Chapter 11

95 17 0
                                    

Malam ini sangat sunyi. Ya, wajar saja, tempat ini sangatlah sunyi, jauh dari kerumunan manusia malam karna tidak ada seorangpun yang mau melewati daerah kumuh seperti ini.

Semakin lama menunggu, semakin membuatku jenuh. Dan tanpa sadar aku tenggelam pada masa lalu dan teringat masa-masa sibuk sampai tidak ada waktu sedikitpun untuk beristirahat. Setiap malam seperti ini, di rumah, kami selalu berkumpul dan membicarakan berbagai macam rencana tour dan berbagai macam single dan album terbaru. Rasanya ingin kembali ke masa itu.

Semakin tenggelam pada masa lalu, semakin aku merindukan segalanya yang dulu aku miliki. Orang tua kandung dan angkatku, adik-adikku, sahabatku, video gameku, dan dan kekasihku--maksudku laptopku--

TING🎶

Lamunanku terpecahkan, aku mengelap air mataku yang tidak aku sadari sudah menetes dan mengalir di sekitar pipiku. Aku melihat Handphone yang menjadi sumber suara yang sudah memecahkan lamunanku, dan disana terdapat pesan singkat yang dikirim oleh Roman, yang tertulis:

Sudah siap bukan? Aku sudah menyiapkan hidangan spesial untukku. Hanya untukmu. Masuklah ke motel yang tadi aku masuki, dan temui aku dengan hidangan spesialnya.

Ps: jangan lupa bawa topeng dan senjatamu.

Aku menaruh Handphone tadi di kursi mobil disebelahku, lalu aku mengenakan topeng dan tidak lupa membawa Tongkat baseball yang aku pilih sebelum datang ke tempat ini. Aku membuka pintu mobil pelan-pelan lalu menutupnya kembali, setelah itu aku melirik kearah kiri dan kanan dan langsung berlari kedalam motel yang dimasuki oleh Roman.

Aku membuka pintu tersebut perlahan, dan mengintip dari sela pintu yang aku buka sedikit. Dan aku melihat Roman sedang berdiri disana. Melihat Roman mengenakan topeng itu masih membuat jantungku berdebar, dan selalu mengingatkan ku akan kejadian yang menimpa pada diriku yang hampir saja mati karnanya. Rasanya sekarang aku ingin sekali melarikan diri dari tempat ini.

Sialnya kaki dan tangan ini tidak mengikuti apa yang aku pikirkan barusan, secara otomatis tangan dan kakiku memasuki ruangan itu yang rasanya seperti seluruh tubuhku dihipnotis oleh tatapannya.

Aku menutup pintu yang ada dibelakangku, lalu aku berjalan maju kearah Roman yang sudah lama menunggu. Roman mengangkat tangannya dan menunggu tanganku untuk meraihnya, setelah tangan kami berdua menyatu, Roman menarik tanganku dengan lembut, lalu membawaku mendekati sesuatu yang dibungkus dengan kain disamping kasur.

Dibalik topeng-topeng kami, kami saling bertatap mata lalu kembali menatap sesuatu yang dibungkus, oleh kain tersebut.

"Ready?" Roman melirik ke arahku lagi, menunggu persetujuanku untuk membuka kain yang membungkus sesuatu ini.

Aku mengangguk kepadanya, lalu kami menatap kembali kain yang menutupi sesuatu yang katanya spesial untukku.

Roman membuka kain itu secepat kilat, dan sekarang sudah terlihat apa yang membungkus kain tersebut. Seorang wanita yang sedang duduk menunduk, tidak sadarkan diri, rambutnya yang basah terurai kebawah, dengan tubuhnya yang terikat oleh tali-tali tebal. Roman mengangkat wajah wanita yang tertunduk itu, melempar rambut yang menutupi wajah tersebut kebelakang, dan kini terlihat jelas wajah wanita tersebut, bibirnya terikat dengan kain, tetapi wajah mengerikannya masih sangat terpampang jelas.

Wanita sialan, dialah yang sudah berhasil membunuh beberapa rekan-rekanku yang berjaya dimasa sekarang. Aku menggenggam erat pemukul baseballku, amarahku mulai tertumpuk pada tanganku.

Roman menampar Simza --ya itu namanya-- agar terbangun dari tidurnya. Aku tau dia tidak tidur, aku sangat yakin Roman melakukan sesuatu yang membuat wanita ini pingsan. Setelah beberapa kali Roman menamparnya, akhirnya wanita itu terbangun, dan terkejut melihat kami berdua yang sedang berdiri didepannya.

Saat itu juga wanita itu mengerang, berteriak dibalik kain dimulutnya, dan menggoyang-goyangkan tubuhnya agar bisa terlepaskan dari tali tersebut. Atau dilepaskan?

Tangan kananku melepas tongkat baseballku, lalu aku memlemparkan bogem mentah kepada wanita itu, tepat di pipinya. Sekarang pipi yang sudah dirawat sebaik mungkin, telah berubah merah. Wanita itu terdiam, menatap apa saja yang ada didepannya.

"Ouh.." suara itu keluar begitu saja dari bibir Roman yang terkejut melihat reaksiku. "Okay, sepertinya sudah tidak sabar ya sayang. Perkenalkan, dia adalah kekasih sehidup sematiku yang sangat kamu benci, dan dia adalah salah satu list yang ingin kamu bunuh waktu itu. Bahkan, dia adalah korban yang paling pertama untuk dibunuh."

Samza mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan benci dan takut. Aku memiringkan kepalaku, kalau topeng ini bisa mengikuti raut wajahku, pasti wanita itu bisa melihat senyumku kepadanya. Senyum kemenangan.

"Oh, kamu ingin mengatakan sesuatu?" Roman membuka kain yang ada dimulut Simza, lalu Simza menarik nafas panjang.

"Ti-tidak mungkin. Dia sudah terbunuh bukan? Kalian semua mengatakan kalau dia sudah terbunuh! Kau.. kau melanggar peraturanmu sendiri." Samza benar-benar sangat ketakutan sekarang. Samza menggoyangkan tubuhnya agar bisa terlepas dari tali yang mengikatinya, "Tolong! Tolo--"

Aku memukul kepalanya dan tubuhnya sekarang sudah tergeletak di lantai bersama dengan kursinya. Saat Aku melirik wanita itu yang tergeletak dilantai, ya, dia tidak sadar. Lagi.

Roman hanya menggelegkan kepala melihatnya. Lalu melirik kearahku, aku tidak tau bagaimana reaksi dan ekspresinya karna tidak ada suara apapun setelah aku memukul Simza, dan wajah Roman juga tertutup topeng.

Roman berjalan menuju sebuah ruangan, sepertinya sebuah kamar mandi. Lalu Roman kembali membawa air didalam ember yang dia bawa.

"Sehabis ini, kamu hajar wanita jalang itu ya, hajar sampai wajahnya hancur lebur." Setelah Roman memberi instruksi kepadaku, Roman menyiram Simza dengan air yang dia bawa.

Simza membuka matanya, ekspresinya menunjukkan rasa sakit yang mungkin saja karna pukulan tadi.

Aku menarik kerah baju Simza, menyeretnya ke tengah ruangan.

Aku berdiri di depan tubuhnya yang tidak bergerak. Memegang pemukul baseballku erat dengan kedua tanganku, mengambil posisi siap untuk menghantam Simza yang egois dan licik itu.

Roman membuka tali yang mengikat tubuh Simza, setelah tubuhnya terpisah dengan kursi, Roman memberi isyarat kalau hidangan sudah siap.

"Simza. Terima kasih karna sudah membuat rencana pembunuhan beruntun ini. Dan terima kasih karna sudah menjadikan aku target nomor satu dari beberapa manusia-manusia tak berdosa yang sudah kamu bunuh secara tidak langsung. Sangat pengecut ya, membunuh dengan tangan orang lain." Aku membuka topengku dihadapan Simza, sekarang terlihat dengan jelas ekspresi ketakutan yang terpampang jelas pada wajah Simza setelah melihatku tanpa topeng.

"Ti-tidak mungkin. Kamu sudah mati!"

"Ya, anggap sama aku adalah hantu yang menghantuimu, dan juga sekarang hantu ini ingin jiwamu dibawa ke alam penuh api yang sangat pantas denganmu. Pasti kamu tau kan?" Aku memberi senyuman yang sangat manis untuknya. "Bye." Aku mengangguk pada simza yang terdiam kaku, dan sepertinya sudah sangat pasrah akan apa yang akan terjadi.

Aku mengangkat pemukul baseball ditanganku, lalu menghantam Simza dengan seluruh kekuatanku. Menghancurkan wajahnya, aku menghantam wajahnya berkali-kali, dari yang awalnya wajahnya masih mulus dengan perawatan mahalnya, sampai berakhir dengan memar yang dilumuri oleh darah, sampai akhirnya hancur lebur seperti pecahan semangka yang dibanting dari atas gedung tinggi.

Darah Simza yang laknat ini bertebaran disekitar ruangan ini, membuat gaun gelap yang aku pakai jadi terlihat bernoda karna darahnya.

Roman membuka topengnya, lalu berjalan menghampiriku, dan meraih wajahku yang berlumuran darah dan secepat kilat bibirnya menyentuh bibirku, lidahnya bermain tanpa henti, mengulum sampai rasanya tidak akan bisa lepas.

Apakah semuanya sudah selesai?

Chain Of The DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang