Letters : Love and Lies

44 7 0
                                    

Nama : takahiro Kei
Wattpad : KeiTaka14
Judul : letters : love and lies

Letters : Love and Lies
Suara bel berbunyi, Hiro bergegas menuju pintu rumahnya. Ibu Hiro menegur anak laki-lakinya itu untuk tidak berlari di tangga, tetapi Hiro mengabaikannya dan mencapai pintu masuk rumah dalam sekejap.
Berdiri sesosok laki-laki paruh baya dengan senyum ramah menyapa Hiro serta memakai seragam dan topi khas dari perusahaan pengantar surat terbesar. Hiro tersenyum sumringah dan segera menyapa petugas kantor pos itu.
“Dengan Tuan Hiro?” Tanya petugas itu ramah.
“Benar, saya sendiri,” jawab Hiro, sumringah.
“Ada surat untuk anda, silahkan tanda tangan di sini.” Petugas itu menyerahkan surat tanda terima.
Setelah menerima surat itu dan meninggalkan petugas pos yang juga menjauh dari rumahnya, Hiro kembali berlari menuju kamar tidurnya yang terletak di lantai kedua rumahnya. Sekali lagi ibunya menegurnya dengan nada yang lebih tinggi.
Entah apa yang sedang terjadi pada laki-laki berambut ikal itu, meskipun Hiro sudah memasuki usia dewasa, tetapi setiap kali ada surat yang datang untuknya, sikapnya berubah total seperti anak kecil. Sangat tidak cocok untuk ukuran laki-laki bertubuh besar sepertinya.
Hiro menutup pintu kamarnya rapat lalu melompat ke tempat tidurnya sembari membuka surat itu secara perlahan dan mulai membaca surat itu dengan antusias.
[Dear Hiro,
Bagaimana kabarmu? Aku yakin laki-laki penuh semangat sepertimu selalu diberikan kesehatan. Entah mengapa aku sangat iri dengan sifat penuh semangatmu itu, yah, walaupun kita belum pernah bertemu sebelumnya. Namun, dari surat yang aku terima, aku yakin kau laki-laki yang menyenangkan dan selalu bersemangat.
Membalas suratmu sebelumnya, aku mengucapkan selamat atas kelulusanmu. Aku tahu ini sudah terlambat untuk mengucapkannya. Tapi apa daya karena surat membutuhkan waktu untuk sampai ke penerima. Huh … aku sangat ingin memiliki pintu kemana saja milik doraemon, bukannya aku mengeluh … hanya saja … kupikir kita bisa bertemu kapanpun.
Kabarku baik, jadi jangan khawatirkan itu, aku juga sedang mencari pekerjaan baru karena kupikir pekerjaan lamaku tidak cocok untukku. Meskipun sulit mencari pekerjaan saat ini, tapi aku akan tetap semangat seperti yang selalu kau lakukan.
Tidak terasa kita sudah bertukar surat untuk waktu yang cukup lama, kuharap kita bisa segera bertemu. Aku sangat ingin bertemu orang yang selalu menyemangatiku melalui surat ini. Aneh rasanya, tapi aku ingin berterimakasih padamu.
Lalu, apa yang akan kau lakukan setelah lulus? Apa kau langsung mencari pekerjaan? Atau mengikuti mimpimu untuk berkeliling dunia? Aku selalu menunggu cerita yang menarik darimu.
Kupikir tidak ada lagi yang ingin aku tulis di surat ini, aku menunggu balasanmu. Sampai jumpa.
Dari,
Diane]   
Surat yang ditulis dari orang asing bernama Diane itu selalu membuat Hiro tersenyum sendiri. Hiro selalu mengatakan bahwa menerima surat selalu menjadi hal paling menyenangkan. Meskipun teknologi sudah sangat maju, tapi Hiro bersikeras mengatakan bertukar surat seperti ini lebih menyenangkan.
Hiro masih berdiam diri di kamarnya walaupun waktu sudah menunjukkan tengah hari. Tak ada keinginan untuk keluar kamar, ia hanya ingin memandangi tulisan tangan temannya itu sedikit lebih lama.
***
Sebulan yang lalu.
“Diane, ada surat untukmu.”
“Apakah dari Hiro?”
“Ya.”
“Bisakah kau bacakan untukku.”
Diane mendengarkan ibunya yang tengah membacakan surat dari teman laki-lakinya yang bernama Hiro. Sesekali tawa kecil keluar dari mulut kecilnya, matanya berkaca-kaca penuh kebahagiaan.
Bagi Diane, surat dari Hiro adalah satu-satunya harapan yang membuatnya tetap semangat untuk bertahan hidup melawan penyakitnya. Berkenalan dengan Hiro melalui situs online, Diane mulai berbalas surat dengan Hiro.
Keduanya memilih saling berbalas surat karena lebih menyenangkan, meskipun terkadang Diane merasa kesepian karena harus menunggu balasan surat yang cukup lama, tapi Diane tetap percaya bahwa Hiro akan membalas suratnya.
Dan hari ini surat yang di tunggu tiba, Hiro mengatakan dirinya sudah lulus kuliah, Diane sangat senang mendengar hal itu karena Hiro selalu membahas kesulitannya saat ingin lulus kuliah, jadi Diane merasa senang karena akhirnya Hiro dapat menyelesaikan kuliahnya.
“Mama, boleh tuliskan surat untukku?” Pinta wanita berambut pirang itu.
“Tentu saja,” balas ibunya lembut.
Diane mulai mengatakan apa yang ingin ditulis dalam suratnya, sesekali ia terhenti dan menghapus air matanya yang terus keluar. Ibunya yang bertugas menulis surat dengan sekuat tenaga menahan tangisnya, meskipun dalam hati dirinya sangat teriris dan menangis sejadi-jadinya. Namun, demi putri kesayangannya ia berusaha menahannya.
“Apa ini cukup?” Tanya ibunya dengan suara berat.
Hanya anggukan dan senyum kecil dari Diane yang terlihat pucat.
Ibunya meminta izin meninggalkannya sejenak untuk mengirimkan surat itu, tapi Diane tahu ibunya sudah tak mampu menahan tangisnya lagi. Tangisan keras terdengar dari lorong rumah sakit, bahkan terdengar hingga kamar Diane di rawat. Tak ada yang bisa dilakukan Diane, ia hanya bisa menitikan air mata dalam kesepian.
Ia tidak bisa lagi menyalahkan kondisi dirinya, ia sudah pasrah dengan keadaannya bahkan jika ia meninggal esok, sudah tak ada yang ia sesali. Namun, setidaknya ia ingin hidup lebih lama untuk bisa terus membaca surat dari Hiro.
***
Saat ini.
Di sebuah ruangan di salah satu rumah sakit besar di Inggris.
Diane terlihat lemah terbaring di tempat tidurnya, tapi belakangan ini keadaannya sedikit membaik, setidaknya ia tidak memerlukan alat bantu pernafasan lagi. Kulit pucatnya pun terlihat mulai memudar, senyum dari bibir mungilnya lebih sering ia tunjukkan. Sangat bertolak belakang dengan kondisi Diane tahun lalu.
Di sofa tak jauh dari tempat tidurnya, Sang Ibu masih setia menemaninya tanpa lelah untuk kebaikan putrinya, ibunya akan melakukan apapun untuknya. Bahkan ayahnya rela bekerja tanpa istirahat untuk biaya pengobatan putri semata wayangnya.
Terkadang Diane merasa menyesal dengan keadaannya karena membuat kedua orangnya begitu tertekan. Mungkin jika ia meninggal semuanya akan membaik, tapi tentu saja hal itu akan membuat orang tuanya merasa lebih terpukul.
Diane melirik ke arah ibunya yang sedang membaca buku.
“Ada apa Diane? Kau membutuhkan sesuatu?”
“Tidak,” balas Diane yang kembali menatap langit-langit  kamar rumah sakit.
Tak lama terdengar suara ketukan pintu kamar, ibunya segera membuka pintu dan terlihat sedang berbicara dengan seseorang. Diane melihat sekilas penampilan orang itu yang seperti petugas pos. “Apakah itu surat dari Hiro?” Diane bertanya-tanya, kemudian tatapannya menjadi lebih berbinar saat ibunya kembali ke sisinya membawa sepucuk surat.
“Apa itu surat dari Hiro?” Tanya Diane penuh harap.
“Iya,” jawab ibunya sambil tersenyum lembut.
Mata biru gadis itu menjadi berbinar dan segera meminta ibunya untuk membacakan suratnya.
[Dear Diane,
Apa kabar?Ah, karena kau sedang mencari pekerjaan jadi pasti baik-baik saja, kan?
Terimakasih atas ucapannya, meskipun sedikit terlambat tapi aku sangat senang. Aku juga sangat ingin bertemu denganmu segera. Kupikir akan lebih menyenangkan, bukan?
Bagaimana dengan pekerjaannya? Apa kau sudah menemukan pekerjaan yang cocok denganmu? Kupikir pekerjaan apapun akan cocok untukmu … hahaha, aku hanya bercanda. Kenapa kau tidak mencoba untuk masuk ke industri musik, bukankah kau suka menyanyi? Aku rasa akan lebih menyenangkan jika melakukan pekerjaan sesuai apa yang kita sukai. Yah, meskipun sulit tapi kupikir tak ada salahnya mencoba. 
Untuk apa yang akan kulakukan saat ini, kurasa aku ingin mengejar mimpiku untuk berkeliling dunia. Dan suatu saat akan singgah di negaramu, aku sudah tak sabar menantikan hari itu. Tapi saat ini kurasa aku akan berkeliling asia.
Aku akan menceritakan semua perjalananku yang menarik padamu saat petualanganku dimulai. Ku harap kau mau mendengarkan ceritaku.
Sekian surat dariku, jangan membalas terlalu lama.
Dari,
Hiro]
“Mama.”
“Iya, anakku.”
“Apa aku masih berhak untuk hidup?”
Pertanyaan Diane membuat ibunya menangis seketika dan memeluknya dengan erat.
“Tentu saja anakku, tentu saja. Karena itu kau harus sembuh,” balas ibunya yang masih terisak.
“… Terimakasih.” Diane berkata pelan dan membalas pelukan ibunya.
Seperti biasa, Diane meminta ibunya untuk membalaskan suratnya. Meskipun keadaannya sudah membaik tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk menulis surat sendiri.
Dengan setia ibunya menulis kata per kata yang diucapkan putrinya tanpa melewatkan sepatah kata pun.
“Mama.”
“Ya, sayang?”
Ibunya berhenti menulis sejenak.
“Apa Hiro akan marah jika aku berbohong? Apa dia tidak akan membalas suratku jika tahu aku berbohong?”
“Mama yakin Hiro tidak akan marah, Mama yakin dia anak yang baik. Jadi, jangan khawatirkan itu anakku.”
“Apakah seperti itu? Aku hanya ... ingin sedikit lama mendengar cerita dari Hiro.”
Setelah percakapan mereka, Diane meneruskan kata-katanya untuk dituliskan oleh ibunya.
***
“Hiro cepat bangun!”
“5 menit lagi bu.”
“Apa kau ingin di pecat dari pekerjaanmu, bodoh!”
Hiro segera bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju kamar mandi.
Sudah hampir sebulan Hiro bekerja di sebuah perusahaan multinasional sebagai programmer. Pekerjaan yang jauh dari impiannya yang ingin berkeliling dunia. Tapi apa daya, kebutuhan financial keluarganya membuatnya harus bekerja kantoran.
Hiro sendiri tidak begitu menyesal bekerja di perusahaan besar. Sebaliknya, ia justru merasa bersyukur karena dapat bekerja di sebuah perusahaan besar. Yang menjadi beban untuknya adalah karena ia telah berbohong kepada Diane.
Ia mengatakan pada Diane jika ingin berkeliling dunia, yang kenyataannya itu hanya mimpi belaka. Ia mungkin akan mengatakan kepada Diane suatu saat nanti, ia takut hubungannya terputus jika ia mengatakannya saat ini.
“Bu, aku berangkat.”
“Hati-hati di jalan.”
“Baiklah, jika ada surat untukku letakkan di kamarku dan jangan membacanya.”
“Ya, ibu tahu.”
Menurut perhitungan Hiro, surat dari Diane akan tiba hari ini, jika ada keterlambatan maka tidak akan lebih dari satu minggu. Jadi, minggu ini adalah minggu dimana Hiro menjadi lebih bersemangat dari biasanya.
Bahkan setelah selesai bekerja Hiro menolak ajakan teman kantornya untuk makan malam bersama dan lebih memilih untuk langsung pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, Hiro bergegas menuju kamarnya. Di sana terdapat sepucuk surat yang di bungkus amplop merah muda tergeletak di atas meja kerjanya. Dengan seragam kantor yang masih dikenakannya dan keringat yang membasahi tubuhnya, ia langsung membuka surat itu.
[Dear Hiro,
Apa kabar petualang? Bagaimana perjalananmu? Semoga kau memiliki cerita yang menarik untuk diceritakan, aku sudah tak sabar untuk mendengarkan cerita perjalanan pertamamu. Eh, tapi aku mengirim surat ini ke alamat rumahmu, apa kau akan menerimanya? Bagaimana jika kau sedang di luar negeri. Mungkin untuk selanjutnya kau bisa mengirimkan alamat tempatmu singgah di negara yang akan kau kunjungi.
Kabarku sangat baik, seperti yang kau katakan, sangat sulit mencari pekerjaan. Tapi aku sedang berusaha untuk mewujudkan mimpiku. Berkatmu, aku kembali tertarik untuk bernyanyi. Meskipun untuk saat ini aku hanya bernyanyi dari café ke café. Tapi aku akan terus bekerja keras.
Oh iya, selamat ulang tahun Hiro. Semoga panjang umur dan diberikan keberkahan. Maafkan aku karena tidak bisa memberimu hadiah. Tapi aku mendoakan yang terbaik bagimu.
Inggris sudah memasuki musim dingin, matahari menjadi sangat jarang terlihat. Aku tidak menyukai musim dingin karena kau akan malas untuk keluar rumah. Cuaca dingin sangat tidak cocok untukku, mungkin aku memang tidak pantas menjadi orang eropa, fufu.
Apa kau menyukai cuaca dingin? Berikan pendapatmu di surat berikutnya, sampai jumpa.
Dari,
Diane]
Hiro berbaring di tempat tidurnya dengan surat yang ia remas di tangan kanannya. Di satu sisi ia merasa sangat bahagia, di sisi lain ia merasa begitu menyesal karena telah berbohong. Waktu berlalu dengan surat yang masih di genggam erat, Hiro tertidur dengan perasaan yang bercampur.
***
Bau rumah sakit sangatlah khas, Diane sudah terbiasa dengan bau obat-obatan itu. Sudah lebih dari setahun Diane terbaring di rumah sakit. Hal yang perlu disyukuri saat ini hanyalah kondisi tubuhnya yang semakin membaik. Meskipun tidak ada tanda-tanda penyakitnya akan sembuh, tapi keinginannya untuk hidup membuat dirinya terlihat lebih kuat dibandingkan saat pertama kali ia masuk rumah sakit.
Hiro menjadi salah satu alasan Diane bertahan melawan penyakitnya, semua kata-kata Hiro bagaikan obat baginya. Meski ia hanya bisa mendengarkan surat yang dibacakan oleh ibunya, itu sudah lebih cukup.
Namun, dirinya terlihat murung belakangan ini. Surat dari Hiro seharusnya sudah ia terima beberapa waktu lalu, tapi sudah lebih dari seminggu surat yang ditunggunya tak kunjung tiba. Setiap saat Diane menoleh ke arah pintu masuk, tatapannya sedikit berbinar saat ada orang yang mendekat dan kembali terlihat murung saat yang muncul adalah suster atau dokter yang ingin memeriksa kondisinya.
Diane sangat ingin membaca surat dari Hiro. Dengan kondisinya saat ini ia bisa membaca sendiri, bahkan membalas suratnya sendiri tanpa bantuan ibunya. Karena itulah Diane ingin segera membaca surat dari Hiro selagi kondisinya memungkinkan.
“Ada apa Diane?”
“Tidak ada, ma.” Diane hanya menjawab singkat dan kembali menoleh ke arah pintu.
“Apa kau khawatir Hiro tidak membalas suratmu?”
Diane hanya mengangguk pelan.
“Bukankah ia sedang berkeliling dunia? Jadi, bersabarlah anakku. Mama percaya ia akan membalasnya,” ucap ibunya memberikan pengertian.
“Hmm … kupikir aku terlalu bersemangat. Aku akan menunggunya.”
Dua hari kemudian.
“Apa itu surat dari Hiro?” Tanya Diane antusias.
“Iya,” balas ibunya lembut.
“Biarkan aku membacanya sendiri, ma.”
Diane menerima surat dari ibunya dan langsung membukanya penuh semangat.
[Dear Diane,
Apakah suratku terlalu lama? Apa kau menunggu terlalu lama? Maafkan aku atas keterlambatan ini. Aku sudah memulai perjalananku sehingga membutuhkan waktu untuk bisa membaca suratmu. Tapi akan ku usahakan untuk pulang lebih cepat agar bisa membalas suratmu tepat waktu.
Aku baru saja kembali dari Thailand dan beberapa negara asia tenggara lainnya. Suasananya sangat nyaman, orang-orang di Thailand sangat hangat dan humoris. Meskipun aku tidak begitu mengerti bahasa mereka, tapi aku tetap menikmati liburan di sini. Selain itu negara-negara di asia tenggara masih satu rumpun dengan negaraku Indonesia, jadi tidak begitu banyak perbedaan sehingga aku cepat beradaptasi.
Bagaimana dengan karir bernyanyimu? Apa kau sudah masuk label rekaman? Atau kau masih memulai debut? Aku akan menjadi orang Indonesia pertama yang akan membeli CD mu.
Kau meminta pendapatku tentang musim dingin. Aku ini tinggal di negara tropis lho. Aku belum pernah sekalipun ke negara sub tropis, jadi aku tidak tahu harus bagaimana merespon pertanyaanmu. Mungkin jika aku masuk ke dalam lemari es aku akan mengerti bagaimana rasanya, hahaha.
Sekian surat dariku.
Dari
Hiro]
“Ada apa Diane?”
Diane menoleh ke ibunya dengan senyum bahagia, senyuman yang belum pernah dilihat ibunya setahun belakangan ini. mata ibunya berkaca-kaca melihat putrinya yang semakin menunjukkan perkembangan yang semakin membaik.
“Mama, aku ingin membalas surat ini sendiri,” pinta Diane.
“Mama akan siapkan meja dan alat tulisnya, tunggulah sebentar.”
“Emm.” Diane menangguk.
***
Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Hubungan Hiro dan Diane semakin dekat, meskipun hanya berkomunikasi melalui surat. Namun, siapapun akan menganggap bahwa keduanya memiliki perasaan yang sama.
Mereka bercerita banyak melalui surat, mengeluarkan semua keinginan dan harapan mereka. Yang mungkin menjadi penyesalan bagi mereka adalah kebohongan yang mereka lakukan. Kebohongan yang mungkin merusak apa yang sudah mereka bangun selama ini.
Saat ini Hiro masih bermalas-malasan di kamarnya dengan surat yang masih ia genggam. Laki-laki bertubuh besar menjadi kekanak-kanakan saat jatuh cinta. Sedikit aneh jika dipikirkan memang.
“Hiro! Cepat bangun dan bantu ibu!”
Panggilan dari ibunya merusak semua imajinasi yang sedang berlarian di kepalanya.
“Sebentar bu, aku sedang mengerjakan sesuatu.”
Tak ingin membuang waktu, Hiro segera menyiapkan alat tulis dan mulai menulis surat balasan untuk Diane.
[Dear Diane,
Tak terasa hubungan kita sudah berlangsung lebih dari setahun. Meskipun hanya melalui surat aku sangat senang bisa berkenalan denganmu, dan menghabiskan waktuku untuk membaca surat darimu.
Aku senang kau baik-baik saja. Karena kau harus meraih mimpimu, jadi setidaknya kau harus tetap menjaga kesehatanmu.
Kabarku? Jangan pikirkan, aku selalu baik-baik saja. Aku baru saja kembali dari jepang. Aku masih keturunan jepang, tapi aku tidak bisa bahasa jepang. Aneh bukan? Aku menghabiskan waktu yang cukup menyenangkan di sana. Orang-orang di sana sangat disiplin, sangat berbeda denganku, haha.
Apa yang kau kirim itu fotomu? Aku tak menyangka kau terlihat seperti model, aku akan menyimpannya dengan baik. Apa aku juga harus mengirimkan fotoku? Tapi kau tahu, aku sangat malu di depan kamera, jadi aku tidak punya banyak gambar diriku. Jika aku mengirimkan fotoku, Jangan tertawa melihatku oke.
Indonesia sudah memasuki bulan ramadhan. Apa kau tahu tentang bulan ramadhan? Itu adalah bulan penuh keberkahan bagi umat islam, semua orang berusaha untuk beramal dan menjaga sikapnya. Tidak boleh marah, harus menahan nafsu, dan saling memaafkan. Sangat baik untuk belajar menjadi manusia yang sebenarnya.
Aku sangat ingin menunjukkanmu bagaimana meriahnya bulan ramadhan di Indonesia. Aku bukanlah muslim dan aku tidak ikut puasa, tapi aku merasakan kebahagiaan disetiap ramadhan tiba. Jadi aku ingin menunjukkan padamu bagaimana baiknya bulan ini bagi semua orang.
Aku sudah menyiapkan dana untuk berlibur ke eropa, jadi tunggu aku.
Sekian surat dariku.
Dari
Hiro]
  ***
Di dalam ruangan rumah sakit.
“Bagaimana keadaan Diane, dok?”
“Maafkan saya nyonya, tapi sepertinya Diane sudah mencapai batasnya. Selama ini dia sudah menujukkan perkembangan yang membuat saya kagum. Perjuangannya melawan penyakitnya sangat membuat saya terharu. Saya dan pihak rumah sakit sudah melakukan yang terbaik, tapi ….”
“Saya mengerti.”
Dengan nada tertatih ibunya memotong perkataan dokter dan memegang erat tangan putrinya yang tertidur pulas.
Diane memasuki masa koma, dalam beberapa hari terakhir kondisinya semakin memburuk. Selang-selang terpasang untuk menjaganya tetap stabil. Kondisinya saat ini bahkan jauh lebih buruk daripada saat ia pertama kali masuk rumah sakit.
“Diane kau harus kuat, oke. Anakku tidak akan pernah menyerah, bukankah kau masih ingin membaca surat dari Hiro? Bukankah kau masih memiliki cita-cita yang ingin kau gapai? Jadi … jadi … tetaplah kuat anakku, mama percaya kau mampu bertahan.”
Ibunya terus membisikkan kata-katanya di telinga Diane dengan air mata yang terus berjatuhan. Diane yang menujukkan tanda-tanda membaik sebelumnya kini hanya terbaring tak berdaya tentu membuat ibunya sangat terpukul.
***
“Hiro ada surat untukmu,” tegas ibunya.
Hiro segera menuju ruang tamu dan mengambil surat lalu kembali menuju kemarnya. Hiro sudah menunggu surat itu cukup lama, karena Diane biasanya tidak pernah terlambat dalam mengirimkan surat.
[Dear Hiro
Apa kabarmu? Kuharap baik-baik saja. Maafkan aku atas keterlambatan surat ini. Mungkin juga ini akan menjadi surat terakhir dariku. Bukannya aku tidak ingin berbalas surat denganmu, hanya saja aku tidak bisa lagi melakukannya.
Ada yang ingin aku katakan padamu, tapi sebelum itu aku ingin meminta maaf padamu. Aku minta maaf atas semua perkataanku. Aku tidak tahu apakah kau akan memaafkanku, tapi aku yakin kau mengerti.
Hiro apa kau tahu selama ini aku berbohong padamu? Aku berbohong dalam segala hal, soal kesehatanku, soal pekerjaanku, soal apapun yang kukatakan. Aku … aku tidak ingin melakukan ini, tapi aku juga ingin tetap berbalas pesan denganmu. Aku takut jika aku jujur padamu kau tidak akan membalas pesanku lagi. Aku sangat menyesal karena mungkin kau mempercayai semua perkataanku, tapi yakinlah, aku mempercayai apa yang kau katakan.
Hidupku tak akan lama lagi, mungkin ini adalah surat terakhir dariku. Kau menujukkanku perjuangan, semangat dan kerja keras. Aku mampu bertahan karena semua itu. Tapi seberusaha apapun aku berjuang, penyakitku lebih hebat dariku.
Jika diberi kesempatan terakhir, aku ingin bertemu denganmu, meminta maaf padamu dan mendengarkan semua ceritamu. Aku juga sudah menerima fotomu, seperti yang kuduga kau sangat tampan. Fufu.
Aku tidak pernah menyesal hidup hingga saat ini, bertemu denganmu, tertawa membaca semua suratmu, bermimpi karenamu dan … jatuh cinta denganmu. Aku tidak menyesali semua itu, bahkan jika aku pergi hari ini … aku merasa bahagia.
Tetaplah hidup Hiro, hiduplah demi mimpimu, hiduplah demi apapun yang kau sukai, maafkan aku karena tidak mampu lagi membaca cerita perjalananmu, maafkan aku karena pergi tanpa sempat bertemu denganmu. Aku … mencintaimu.
Selamat tinggal
Diane]
Hiro masih tidak mengerti apa isi pesan Diane. Ia masih terpaku memandangi surat yang di genggamnya, tapi air matanya tak mau berhenti keluar seberusaha apapun ia menghapusnya. Dadanya sesak dan nafasnya tak beraturan.
Tanpa disadari, surat yang dipegangnya sudah basah dengan air mata. Begitu banyak yang masuk ke dalam pikirannya, otaknya tak bisa merespon apapun. Hiro hanya bisa menangis memeluk surat itu. Balasan surat yang tak pernah ia duga sangatlah menyesakkannya.
Hiro tenggelam dalam kesedihannya hingga waktu demi waktu berlalu tanpa disadari.
***
Tiga bulan kemudian.
Manchester, Inggris.
Hiro menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di luar negeri. Inggris selalu menjadi tujuan utamanya, terlebih ia sangat ingin bertemu Diane. Namun, semuanya sirna setelah menerima surat terakhir dari Diane. Dengan semua uang tabungannya, ia terbang menemui Diane. Walaupun ia tidak dapat bertemu secara langsung.
Setelah berkeliling kota, kini Hiro berada di sebuah perbukitan dengan batu-batu yang berbaris dan berjajar rapi. Suasana sunyi menyelimuti tempat itu. Di hadapannya terdapat sebuah batu berbentuk salib dengan pahatan bertuliskan Diane Anniston.
“Hi Diane, ini aku Hiro, aku memenuhi janjiku untuk mengunjungimu.” Hiro berkata dengan senyum tersungging dari bibirnya dan mata yang berkaca-kaca. Ia menoleh ke sosok wanita yang berdiri di sisinya sebelum melanjutkan ucapannya, “aku sudah menerima suratmu, aku di sini untuk membacakan surat balasanku untukmu. Jadi, dengarkan baik-baik.”
[Dear Diane,
Aku sudah menerima suratmu, bagaimana kabarmu? Apa kau baik-baik saja di sana? Apa kau bahagia di tempat barumu? Maafkan aku karena baru bisa membalas saat ini, aku membutuhkan waktu untuk berfikir. Aku juga memiliki sesuatu yang ingin kukatakan, jadi tolong dengarkan.
Aku ingin meminta maaf padamu karena semua yang kukatakan dalam suratku adalah kebohongan. Aku merasa terpukul saat mengetahui kau mempercayai perkataanku, aku benar-benar sangat menyesal tidak memberitahukan ini lebih awal.
Aku tidak pernah ke Jepang, aku tidak pernah ke Thailand, aku hanyalah seorang programmer di perusahaan besar. Berkeliling dunia hanyalah cita-citaku, harusnya aku mengatakan ini sejak awal.
Aku senang kau mengatakan bahwa aku tampan, jujur aku tidak percaya diri dengan diriku. Tapi berkatmu, semua perkataanmu sangatlah berharga bagiku. Semua kebohongan yang kau ucapkan merubah hidupku. Jadi, aku sangat bersyukur kau telah berbohong padaku.
Awalnya aku merasa semua yang kau tulis di surat terakhirmu adalah sebuah lelucon, tapi sungguh tidak lucu bukan? Aku tidak ingin mempercayai itu, sungguh. Aku … aku … ingin kau bertahan sedikit lebih lama. Aku ingin kau berjuang sedikit lebih lama sampai aku dapat menemuimu.
Tapi aku tahu semua sudah terlambat, penyesalanku tak akan merubah semua ini. Jika kita dipertemukan di kehidupan selanjutnya aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku janji.
Terimakasih telah menjadi temanku, terimakasih telah mempercayai kebohonganku dan terimakasih telah mencintaiku.
Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya, aku mencintaimu.
Hiro]   
Selesai.


 
 

Our Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang