Chapter 4

142 27 1
                                    

Aku terduduk, dengan dagu menyentuh lutut, memeluk erat kaki-ku. Sebenarnya rasanya sangat sakit, namun terasa nyaman dalam waktu bersamaan.
Aku masih terpikirkan dengan mimpi yang tadi. Jujur saja aku rindu dengan mereka.

Aku ingin pulang

Aku ingin kembali, ingin pergi kepelukan keluarga, dan sahabat sahabatku.

Semakin aku pikirkan, rasanya badan ini menjadi sangat dingin. Badanku mulai menggigil, dengan nafas yang terengah-engah seperti baru saja berlari berpuluh-puluh putaran di lapangan.

Aku semakin menatap tajam pada apa yang ada didepanku. Disetiap detiknya membuatku semakin terasa sesak. Terdengar suara pintu terbuka dan di ikuti suara langkah kaki, tetapi itu tidak membuyarkan pikiranku. Seakan aku tidak peduli akan dunia.

Kini ada seseorang berdiri tepat di titik mataku bertuju. Dia sukses membuatku kehilangan fokus. Aku mengangkat kepalaku, dan mendapati wajahnya yang berkeringat. Dan aku melihat piring dan gelas digenggam erat olehnya.

"Sudah bisa duduk sendiri? Baguslah. Tapi sebaiknya, berhati hatilah dengan lehermu. Duduk yang benar." Lelaki yang sedang memakai celemek ini baru saja memperingatiku. Pandangannya yang dingin membuatku hanya bisa menurutinya.

Tangannya yang halus meraih keningku. Dan memprediksi apakah aku demam atau tidak. "Kamu sangat berkeringat. Dan sedikit hangat. Mau makan sesuatu yang hangat, atau makan yang ini saja?" Tanyanya sambil melepas tangannya dari keningku.

"I-Ini saja. Tidak usah repot-repot." Jawabku sedikit menunduk gugup.

"Yakin?"

"Iya" aku menganggung pelan.

"Yasudah. Aku suapi." Dia memberikan suapan pertama, lalu kedua, ketiga, dan seterusnya. Tanpa ucapan apapun, hanya keheningan dan suara sendok yang beradu dengan piring setiap dia menyendokkan makanan untukku.

"Aku mau pulang." Aku memecahkan keheningan. Roman mulai diam, tak bergerak.

"Tidak bisa" ucapnya dengan posisi menunduk sambil memainkan makanan dipiring.

"Kenapa?"

"Masih berbahaya."

"Memangnya ada apa?"

"Bisa saja kamu benar-benar akan terbunuh bila kamu benar-benar bertekat untuk pulang."

"Apa untungnya membunuhku?"

"Entahlah, lagipula kehadiranmu dihadapan orang-orang yang kamu kenal hanya akan membuat mereka semakin bersedih. Mereka sudah menganggapmu tidak ada."

"Bagaimana kamu bisa tau itu?"

"Karna memang aku tau"

"Tapi aku tetap mau pulang."

"SUDAH AKU BILANG TIDAK BISA! DAN TIDAK AKAN BISA! PERCUMA KALAU KAMU PERGI KESANA, KAU AKAN DIBUANG! DIAMLAH DAN JANGAN BERKATA APA APA!" Marahnya dengan tatapan yang sangat berbeda dari sebelumnya. Seperti monster yang baru saja terbangun dari tidurnya.

Aku terkejut melihat amarahnya yang meluapluap. Wajahnya memerah dan sangat mengerikan. Ini sangat menusuk hati. Air mata mulai mengalir setelah melihatnya.

"Maaf, aku tidak bermaksud--" kini wajahnya berubah dingin lagi. Dan masih menatapku, "butuh waktu. Aku butuh waktu untuk melepasmu keluar dari sini. Selagi pemangsa masih memiliki binatang tikamannya, kamu masih harus berada disini. Bersabarlah, tunggu saatnya dimana sang pemangsa kehabisan target tikamannya."

"Maksudnya?"

"Nanti kamu akan tau." Dia memberikan suapan terakhir kepadaku, lalu memberi minum, dan beberapa obat untuk diminum. Lalu dia pergi tanpa berkata apapun.

Aku hanya bisa melihatnya berjalan keluar. Lalu aku mengusap sisa air mataku.

Apa yang dimaksud dengan Pemangsa?

Chain Of The DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang