Ibu Adalah Segalanya

49 9 2
                                    

Bagi Claresta, ibu adalah segalanya. Menurutnya, kasih sayang seorang ibu tidak bisa menandingi apapun. Ibu bagaikan sesosok malaikat yang selalu menjaganya dan selalu membantunya saat ia butuh.

Ibu bagaikan sesosok malaikat yang apabila sudah waktunya meninggalkan dunia, ia tak pernah bisa kembali lagi, tak bisa memberi kasih sayangnya lagi, bahkan, bergerak untuk menyentuh anaknya kembali pun tidak. Claresta tak peduli dengan penampilan sang ibu. Semua kasih sayangnya sama, tak peduli seberapa kayanya dia, tidak peduli seberapa pintarnya dia, tidak peduli pula dengan fisiknya. Dimana-mana, ibu selalu mengkhawatirkan anaknya.
Apakah anaknya baik-baik saja?
Apa anaknya sedang ada masalah? Apa anaknya sedang dalam bahaya?
Tapi, kenapa ada banyak anak yang tidak mengkhawatirkan ibunya sendiri?

Claresta selalu merasa sedih, kenapa banyak anak yang mengejeknya sebagai anak yang manja? Mereka bilang, siapa yang sering membicarakan tentang ibu, berjalan bersama ibu, belajar bersama ibu adalah anak manja yang tak memiliki teman. Tapi coba pikirkan sekali lagi, apa semua itu benar?

Ah ... mungkin mereka memang benar. Ia begitu manja dan terkesan over protective pada bundanya sendiri karena Ayahanda tercinta telah pergi beberapa waktu silam. Memikirkan hal seperti ini, membuatnya begitu muak dengan jalan pikirannya sendiri.

Keesokan harinya, seperti biasa bunda yang menjemputnya setiap pulang sekolah. Claresta berjalan dan menyapa bundanya dengan riang, mengabaikan segala tatapan kebencian dan cemoohan yang sengaja ditujukan untuknya. Entah kenapa, Claresta merasa ada yang tidak beres dengan keadaan bundanya. Mukanya pucat dan terlihat begitu lelah meski senyuman bunda dapat menutupi keadaannya yang mengkhawatirkan itu.

"Bunda tidak apa-apa?" tanya Claresta khawatir.

"Ada apa? Bunda sehat kok, hanya saja kemarin harus lembur, jadi tidak perlu khawatir," jawab bunda sambil tersenyum.

Claresta agak heran. Ia merasa bahwa bundanya merahasiakan sesuatu darinya. Tapi kenapa harus disembunyikan? Padahal, biasanya bunda selalu memberi tahu Claresta saat bunda mendapat masalah.
"Kalau begitu ... apa bunda ada masalah?" tanya Claresta lagi.

"Tidak ada apa-apa Resta. Bunda baik-baik saja."

"Kalau bunda memiliki masalah, bunda bisa berbagi dengan Resta. Mungkin Resta bisa membantu."
"Tenang saja, Bunda akan selalu baik-baik saja."

***

Seminggu berselang, Claresta mulai menyelidiki hal apa yang disembunyikan oleh bunda. Mulai dari bertanya sampai memperhatikan gerak geriknya. Sebagian hatinya merasa kecewa karena bundanya tidak memberitahu masalahnya, sebagian hatinya lagi memaklumi tindakan ibunya yang berusaha terlihat baik-baik saja itu.

Dugaan Claresta benar. Nafsu makan bundanya berkurang dan ia sempat memergoki bunda muntah-muntah. Meski begitu, ia tetap berpura-pura tidak tahu seolah tidak terjadi apa-apa. Hati kecilnya mulai bertanya-tanya, Apa ada penyakit yang diderita bunda?

Di hari Sabtu yang cerah, bunda pamit mau pergi ke pasar. Ini adalah kesempatan bagi Claresta untuk menyelidiki seluruh bagian rumah. Meski harus lebih berhati-hati karena masih ada bibi Runi di rumah. Rupanya dewi Fortuna memberikannya sebuah keberuntungan hari itu. Bibi Runi sedang membersihkan halaman belakang, jadi Claresta masih bisa menyelidiki rumah tanpa dicurigai oleh bibi Runi. Perlahan-lahan ia mulai menyelidiki ruang tamu lalu menuju ke tempat yang lainnya. Tepat di meja depan kamar bunda, ada sebuah buku harian -yang ia yakini adalah milik bunda- tergeletak disana.
"Mungkin segala rahasia yang disembunyikan bunda ada di buku ini," gumam Claresta.

Ia mulai membuka buku harian itu dan membacanya di dalam kamar agar bibi Runi tidak memergokinya sedang membaca buku harian bundanya. Meski ini adalah hal yang tidak sopan, ia tetap membacanya untuk memastikan bahwa bunda benar-benar dalam kondisi yang baik-baik saja.

Our Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang