Sadar.

123 19 0
                                    

Dengan perlahan, kukerjapkan mata. Cahaya dari lampu ruangan ini sangat silau, membuatku menutup mata kembali.
Tanganku terasa digenggam oleh seseorang, seperti abang. Kugerakkan jari jemariku memberinya isyarat. Dan berhasil.

Suara abang menggema, dia memanggil dokter dengan nada bahagianya.
Dan derap langkah bergemelatuk,  sepatu fantofel berhak tinggi menghampiriku.

Dokter itu membantuku membuka mata, hingga akhirnya aku bisa melihat sekeliling. Dokter wanita yang berjilbab menghadapkan telapak tangannya, buram. Dia menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, hingga penglihatanku seperti sedia kala.

Suara alhamdulillah kompak terdengar.
"Putri anda sudah siuman, namun jangan diajak berbicara dulu. Dia belum bisa berbicara, besok saat saya sudah melepas alat bantu dibadannya, baru akan bisa untuk berkomunikasi." ucap dokter itu.

Kulihat ke samping kanan, "Abang,.." ucapku dalam hati kala melihat raut wajah abang tersenyum haru dengan deraian air mata yang membasahi pipinya. Dan disamping abang, kak Fatimah tengah berusaha membuat suaminya tegar.
Disamping kiri, terdapat kedua orang tuaku. Ummah membelai rambutku, aku menangis melihat raut wajah ummah yang terdapat kesedihan begitu dalam. Dan Abah, menatapku dengan senyuman teduhnya. Tetesan air mataku tak kuasa kubendung, aku tersenyum tulus.

Dan, disamping abah, Rahman. Dia mendekat kearahku, semua keluar ruangan. Menyisakan aku dan Rahman sendiri, namun sangkaku salah. Dibelakangnya terdapat Ali, Laras, dan Dewi(teman sekelasku, sekaligus teman sebangkuku).
Mereka masih mengenakan seragam abu putih, mungkin ini hari senin atau selasa. Bahkan aku sendiri tak ingat berapa lama aku berada di ruangan ini.

"Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.. " salam Rahman, menatapku dengan tulus. Dan aku menemukan raut kesedihan yang dalam diwajahnya dan wajah temanku yang lain. Aku menatap mereka secara bergantian dan tersenyum.

"Aku merindukanmu diba.. Seminggu tampamu bagaikan ratusan tahun.. " ucap Laras dengan deraian air mata yang membuat wajahnya memerah sembab.

"Aku rindu canda tawamu diba.. " tambah dewi terisak.

"Organisasi sepi tanpa diba, akupun merindukanmu dib.. " ucap Ali menatapku dengan senyumannya getir.

Namun, kecemasan yang teramat dalam dapat kutemukan di wajah tampannya, Rahman.

Mengapa kau secemas itu terhadapku? Dan kau menyayangiku? Apakah itu tulus? Namun aku belum bisa mempercayai kata yang keluar dari mulutmu. Mungkin suatu saat nanti, saat aku telah membuka hati dan dengan tekad yang siap. Mungkin, aku bisa menerima dan mempercayai perkataanmu itu.

Heart's Content Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang