Hujan.

104 9 0
                                    

"Kepoin Tariq dong dib, plissss" ucap Dewi memelas.
"Ah udah sana tidur" kutimpuk Dewi dengan boneka beruangku.
"Ga asik ah Diba mah" jawab Dewi yang kuyakin wajahnya tertekuk.

Ya, Dewi sejak pulang sekolah tadi tidur dirumah. Orang tuanya menitipkan Dewi dirumah, abah dan ummah pun tidak keberatan karna sejak dari kelas 10 ia sudah sering menginap.

---

"tadarusmu semakin merdu ya dib, aku kalah hmm" ucap Dewi menggoda.
Sedari shubuh tadi Dewi tak berhenti bicara, ada saja yang dibicarakannya. Hhh, bikin gemas.
*pink!!!
"Dib ponselmu bunyi!!!!" Dewi dengan hebohnya menunjuk kearah ponselku yang berbunyi.
Aku segera mengakhiri tartilku, melipat rapi mukenahku dan memasukkannya kedalam ransel.
"Hmm Tariq, dapat darimana ya nomorku?" aku lurus menatap layar ponsel, pesan dari Tariq belum kujawab. Segera kumatikan ponselku dan bersiap-sip turun kebawah untuk memasak sarapan.

"kok ga dibales sih dib, kamu mah jahat emang" ucap Dewi cemberut.
"udah ayo kedapur bantuin ummah terus berangkat, udah jam lima" jawabku.

Tanpa pikir panjang, Dewi menurut dan mengikutiku.

---

Sudah siap berangkat, sudah rapi dari ujung kepala hingga kaki.
Namun cuaca tak bersahabat kali ini, hujan deras mengguyur di pagi hari.

"Ummah, hujannya deres banget" ucapku pada ummah, Dewi mengangguk-angguk, dan Abah terlihat berfikir.
"Ayo abah antar, kita naik mobil saja, kebetulan nanti jam delapan abah dan ummah ada kajian" ucap abah.
Akupun lega, begitupun dengan Dewi.

---

"Satu.. Dua.. Lariiii" aku dan Dewi menembus derasnya hujan. Untung saja jarak gerbang dengan gedung bawah tidak terlalu jauh, jadi kami pun tidak basah kuyup.
"dib, aku ke kantor dulu, kamu duluan aja" ucap Dewi dan langsung pergi.
Yah, lagi-lagi sendiri. Dingin, aku lupa tidak bawa jaket dan jas almamater, terpaksa sudah, semoga flu tak menyapa. Hehe.

"Dingin ya dib?" jaket hitam berada didepanku, aku menatap si pemberi jaket itu. Tariq.
"Pake aja riq, ga dingin kok" aku meneruskan perjalananku. Tariq melipat jaketnya dan memasukkan kedalam tas.
~
"Dib, aku kenal sama abah dan ummah mu" Tariq membuka percakapan.
Sudah di kelas, masih saja dingin, sudah kupeluk ranselku. Tetap dingin.
"Aku sering ngisi kajian bareng abah dan ummahmu" Tariq tetap saja mengajakku berbicara.
"Aku juga kenal abangmu" Tariq tidak putus asa walau tidak mendapatkan respon dariku.
Aku masih sibuk dengan rasa kedinginanku.
"Ternyata kamu, Adiba yang sering dibicarakan waktu liqo'.. Kukira namamu mirip, ternyata bener kamu, aku taunya pas tadi itu di gerbang ketemu kamu turun dari mobil milik ustadz Luqman, abahmu kan?" cerocos Tariq. Aku hanya menoleh kearahnya dengan wajah yang sangat pucat, jariku kuisyaratkan agar ia diam. Pandanganku kabur, buram.

Jangan lagi.

---

"Gimana ras?"
"Bentar lagi bangun riq, santai aja elah ga bakal mati ni anak"
"Hus! Jangan sembarangan"
"Yeee dia mah sering gini kali kalo kedinginan, kmu mah baru kenal kemarin sih!"
"Eh? Masa?"
"Iyaa Tariq cerewet! Dia tuh dah langganan ke UKS, dah diem. Sono balik ke kelas!"
"Galak dasar, aku mau disini nungguin Diba ras"
"Aelah ni bocah, yadeh sono jangan deket-deket bukan mukhrim"
"Kamu ngerti ya ras?"
"Yaiyalah lingkungan pada muslim, apalagi aku temenan sama si Diba"
"Ooo iya iya, emang si Diba itu kyak apa sih ras?"

Aku kenyimak pembicaraan mereka berdua sedari tadi yang menjadikan aku sebagai topik pembicaraan, bau obat menyeruak sedari tadi.
Sebelum Laras menjawab pertanyaan Tariq, aku menjawabnya dulu
"orangnya cantik kayak bidadari"
Lantas Laras dan Tariq pun menoleh bersamaan. Sangat-sangat bersamaan, berbarengan, hingga aku terkekeh.

"Kok aku dirumpiin sih, jahat kalian" ucapku sembari duduk dan menarik selimut tebal super hangat.
"Lah ini anak baru kepo banget sama kamu dib" jawab Laras.
"Ya kan cumn nanya biar kenal ras" Tariq membela dirinya.
"Ya bisa kali ngomong langsung ke orangnya" Laras tidak mau kalah.
"Kan tadi pingsan orangnya" Tariq tetap ngotot.
"Kan sekarang udah sadar" Laras tidak kalah ngotot.
Tariq langsung mengalihkan pandangannya padaku. Aku yang terkekeh melihat Laras dan Tariq adu mulut pun menjadi diam. Akupun langsung mengalihkan pandangan kearah gelas disamping tempat tidurku.
"Ras obatnya mana?" aku segera berbasa-basi. Laras sepertinya mengerti dan hanya tersenyum, lalu dia mengambilkan obat vitamin C untuk mengecoh Tariq agar tidak terlihat basa-basi.
"Udah dib kamu tiduran aja, aku sama Tariq nanti kesini istirahat pertama ya" Laras sedikit mendorong badan Tariq agar cepat keluar. Tariq hanya menduduk dan aku terkekeh pelan.

Pukul 08.25 , jam istirahat masih lama. Aku melihat kearah meja, ada ponselku ternyata. Aku segera membuka aplikasi quran, dan mulai membaca surah favoritku.
Tepat saat aku mengakhiri tadarusku, di ranjang sebelah seseorang berteriak mengeluh kesakitan. Suara perawat menenangkan pemuda itu, namun pemuda itu tetap mengeluh kesakitan.
Perawat terlihat mondar-mandir di meja utama, kapas-kapas di atas meja terlihat bercucuran banyak darah.
Lalu, tirai bu ya tersingkap karena pemuda yang kesakitan itu menarik tirai penghalang itu.

"Arghhh! Pelan-pelan bu!!! Sakit banget!!"
"Sabar le.. Sabar.."

Aku terpaku melihatnya. Kak Gilbran, dengan betis kaki kirinya yang penuh darah.

"Haduh, sakitnya bu.. Haduh" Kak Gilbran mengeluh terus, wajahnya terlihat sangat kesakitan. Dia belum menyadari jika aku ada di sebelahnya, dia masih sibuk dengan rasa sakit dan nyerinya.
Kakinya sudah terbalut dengan rapi. Sudah bersih dari darah.
Lalu perawat itu menyarankan agar ia segera pulang dan rujuk ke rumah sakit. Perawat itupun sudah membawa lembar rujuk rumah sakit, namun Kak Gilbran menolaknya.
Perawat itupun duduk di mejanya, wajahnya terlihat kelelahan, lalu ia menoleh kearahku.
"Neng diba, ya?" perawat itu tersenyum, aku membalas dengan anggukan dan senyuman pula.
Mendengar perawat itu melontarkan namaku, Kak Gilbran langsung menoleh.

"Sejak kapan?"
"Sejak pagi"
"Ini kan pagi"
"Sebelum bel masuk"
"Ooo.."
Hening. Berbicara tanpa menatap, perawat sedang sibuk dengan pembukuannya.
"Dib, ga pulang aja? Pucet kamu"
"Ga"
Hening lagi.
"Suaramu merdu"
Aku diam, berarti Kak Gilbran tau saat aku tadarus tadi, duh malu.

*****

Heart's Content Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang