinya bunga mawar putih, jadi pengen ada yang kasih ke aku, kode nih ceritanya haha",
"Beli sendiri lah, sesekali gitu cewe beliin buat cowo, biar seru haha",
"Ga mau, gengsi, masa cewe yang beliin buat cowo, mau dibilang apa nanti cewenya....".
Tak kudengarkan ocehan berikutnya yang terlontar dari bibir tipisnya, aku hanya melihat wajah manisnya ketika dia sedang bete dan mulai marah. Mungkin baginya seorang perempuan yang harusnya diberikan bunga, bukannya pria. Gengsi? Iya, tapi itulah sifat alami seorang wanita yang para laki-laki harus pahami.
Setelah berjalan cukup jauh dari penjual bunga, aku dan dia berhenti di pinggir jalan karena kelelahan. Aku berusaha membulatkan tekad dan berbicara padanya apa yang aku pendam selama kenal dengannya.
"Irena, kita udah kenal cukup lama ya, tujuh bulan kalo ga salah, kita udah deket banget kayaknya walau baru tujuh bulan. Senang, sedih, suka maupun duka kita lewatin bersama. Aku udah cukup dekat mengenal kamu dan keluarga kamu, begitu juga kamu ke aku. Rasanya tuh kita kaya pasangan kekasih gitu, seru kali ya hehe", sapaku dengan sedikit senyuman di bibirku.
"Iya juga sih, walau baru tujuh bulan, aku kenal kamu tuh kaya udah bertahun tahun, kemana-mana berdua, ngelakuin apa-apa berdua, udah deket banget, tapi kalo jadi pasangan kekasih ga tau deh, aku ga mau pacaran soalnya. Suatu saat pasti akan putus atau semacamnya. Aku mau hubungan yang lebih serius", sapanya dengan tertunduk malu dan wajah sedikit pucat.
Waktu terus berlalu dan matahari pagi berubah menjadi siang walau masih tertutup dengan lagit abu-abu. Aku terus memikirkan apa yang dia katakan saat itu, seolah itu adalah pukulan ringan untukku. Entahlah, biarkan waktu dan rasa ini yang menentukan segalanya.
