Akun wp : onlyelaine
Judul : Bulan
Genre Cerpen : Fiksi Remaja/ Teen FictionCinta bukan hanya sekedar rasa. Banyak hal yang harus dipertanggungjawabkan bila ingin menyebut rasa itu sebagai cinta. Aku adalah bulan. Bulan adalah aku. Membingungkan memang. Tapi itu adalah kenyataannya. Namaku Bulan. Dan aku memiliki posisi yang sama seperti bulan di langit.
Bulan adalah satu-satunya satelit yang dimiliki bumi. Bulan bergerak mengitari bumi tanpa henti. Begitu juga aku. Aku mencintai seorang lelaki bernama Bumi sejak tahun pertama kami berada di kelas yang sama di universitas ini. Buatku dia sangat istimewa. Apapun yang ada pada dirinya aku suka. Semua sifat buruknya, yang menurut sahabat-sahabatku itu sangat tidak pantas, tidak membuat perasaanku berkurang padanya. Aku mencintainya dan hingga sekarang aku masih terus mengitarinya.
Sampai pada akhirnya aku ingat pada pelajaranku saat di SMP. Bumi bergerak mengelilingi matahari. Ya, matahari. Nama gadis itu adalah Matahari dan Bumi selalu menyebutnya dengan sebutan Tata. Sama seperti bumi yang sesungguhnya. Bumi mencintai Tata. Di mata Bumi, tak ada lagi gadis sempurna selain Tata. Bumi sangat memuja Tata sama seperti aku memujanya. Aku mengitari Bumi dan Bumi mengitari Tata. Begitulah keadaannya hingga saat ini.
Ini adalah kisahku. Kisah nyata yang kualami hingga detik ini. Aku menulis kisah ini agar semua orang yang pernah berada di posisi bulan mengerti mengapa ia ditakdirkan sebagai bulan. Buatku bulan adalah ketulusan. Meskipun bulan memiliki rupa yang buruk, tapi ketulusannya mengitari bumi tanpa henti membuatnya terlihat begitu indah. Walaupun ia tidak bersinar dengan sinarnya sendiri, tapi ia terus mengitari bumi. Membagikan sinarnya untuk semua makhluk bumi yang takut akan kegelapan. Bulan melakukannnya dengan tulus. Meski bumi tidak pernah memintanya melakukan itu semua, bulan tetap mengitari bumi tanpa mengharapkan bumi bisa melihatnya.
Tidak seperti matahari yang sombong dengan kepalanya yang tegak. Matahari merupakan bintang pusat perhatian semua orang. Semua planet berebut mengitarinya agar bisa menikmati sinarnya meskipun sedikit, termasuk bumi. Setiap detik bumi mengitari matahari berharap matahari melihatnya. Begitulah kisahku. Aku yang terus mencintai bumi dan bumi yang terus mencintai matahari tanpa sedikitpun melihat ketulusanku. Dan aku ingin membaginya sekarang.
~
Malam itu aku menangis sejadi-jadinya di dalam angkutan umum yang kunaiki. Aku masih berusia delapan belas tahun saat itu. Sebelumnya aku menyatakan rasa sayangku pada Bumi dan ia menolakku.
“Aku pulang ya. Kau hati-hati di jalan.” Itu adalah kalimat terakhir yang kuucapkan padanya sebelum aku naik ke angkutanku. Dan jadilah air mata itu menetes tanpa bisa kucegah. Rasanya sangat menyakitkan. Ini bahkan lebih sakit daripada saat aku tahu bahwa senior yang kusukai saat sekolah menengah dulu sudah memiliki pacar.
Ibu dan adikku menyambutku di rumah dengan segudang pertanyaan yang siap dilontarkan. Namun aku yang tidak siap menjawabnya. Pasalnya ini sudah pukul sepuluh malam dan aku baru tiba di rumah.
“Kau menangis?” Pertanyaan yang siap mereka lontarkan pun sekejap hilang karena melihat mataku yang bengkak. Aku malu sekali. Lalu aku berlari ke kamar dan mulai menangis lagi.
Adikku, Venus langsung menginterogasiku tanpa ampun.
“Kau ditolak?” Venus sudah tahu tentang rencanaku menyatakan perasaan pada Bumi.
Lantas aku menangis lebih keras.
“Sudahlah, seperti tidak ada lelaki lain saja.” Mudah baginya berujar seperti itu saat ini. Tapi buatku sangat sulit. Bumi adalah lelaki dengan tipe yang sangat kuimpikan untuk menjadi pacarku. Aku sudah mendambakan sosoknya sejak lama dan sekarang aku tidak bisa memilikinya padahal jarak kami sudah sangat dekat. Hatiku hancur.
Besok paginya giliran Ibu yang menanyaiku. Setelah mendapatkan jawaban yang ia inginkan, Ibu langsung menghajarku.
“Dasar anak kurang ajar!” Ibu terus menghajarku.
“Aku tidak rela anakku meninggalkan ibadah hanya karena lelaki.” Ibu berang sekali saat mengetahui aku meninggalkan solat Maghribku karena terus saja bicara dengan Bumi malam itu hingga aku lupa waktu. Dan aku mulai menangis lagi. Aku mengecewakan Ibu yang saat itu berharap banyak padaku sebagai anak tertuanya. Hatiku hancur sekali dan sejak saat itu aku bertekad untuk melupakan Bumi dan serius menjalani kuliahku. Aku bertekad bahwa Bumi adalah lelaki yang membawa pengaruh buruk padaku. Dengan begitu aku bisa dengan mudah melupakannya.
~
Tapi semuanya tidak semudah yang kupikirkan. Aku terbuai lagi oleh semua sikap manisnya yang menurut orang normal terlihat biasa. Dan lagi-lagi aku gagal mengendalikan perasaanku. Aku dikendalikan oleh perasaanku sendiri dan sekarang aku bertindak bodoh lagi.
Bumi mengirimiku pesan saat malam hari. Saat itu aku sangat sibuk merapikan tugas praktikumku. Aku kaget sekaligus senang saat nama Bumi tertera di layar ponselku. Sebelum kubaca, aku masih menerka apa isi pesan Bumi untukku. Pasalnya, ia sudah lama tidak mengirimiku pesan. Dan ini adalah pertama kalinya sejak sekian lama.
Awalnya manis sekali sampai-sampai aku terbuai. Pada akhirnya aku menangkap maksud Bumi sebenarnya mengirimiku pesan. Ia hanya ingin meminjam kalkulator dariku. Saat itu juga duniaku terasa hancur. Mungkin aku yang terlalu cepat menyimpulkan. Dan dengan bodohnya kusetujui keinginannya itu padahal di rumahku hanya ada satu buah kalkulator untuk besok kugunakan. Langsung saja aku lari keluar rumah dan mendatangi rumah para tetangga untuk meminjam sebuah kalkulator tambahan untuk Bumi.
Alhamdulillah, aku mendapatkannya. Tapi Ibu malah mencurigaiku.
“Untuk apa kalkulator lagi? Kau merusakkan milikmu?” Aku terkaget melihat ekspresi Ibu begitu menyeramkan seperti polisi sedang menginterogasi seorang buronan.
Kontan aku tergagap. Tidak mungkin aku mengatakan yang sebenarnya, bisa-bisa besok pagi Ibu mendatangi kampus dan menghajar wajah Bumi sampai babak belur. Aku tidak akan membiarkan Bumi ku terluka.
“Untuk jaga-jaga saja Bu, kalau-kalau temanku ada yang tidak membawa kalkulator.” Aku meringis berusaha menutupi kebohonganku.
“Ah apa jangan-jangan untuk Bumi ya?” Kali ini Venus ikut-ikutan.
Aku terkaget sekali lagi. Bagaimana Venus bisa tahu?
“Tidak, tentu saja tidak. Yang benar saja. Aku dan dia sudah lama tidak bicara, mana berani dia meminjam barangku.” Semoga penjelasanku yang berbelit-belit itu bisa membuat dua orang yang paling kusayangi di dunia ini percaya. Lalu aku berlalu ke kamar dengan langkah seribu.
~
Besok paginya Bumi meminta kalkulatornya padaku. Aku memberikannya tanpa berujar apapun. Lalu Halley salah satu sahabatku, menghampiriku setelah Bumi pergi.
“Dia meminjam kalkulatormu?” Aku mengangguk.
Halley mendengus menatap sosok Bumi.
“Apa kau masih menganggapku sebagai sahabatmu?" Halley tiba-tiba meremas lenganku memaksaku menatap kedua bola matanya.
Aku mengangguk ragu.
“Berhenti meminjamkan apapun padanya. Aku benci dia, Bulan. Dia sudah menyakitimu berulang kali dengan semua harapan palsunya dan kau masih saja baik padanya.” Aku terdiam cukup lama lalu aku tersenyum pada Halley.
“Kejahatan tidak harus dibalas dengan kejahatan kan, Hall?” Selalu saja ada alasan untuk berbuat baik pada Bumi. Padahal alasanku hanya satu, yaitu ingin membuat Bumi terkesan dan membuatnya bisa membalas perasaanku. Itu saja.
“Aku membencinya, Bulan. Jadi tolong penuhi keinginanku ini.” Akhirnya aku mengalah dan setuju dengan permintaan Halley itu.
Sejak saat itu Bumi tak pernah meminjam apapun lagi dariku.
~
Entah setan apa yang merasukiku malam itu. Tapi itu benar-benar terjadi. Aku menelepon Bumi. Itu pertama kalinya aku menelepon seorang lelaki selain ayah dan Mars, adik lelakiku. Hanya sebentar, lalu telepon kuakhiri. Aku tidak ingin percakapan kami berakhir karena pulsaku yang sudah sekarat. Bisa malu aku. Cinta memang bisa membuat orang berubah. Belum pacaran saja aku sudah harus menyediakan modal banyak untuk menelepon Bumi. Apalagi saat kami pacaran nanti?
Dan untuk ke sekian kali aku terbuai lagi oleh semua sikap manis Bumi. Aku mengatakan perasaanku lagi padanya dan tentu saja masih ditolak. Sudah dua kali dan belum ada tanda-tanda dariku untuk menyerah. Aku pasti benar-benar sudah gila saat itu. Gila karena cinta yang salah.
Setiba di rumah aku menangis lagi dalam solatku. Hampir saja aku kehilangan pertemuanku dengan Allah karena terlalu lama bicara dengan Bumi tadi. Aku mengadu pada Allah dengan cucuran air mata. Mengadu dan mengeluh mengapa Bumi tak pernah bisa menerimaku menjadi pacarnya dan menerima perasaanku yang tulus ini. Dan akhirnya aku kelelahan hingga tertidur.
Besok paginya aku membuat janji lagi terhadap diriku sendiri. Aku berjanji takkan mau terbuai lagi akan semua sikap manis Bumi padaku. Aku akan menghemat bicara dengannya. Dengan begitu, aku tidak perlu menerima semua sikap baik Bumi padaku lagi.
Untuk waktu satu minggu aku berhasil. Hari ke delapan aku kalah. Aku tidak bisa terus diam dengannya sedangkan ia terus ada di dekatku. Itu sangat menyiksaku, sungguh. Apalagi setiap melihat wajahnya yang kebingungan melihat perubahan sikapku padanya, aku semakin tidak mampu dan akhirnya aku menyerah.
Suatu sore saat itu di kampus sedang diadakan pertandingan voli dalam memperingati ulang tahun fakultas kami. Aku dan teman-teman datang untuk sekedar mendukung teman-teman kami yang bertanding membawa nama jurusan. Dan tentu saja di sana juga ada Bumi. Setengah mati aku berjuang agar mataku tak menatap ke arahnya. Halley pun tahu aku sedang berusaha jadi ia juga membantuku.
“Lama sekali pertandingannya mulai.” Halley mulai mengomel sambil menatap jam tangan.
Aku hanya mengangguk membenarkan.
“Solat dulu yuk.” Aku menatap Halley dalam kaget.
Baru kali ini Halley mengajakku solat.
“Ayo.” Halley menarik tanganku dan kami beranjak dari pinggir lapangan voli.
Sekian detik aku berpikir dan baru aku mengerti maksud Halley mengajakku solat adalah untuk menjauhkanku dari Bumi. Ia sangat mengerti bahwa aku tersiksa di sana. Aku tersenyum sambil terus mengikuti langkah kaki Halley.
Hanya sebentar aku bisa menahan semua perasaanku pada Bumi. Akhirnya diam-diam tanpa sepengetahuan Halley, aku mengirim pesan pada Bumi saat itu juga.
“Kenapa kau tak bisa menyukaiku?” Begitu isinya.
Cukup lama, lalu Bumi membalasnya.
“Untuk saat ini itulah kenyataannya. Aku belum menyukaimu.” Aku mendesah penuh kecewa saat membacanya. Tapi tetap kusembunyikan agar Halley tak curiga.
“Kenapa tidak berusaha menyukaiku?”
“Karena kau tidak berusaha membuatku suka padamu.” Aku tertegun membaca balasannya.
Halley tiba-tiba menghampiriku. Cepat-cepat kusembunyikan ponselku darinya.
“Ayo ke lapangan lagi. Pasti pertandingannya sudah dimulai.” Aku mengangguk lalu kami beranjak menuju lapangan voli.
~
Dalam perjalanan menuju lapangan, aku berpikir keras untuk memahami maksud dari pesan Bumi yang terakhir. Apa maksudnya aku tak berusaha? Apa ia tak bisa melihat betapa berusahanya aku untuk membuatnya melihat perasaanku? Aku sudah berusaha mengenalnya baik secara langsung maupun tidak. Aku sudah bertanya pada siapa saja yang menurutku dekat dengannya mengenai dirinya. Tapi yang kudapatkan malah nihil.
“Aku tidak tahu, Bulan. Maafkan aku.”
Itulah jawaban dari Jupiter, teman terdekat Bumi yang aku tahu.
“Kau tahu kan dia orangnya sangat tertutup dan misterius.” Aku mengangguk pelan.
Mau bagaimanapun aku berusaha, aku tetap tidak mendapat hasil. Ia yang menutup jalanku untuk berusaha.
Sekian menit aku berpikir dan aku menemukan balasan yang tepat untuk pesan Bumi.
“Kau yang menutup jalanku untuk berusaha.”
Tidak ada balasan dan aku mulai kesal menunggu. Ia selalu begini. Di saat aku sangat menunggu balasan darinya, ia malah membuat segalanya terasa sangat lama. Aku tidak sabar dan akhirnya aku mengirimkan pesan lagi padanya.
“Beri aku jalan dan aku akan berusaha.” Begitu kutulis lalu pertukaran pesan itu berakhir.
~
Sejak saat itu aku terus berusaha untuk menjadi menyenangkan di hadapan Bumi. Aku berusaha mencari apapun informasi tentangnya dari siapa saja yang menurutku bisa dipercaya. Aku juga meminta bantuan Jupiter untuk mengorek sedikit info mengenai keluarga dan kisah cinta masa lalunya.
Hingga tiba di hari ulang tahun Bumi, hari itu adalah hari yang sama dengan pengajian rutin yang dilakukan mahasiswa jurusan kami setiap bulan. Aku tidur di rumah Halley ketika itu karena kebetulan pengajiannya diadakan di rumah Halley.
Baru saja tiba di rumah Halley, aku langsung sibuk membongkar tasku. Halley sampai heran melihat tingkahku.
“Apa itu?” Ia duduk di hadapanku.
“Kado kecil.”
“Siapa yang ulang tahun?” Aku mendelik mendengar pertanyaan Halley. Benarkah ia tidak tahu bahwa besok Bumi berulang tahun?
“Bumi. Kau tidak tahu?” Halley menggeleng lalu beranjak.
“Itu kado yang sangat indah, tapi dia bukan orang yang tepat untuk menerimanya.” Aku mendesah mendengar ucapan Halley.
Kukira ia akan mendukungku.
Tapi pada akhirnya, Halley membantuku juga menyiapkan semuanya. Itu adalah sebuah kartu ucapan yang kurangkai sendiri. Aku sudah menyiapkannya sejak satu bulan lalu dan besok aku akan memberikannya pada Bumi.
Saat tiba waktunya, aku malah tidak berani. Tiba-tiba nyaliku menciut dan aku mengubah strategi.
“Hall, aku pinjam ponselmu.”
“Untuk apa?” Lalu aku mulai menjalankan rencana cadangan.
“Kufoto saja. Nanti dia juga akan lihat bila sudah ku unggah ke sosial media.” Halley hanya berdeham lalu membiarkan aku bekerja.
Hampir selesai saat tengah malam. Tanggal dua puluh lima hampir selesai dan foto itu belum juga ter unggah. Sinyal sangat jelek malam ini dan akhirnya aku menyerah hingga aku tertidur dengan ponsel dalam genggaman.
Besok paginya aku mencoba lagi. Sebenarnya aku sudah tidak berminat karena hari ulang tahunnya sudah lewat, tapi aku akan tetap berusaha. Setelah beberapa menit kesabaran, akhirnya foto itu tiba di profil sosial media milik Bumi. Kuharap ia melihatnya dan menyukainya. Karena aku sangat berusaha untuk itu.
~
Tanpa terasa sudah satu tahun beberapa bulan aku mengitari Bumi. Dan sampai detik ini aku belum mendapatkan hatinya. Tapi aku belum menyerah. Entah bagaimana caranya, di kelas terakhir pertengahan semester dua Bumi duduk di sampingku. Dan kuberanikan diri untuk bicara.
“Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa melupakanmu.” Aku mengucapkannya sambil terus memandang dosen di depan.
“Jangan minta maaf. Kau tidak bersalah.” Begitu katanya.
“Tidak, aku salah. Harusnya aku tidak mengirimimu pesan waktu itu. Kau pasti akan membawa bukuku.” Aku masih ingat jelas awal perkenalan kami.
Dia diam saja sampai aku berujar lagi. “Hanya ada satu cara agar aku bisa melupakanmu.”
“Apa itu?”
“Kau memiliki kekasih dan aku melihat kau dan kekasihmu berpelukan atau sejenisnya di hadapanku secara tidak sengaja.”
“Itu pasti akan sangat menyakitiku dan akan cepat menghilangkan perasaanku.” Ia malah mendesah mendengar tawaranku.
“Tapi kau harus mencintainya. Dan kau melakukannya juga karena kau mencintai gadis itu. Bukan karena kau ingin membuatku berhenti menyukaimu.”
~
Di akhir semester tiga, aku harus menerima kenyataan paling pahit. Bumi sudah berpacaran dengan seorang gadis bernama Tata atau lengkapnya Matahari.
Saat itu, Bumi sedang mengantarku pulang dengan motornya. Lalu ia mulai mengungkit cerita tentang seorang senior yang sekarang sedang dekat denganku.
“Dia hanya abangku.” Itu adalah kenyataan lalu aku memberanikan diri bertanya mengenai dia.
“Kalau kau bagaimana?”
“Sudah punya.” Saat itu juga aku tertegun.
“Kau serius?” Bumi berdeham.
“Siapa namanya? Selamat ya.” Aku masih bisa berpura-pura bahagia saat mendengar berita buruk itu karena sakitnya belum terasa.
“Matahari.”
“Apa satu fakultas dengan kita?”
“Tidak, dia seorang gadis yang tinggal satu desa denganku.”
Setelah tiba di rumah, aku tidak bisa merasakan tubuhku. Setiba di kamar, aku langsung jatuh dan tak bisa berbuat apapun selain menangis. Menangisi kekalahanku dengan gadis yang aku tidak tahu rupanya seperti apa. Siapa dia? Siapa gadis itu? Apa dia sudah lebih lama dariku berusaha mendapatkan hati Bumi sampai-sampai Bumi memilihnya dibandingkan aku?
Tidak ada jawaban dari pertanyaanku itu hingga aku terlelap dalam lelahnya patah hati.
~
Besok paginya, aku bertanya pada Jupiter mengenai ucapan Bumi tadi malam. Aku harus memastikannya lagi.
“Yang kudengar sih begitu.” Sepertinya aku harus bersiap-siap mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Sepertinya ini adalah titik dimana aku tidak memiliki jalan kemanapun lagi selain menyerah. Aku berada di jalan buntu dan aku harus berhenti berusaha.
~
Begitulah hingga aku memasuki tahun 2013. Saat ini aku sudah bisa melupakan Bumi dengan semua cara yang disarankan Ibu, Venus, Halley dan juga Langit. Aku berhasil walaupun terkadang perasaan itu masih mau muncul setiap kali aku menatap Bumi. Tapi cepat-cepat kuhilangkan perasaan gila itu dan aku mencoba menatap Langit, lelaki baik hati yang sangat peduli padaku.
“Bagaimana kau dengan Bumi?” Langit menanyakan hal itu di suatu siang saat kami sedang berdua saja.
“Tidak ada apa-apa. Dan tidak ada sampai kapanpun. Itu hanya gosip.” Aku sudah bisa tertawa sekarang berkat dukungan dari orang-orang yang menyayangiku. Dan kurasa aku akan lebih bisa melupakan Bumi.
“Mungkin nasibku sama seperti bulan di langit. Yang hanya akan terus bersinar tanpa diminta.”
“Tapi kau tau, Lang?” Langit menoleh.
“Mungkin aku lebih membutuhkan langit dan gelap.” Langit mengernyitkan dahi bingung.
“Karena hanya saat gelap, Bulan bisa menunjukkan sinarnya dan itu hanya bisa ia lakukan bila berada di langit.” Saat itu juga Langit tertawa dan membenarkan semua ucapanku.
Bulan akan terus mengitari bumi sampai kapanpun. Itu adalah kenyataannya dan tidak akan berubah sampai kiamat tiba. Aku akan mencoba menjadi bulan yang akan terus mengitari Bumi tanpa butuh dilihat oleh Bumi sendiri. Aku akan terus menyinari makhluk-makhluk bumi dengan sinarku dan juga dengan segenap ketulusan yang aku miliki. Aku tidak perlu dilihat oleh bumi karena pada kenyataannya bumi hanya akan menatap matahari sampai kapanpun. Aku tahu dan aku mengerti. Dan lagi aku tidak butuh bumi bisa melihatku. Aku lebih butuh langit sebagai tempatku bernaung selamanya.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Short Story
Random... Kumpulan cerpen yang dibuat oleh para member FOS. Semoga kalian menikmati hasil karya kami ini. *Dilarang keras plagiat semua karya yang ada di sini.* Ps: Harap tinggalkan jejak vote dan coment setelah membaca. Terimakasih ^^ Ada yang perlu dik...