Headphone Voice

35 13 1
                                    

Hari ini sama seperti biasanya. Hari yang panjang dan melelahkan. Hingga akhirnya aku bosan bermain Game seharian. Jadi aku menyetel radio. Sambil merebahkan tubuhku.

Dari radio itu aku mendengar suara orang yang berbicara sambil menangis tersedu-sedu.

“Sungguh disayangkan hari ini. Saya harus mengatakan hal ini,” kalimat pertamanya terdengar sangat berat, “Dunia ini akan segerah hancur. Jadi... hztttt... “ kalimat itu terpotong.

-

Aku melirik jendela. Terlihat banyak burung terbang berkelompok secara tak beraturan. Sehingga membuat mereka saling menabrak satu sama lain.

Aku teringat sesuatu. Ada Game yang belum kuselesaikan dan kuSave. Juga ada tumpukan buku berdebu yang pasti tak akan pernah kupegang lagi setelah ini.

Tubuhku tiba-tiba bergemetar. Ketika mengingat suara orang tadi di Radio. Untuk menghilangkan rasa gemetarku itu, aku memutuskan memakai Headphoneku.

Ketika aku memakai Headphone itu di telingaku, aku mendengar suara nyaring keluar dari sana. Itu bukanlah musik yang tersimpan di memoriku.

“Kau ingin selamat bukan?” tanya suara itu.

Aku sedikit kebingungan mendengarnya. Apa pertanyaan itu untukku? Atau itu hanya sebuah suara yang tak bermakna penting.

“Apa yang kau tunggu di sana. Menunggu ajalmu sampai?” suara itu muncul lagi.

“Apa... maksudmu...?” aku semakin kebingungan mendengarnya.

“Lari... lari... lari... ayo lari... selamatkan dirimu...!!!” perintahnya dengan jeritan keras hingga membuatku ikut histeris mendengar.

Tanpa basa basi, aku langsung mengenakan jaketku. Dan berlari keluar rumah. Dengan tergesa-gesa.

-

“Waktumu 10 menit lagi,” suara itu bergema.

Aku berlari di dunia yang akan hancur. Bahkan langit pun sekakan runtuh menerpa bumi. Bangunan-bangunan dan rumah-rumah yang kulewati juga mulai hancur.

“Pergilah ke bukit itu bila kau ingin selamat. Jangan menentang perintahku. Ikuti saja semua yang kukatakan...!” hentaknya dalam Headphone itu.

Aku hanya bisa terus mengiyakan perkataannya sambil terus berlari. Dan sesekali berusaha menghindar tuntunan bangunan yang hampir menimpaku.

“Siapa kau? Kenapa suaramu... sama seperti... suaraku?” desisku.

-

Jalan penuh dengan kerumunan orang yang panik. Anak-anak, pria, wanita, dan lansia semua berada di kerumunan itu tanpa tahu apa-apa. Suara bayi yang menangis dan klakson mobil yang keras hampir menembus Headphone di telingaku ini.

Di sampingku tadi terlihat orang tua yang rapuh. Lalu seorang gadis yang menangis histeris. Bahkan aku melihat seorang pendeta yang berdoa meminta keselamatan.

Namun aku tak menghiraukannya. Dan terus berlari melewatinya. Dengan mengikuti suara nyaring yang ada di telingaku ini. Yang menyuruhku berjalan terbalik dari mereka. Untuk menuju bukit itu.

“Tujuh menit lagi,” suara itu memberitahuku.

Jika semua ini lenyap dan musnah sebentar lagi. Maka tak berakhirlah semuanya. Bahkan aku sendiri. Sehingga aku tak punya pilihan lain lagi selain mengikuti semua perkataannya.

-

Semua orang langsung histeris. Dalam 10 detik mereka menangis sekeras-kerasnya. Membuatku mulai terbawa suasana.

Perasaan ragu pun kini menyertai langkah lariku ini. Membuatku berpikir, “Siapa yang telah melakukan semua ini?” tanyaku. Namun tak ada jawaban. Tapi siapa pun, takdir kami semua sedang di pertaruhkan saat ini.

“Berlari... berlari... berlarilah... hanya tinggal satu menit lagi,” suara itu kembali bersorak.

Aku mempercepat lariku, karena kini aku telah dapat melihatnya. Bukit yang aku tuju, itu ada tepat di depanku sekarang. Dan suara itu pun lenyap.

-

Aku menarik nafas lega. Karena akhirnya aku telah sampai di bukit ini. Namun aku sedikit terkejut, ketika melihat dinding yang tingginya hingga menembus langit.

Di belakang dinding itu terlihat seorang ilmuwan yang sedang tersenyum sambil menepuk tangan “Mengagumkan,” ujarnya sambil mengucapkan kata itu berkali-kali di setiap tepukannya.

Lalu mereka juga memberitahukanku sesuatu yang membuatku sangat terkejut.
Ternyata seluruh kota ini hanyalah sebuah percobaan eksperimen. Yang diletakan di sebuah kota kecil. Dan diamati setiap harinya.

“Sudah tidak dibidik lagi,” ujar ilmuwan itu sinis sambil melemparkan sebuah bom di tangannya.

-

Aku diberitahu, bahwa aku selama ini hidup di kotak eksperimen kecil. Aku hanya bisa diam tercengang dan tak bisa apa-apa lagi.

Aku berbalik melihat kota. Kota yang kini telah hancur dan mulai terbakar hangus. Tanganku ikut gemetar, bila memikirkan nasib orang-orang di sana yang sebentar lagi akan kurasakan.

Sekali lagi aku mendengar suara dari Headphoneku. Dari sana aku mendengar orang berkata, “Maafkan aku,” secara samar-samar. Sebelum aku ikut hancur di kotak eksperimen ini.

End.

By: aquilarashynh

Our Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang