Reysya

36 5 0
                                    

*Form*
Nama: Syafi
Akun wp: Lord_Gavin
Judul cerpen: Reysya

“Reysya!” Terdengar teriakan seseorang dari balik pintu kamarku. Sejenak ku alihkan perhatianku yang awalnya fokus ke buku tugas matematika ke arah pintu.
“Reysya! Kamu dengar nggak, sih? Dari tadi dipanggilin malah diem aja! Nggak sopan ya kamu sekarang?!” Malas mendengar perkataannya lagi, aku beranjak dari meja belajarku untuk membukakan pintu yang mungkit bisa jebol karena gedoran Mama.
“Hem? Eh, Mama kapan pulang? Mama masih inget toh sama Rey!” Dengan riang kuucapkan kaliamat itu. Namun, nada bicaraku berbanding terbalik dengan raut wajahku saat ini, aku yakin itu.
“Kamu ini, ya! Gimana bisa nilai ulanganmu selalu di bawah rata-rata kelas? Kamu suka ya kalau Mama dipermaluin terus? Setiap tahun pasti dipanggil ke ruang kepala sekolah!” keluhnya. “Makanya kalau disuruh belajar tu langsung belajar! Jangan malah main game terus!” lanjutnya.
“Gimana Mama bisa tau aku belajar atau enggak? Aku tuh belajar sebelum Mama pulang! Dan sialnya, setiap kali Mama ke sini, posisiku baru aja buka HP. Gimana Mama mau liat aku belajar? Setiap aku baru belajar, Mama malah seenaknya sendiri teriak-teriak di depan kamarku, kenapa nggak langsung buka pintu aja? Toh, pintunya nggak dikunci!” Aku berusa membuat wanita paruh baya di hadapanku ini mengerti dengan kondisiku saat ini.
“Apa sih ribut-ribut? Ini tuh udah malem, nggak usah berantem sehari aja bisa, kan?" Tiba-tiba Papa datang, beliau mengusap kepalaku lembut.
“Ini lho, Pa. An…”
BRAAKKK!! Kututup pintu kamarku dengan keras hingga meninggalkan suara.
“Reysya!” Pekik Mamaku sambil menggedor pintu kamarku beberapa kali. Aku mengabaikannya dan memilih kembali duduk di meja belajarku.
Sejenak aku mendengar pertengkaran Papa dengan Mama dari sini. Aku mengabil earphone lalu ku masukkan pada lubang audio di ponselku. Kupasang earphone itu ke telinga dan mulai mendengarkan musik.
Kututup buku tugas matematikaku dengan keras, moodku kini telah hancur. Aku beranjak ke atas kasurku. Tak lama setelah berbaring di atas kasur ini, aku terlelap.
_-_-_
“Pagi, sayang,” terdengar seseorang menyapaku, aku juga merasakan sebuah tangan membelai kepalaku. Tak lama, kubuka kedua mata lalu mengerjapkannya.
“Eh, pagi, Pah!” Jawabku bersemangat dan langsung mengambil posisi duduk.
“Mandi sana, terus sarapan, nanti sekolahnya Papa yang antar,” ujar Papa sambil beranjak pergi dari kamarku. “Siap, Pa!” Bagiku, diantar ke sekolah oleh Papa adalah momen spesial yang tidak boleh ditinggalkan. Oleh karena itu, aku segera bersiap sekolah dan sarapan di meja makan.
Kata teman-teman di sekolahku, aku ini anak yang beruntung. Namun, yang kurasakan justru berbanding terbalik dengan yang dilihat mereka. Keluargaku tak pernah lengkap, seperti sekarang ini misalnya, aku sarapan hanya berdua dengan Papa, karena Mama sudah berangkat kerja pagi buta tadi.
Tinggal di perumahan mewah membuatku semakin terpuruk. Kenapa? Karena di lingkungan ini masyarakatnya tak saling mengenal, aku bahkan tak yakin dengan jumlah keluarga yang tinggal di depan rumahku, mereka jarang sekali keluar rumah, atau malah jarang pulang, entahlah. Intinya, aku sangat kesepian, tak ada teman dan saudara yang menemaniku.
Tak banyak yang ku bicarkan dengan Papa saat sarapan atau di perjalanan. Sesampainya di sekolah, aku berpamitan dengan Papa, lalu langsung turun dari mobil dan berjalan memasuki sekolah.
Kujalani kegiatan-kegiatan di sekolah. Belajar, makan, dengar musik, belajar makan, dengar musik, belajar, pulang. Dan sampailah aku di rumah.
Ceklek. Kubuka pintu rumah.
"Ma, aku udah sabar-sabarin lho, Ma. Tapi kamu nggak berubah. Pulang larut malam, berangkat pagi buta, pulang siang cuma kadang-kadang itupun cuma ngambil barang ketinggalan. Kasian Reysya, Ma. Sifatnya kayak gitu juga gara-gara kamu, gara-gara kita nggak ngasih perhatian dan pengajaran ke dia." Aku mendengar Papa bertengkar, mungkin dengan Mama, asal suaranyanya dari ruang keluarga.
Aku berjalan mendekati asal suara, benar saja, aku melihat Mama dan Papa saling berhadapan, wajah keduanya memerah menahan amarah.
"Aku, sibuk, Pa. Aku kerja dari pagi sampek malem buat Reysya juga!"
"Biar apa? Buat Reysya? Nggak salah? Setiap hari bukannya ngasih perhatian ke Reysya kamu malah bentak-bentak dia terus, pantes aja dia jadi anak pembangkang kalau sama kamu."
"Bukannya aku nggak ngasih perhatian ke dia, Pa. Aku cuma pengen Reysya jadi anak mandiri, bukan anak manja. Aku cuma pengen dia siap kalau sewaktu-waktu kita nggak ada." Aku tertegun mendengarnya. Perlahan aku berjalan meninggalkan ruang keluarga menuju kamarku.
Aku menjatuhkan diri ke atas kasur,  tak peduli masih menggendong tas.
Tak lama kemudian aku mendengar suara mobil dihidupkan dan mulai pergi menjauh. Akh,  mugkin Mama udah berangkat kerja lagi. Pikirku.
_-_-_
Seperti kemarin, pulang sekolah aku disuguhi pertengkaran Mama dan Papa. Tapi kali ini bukan tentangku.
"Jujur aja deh,  kamu lebih betah di kantor karena asisten barumu itu, kan? Jujur aja, nggak usah ngeles lagi!" Suara Papa terdengar keras. "Pantes aja,  kamu jarang pulang!" lanjutnya.
"Ih,  Papa jangan asal nuduh ya, aku kerja buat keluarga kita,  nggak ada hubungannya sama Aldi!"
"Oh,  jadi namanya Aldi yang udah bikin kamu selalu betah di kantor?"
"Kamu tuh, apa-apa, sih." Bla bla bla,  aku tak ingin mendengarkannya lagi,  segera aku beranjak ke kamar sambil mendengarkan musik lewat earphone yang terpasang di telingaku.
Hari-hari berlalu, pagi, siang, sore,  malam, di meja makan,  di ruang tamu, di halaman,  di mana-mana,  kalau Mama dan Papa berada di satu ruangan selalu saja berantem. Hingga puncaknya.
"Udahlah, Ma, aku udah capek sama kelakuanmu, semakin hari semakin menjadi-jadi!"
"Aku juga udah capek sama kamu, udah berapa kali sih aku bilang kalau aku kerja buat kita!"
"Udah, cukup, kita pisah aja!" Aku tersentak kaget mendengar kalimat iu terucap oleh Papa.
"Oke, fine! Kita pisah!" Aku merinding mendengarnya.
"Pa, Ma!" Suaraku serak,  mati-matian aku menahan air mata. "Jangan pisah!" lanjutku,  air mataku tak dapat dibendung lagi.
"Nggak bisa, Sayang,  Papa udah capek sama kelakuan Mamamu, Nak!" seru Papa sambil menunduk menyamakan tingginya denganku. Aku menghela napas sejenak, kini Papa tengah memelukku, rasa aman, hangat, dan sayang dapat kurasakan lewat pelukan ini. Samar-samar aku mendengar Mama menangis.
_-_-_
Hari demi hari berlalu, aku tak lagi mendengar pertengkaran Papa dan Mama. Masalahnya diselesaikan dengan perceraian. Kalau aku tahu akan seperti ini jadinya, aku pasti belajar dengan giat. Aku pasti mengesampingkan keegoisanku. Benar kata pepatah yang sering disampaikan oleh guruku, "Penyesalan akan datang di akhir".
Kini Papa dan Mama resmi berpisah. Jika aku boleh memilih,  aku lebih memilih tinggal bersama Papa, yang terlihat sangat menyayangiku. Tapi apa boleh buat, hak asuhku diberikan kepada Mama.
Pasca perceraian kedua orang tuaku,  aku semakin tak terurus, nilaiku lebih buruk lagi,  aku lebih suka berada di kamar, Mama lebih jarang pulang. Jarang sekali aku melihat Mama.
Tak terasa sudah sebulan aku tidak melihat ataupun mendengar suara Mama.
Jujur saja, aku sangat menyayangi Mama, aku merindukan Mama, rindu suaranya, pelukannya, tatapannya, senyumannya, bahkan bentakannya saat memarahiku. Semua itu melebihi rasa rinduku pada Papa.
Setiap malam aku selalu cemas memikirkan keadaan Mama, pikiran negatif selalu muncul, seperti Mama kecelakaan, Mama diculik, dan lain-lainnya aku tahu pikiranku sedikit konyol, tapi itu benar-benar kupikirkan.
Bahkan aku sering menunggu kepulangan Mama di sofa ruang tamu hingga tertidur. Namun, tak juga aku mendapati kepulangan Mama.
Cklak, aku mendengar suara kenop pintu terbuka. Ku lirik jam dinding kamarku yang kini menunjukkan pukul tujuh malam.
"Reysya!  Mama pulang!" seru seseorang di depan pintu kamarku. Suaranya lembut, tidak seperti biasanya. Sontak aku berlari untuk membuka pintu lalu memeluk Mamaku. Wajahnya terlihat lelah dan pucat, bibirnya pecah-pecah, matanya sedikit memerah.
Entah kenapa, rasa kesal dan benci yang selalu kurasakan saat bersama Mama hilang begitu saja. Mama memelukku balik. Rasa hangat langsung kurasakan.
"Mama dari mana aja?"
"Maafin Mama ya, Nak, Mama sadar, Mama belum jadi ibu yang baik buat kamu."
"Reysya udah maafin Mama, kok!" Kulihat Mama tersenyum lembut padaku. "Maafin Reysya juga ya, Ma!" Mama mengangguk.
Malam ini aku makan malam bersama Mama. Spesial untukku katanya.
"Maafin Mama ya, Sayang. Pasti kamu selalu kesepian." Mama menyiapkan makanan sendirian, ia melarangku membantu. "Maaf, ya, Mama selalu sibuk kerja, Mama nggak pernah merhatiin kebahagiaan kamu, tapi Mama kerja buat kamu, Sayang!" Mama mengusap kepalaku lembut setelah meletakkan sepiring ayam goreng.
Banyak hal yang kami obrolkan hingga makanan yang tadi tersaji kini telah habis.
"Biar Reysya aja yang beresin, Ma," ujarku sambil menumpuk beberapa piring dan merebut piring yang telah Mama tumpuk. Mama mengangguk. Wajahnya semakin terlihat pucat.
"Uhuk-uhuk! " Aku segera meletakkan piring-piring kotor ketempat cuci piring. Tergesa-gesa aku mendatangi mama yang nampak mencengkeram dada kirinya.
Aku mengambil gelas dan kuisi dengan air putih, lalu kuberikan pada Mama. Mama mengangguk samar aku mendengar ucapan terima kasihnya.
Bukannya mereda, batuk Mama malah tambah parah. Bahkan hingga mengeluarkan darah. Aku segera berlari untuk mengambil ponsel lalu menghubungi rumah sakit.
Aku kembali berlari ke arah Mama yang kini terlihat sesak napas. Pikiranku kalut, gugup, dan panik.
"Mama bertahan, Ma! Sebentar lagi ambulannya datang!" Aku berusaha keras untuk menenangkan diriku sendiri. Mati-matian kutahan air mataku agar tidak keluar.
Beberapa menit kemudian tenaga medis datang dan langsung membawa Mama ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Mama dimasukkan ke ruang UGD, aku sangat panik, kini air mataku tak lagi terbendung. Aku takut Mama kenapa-napa. Baru saja tadi alu merasakan kasih sayang ibu, kesedihan kembali melandaku.
Aku menghubungi Paman Riko, kakak kandung ibuku. Beberapa menit kemudian beliau dan keluarganya datang.
"Sabar,  Sayang, Mama pasti kuat!" Tante Anna, istri paman tak henti-hentinya menenangkanku sambil memeluk dan mengusap punggungku.
"Tante, Mama sakit apa?" tanyaku di sela isak tangis. Sejenak Tante Anna menoleh ke arah paman. Paman mengagguk.
"Maaf sebelumnya, Rey. Sebenarnya Mama sakit TBC, penyakitnya sudah lama, Mamamu tidak mau kamu mengetahui penyakitnya. Jadi, ia menutupinya dengan sering ke kantor, pulang malam, dan sebagainya." Aku mematung mendengar penjelasan yang diberikan oleh Tante Anna.
Pantas saja sebulan ini Mama nggak pulang. Pikirku.
Ingatanku kembali ke beberapa waktu lalu, saat aku menjadi pembangkang, saat aku bersifat tak sopan pada Mama. Air mataku kembali mengalir ketika aku mengingat masa-masa kelam itu.
Kenapa dulu aku menjadi anak yang tidak patuh? Kenapa aku tidak pernah menghargai nasehat Mama? Kenapa aku tidak menyayangi Mama sebesar Mama menyayangiku? Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan? Kututup wajahku dengan kedua tangan. Aku menangis sesenggukan. Berkali-kali Tante Anna menenangkanku, namun tak pernah berhasil.
"Saudara ibu Rahma?" ujar seseorang membuatku mendongak untukelihat ke arahnya. Ternyata beliau adalah dokter yang merawat Mama.
"Dok, bagaimana keadaan Mama?" Sontak aku lansung menerjangnya dengan pertanyaan itu. Tante Anna memelukku dari belakang.
Air muka dokter itu tidak enak dipandang, seakan telah menjalani masa sulit.
"Dok! Mama baik-baik aja, kan?" Aku menarik-narik lengan almamater laboratorium dokter itu.
"Maaf, Ibu Rahma telah tiada, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi tuhan telah memilihkan jalan terbaik untuk Ibu Rahma. Semoga amal dan ibadah beliau diterima di sisi-Nya." Lututku lemas setelah mendengar perkataan khas seorang dokter yang gagal menyelamatkan pasiennya.
Aku sudah tak bisa menangus lagi. Air mataku seakan mengering. Apa yang akan kulakukan sekarang?
Mama, maafin Reysya yang nggak pernah nuruti permintaan Mama, yang jafi pembangkang sama Mama, yang selalu mempermalukan Mama dengan nilaiku yang jelek.
Malam ini menjadi malam paling menyedihkan bagiku.
_-_
Author P.o.V
Berbulan-bulan Reysya lewati dengan berat. Ia tinggal dengan Papanya. Ia kini terlihat lebih hidup, temannya bertambah banyak, ia jadi lebih sering bersedekah, ibadahnyapun tak pernah bolong, bepajarnya rajin. Semua itu ia niatkan hanya untuk Mamanya.
Kini Reysya telah selesai menjalani pendidikan di SMAnya. Ia sangat senang mendaoatkan nilai yang terbilang tinggi. Ia berhasil mendapatkan juara ke tiga. Siang ini, ia diwisuda.
Selesai acara wisuda, Reysya berziarah ke makam Mamanya. Tidak terpikir olehnya untuk mengganti seragamnya terlebih dahulu. Bahkan ia masih menggunakan toga kelulusan.
"Ma, Reysya dateng lagi! Mama sekarang nggak perlu susah-susah marahin Rey, karena Rey berhasil masuk tiga besar, walaupun nggak masuk juara satu, tapi Rey bahagia bisa mendapatkan nilai ini, Ma! Ma, maaf, Rey baru bisa ngasih nilai ini sekarang, maaf Rey dulu selalu mendapatkan peringkat rendah, maafin Rey, Ma!" Reysya menangis di hadapan makam ibunya. Ia meletakkan salinan ijazahnya di atas makam Mamanya.

****

Our Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang