Permen Rasa Coklat

25 3 0
                                    

Sang surya tampak begitu perkasa di cakrawala. Pedarnya begitu menganga terutama di Surakarta. Kendaraan di jalan raya bak kereta tanpa nyawa. Menambah penat pengendara. Namun itu tak menyurutkan Aksa. Dengan sabar ia melajukan motornya menuju Rumah Sakit Moewardi. Peluh yang membenjiri tak lagi ia peduli.

Tak berselang lama ia tiba. Ditentengnya beberapa buah tangan dan sebuah karangan bunga. Ragu ia melangkah, entahlah ada rasa yang tak biasa. Ia menghela nafas dan memejam.

"Aksa kamu kalau besar mau jadi apa?

"Aku mau jadi dokter biar kamu nggak sakit lagi."

"Tapi nanti kamu bakal di rumah sakit terus. Aku nggak mau kamu berhubungan sama obat dan jarum suntik."

"Kenapa?"

"Dua hal itu bikin aku tersiksa. Aku pengen kamu jadi fotografer biar kamu bisa mengabadikan segala moment dalam hidup manusia. Agar mereka bisa mengenang segala peristiwa yang mereka alami."

Aksa terpejam mengingat percakapannya dengan teman kecilnya. Kala itu di tempat yang sama dan situasi yang mungkin sama. Yang berbeda hanya usia mereka kini yang sudah remaja.

"Kalau kamu mau jadi apa asa?"

"Aku pengen jadi model dong. Biar kamu fotoin saban hari."

"Aku janji bakal jadi fotografer dan kamu harus janji buat jadi modelku nanti."

"Iya janji Aksa!"

Aksa tersenyum mengingat obrolan itu. Obrolan anak berusia 8 tahun yang ternyata bukan hanya sendauan belaka. Percakapan yang menjadi nyata meski Asa tak mengingat akan hadirnya Aksa di kehidupan masa kecilnya. Celotehan yang menjadi realita bahwa Asa yang mejadi objek fotonya walau ia tak menyadarinya.

Dering ponsel terdengar dari saku celana Aksa. Diraihnya ponsel itu, nona pena is calling....

Tanpa ragu ia mematikan panggilan itu.

Maafin gue ra, batinnya.

Semerbak obat memenuhi indera peciuman Aksa, saat ia berjalan di lorong rumah sakit. Yang ia tahu ini adalah parfum duka bagi Asa dan aroma suka di jiwa Aksa. Sepanjang lorong ia memandang tampak pria dan wanita yang begitu mulia

Bekerja demi kesehatan manusia. Andai ia tak mengucap janji kala itu pada Asa, pasti ia juga akan menekuni dunia kesehatan.

Tak butuh waktu lama bagi Aksa untuk menemukan kamar Asa. Bukan karena diberitahu Mega, tapi karena ia sudah hafal kamar inap Asa tiapkali ia dirawatdi sini. Begitu sampai di depan pintu seorang lelaki dengan jas putih dan stetoskop mengalung di lehernya keluar.

Orang itu tersenyum dan menepuk pelan bahu Aksa. Sedangan Aksa hanya tersenyum samar. Orang itu berlalu melewati Aksa.

"Bagaimana keadaannya pa?"

Orang itu berhenti dan berbalik, "Dia hanya kelelahan."

"Ayolah pa."

"Temui dia dan tunjukkan perhatianmu. Jangan hanya diam dan memandangnya dari jarak jauh. Cinta itu perlu ditunjukkan bukan disembunyikan."

"Kalau ada cinta yang lain datang dan itu terasa lebih nyata aku harus bagaimana?"

"Kamu harus segera memutuskan ingin bertahan atau melepaskan. Karena sejatinya cinta hanya untuk satu orang, jika ada orang lain berarti itu adalah ujian."

Aksa terdiam mendengar ucapan ayahnya. Bukannya masuk ia malah duduk sambil memijit pelipisnya. Dipandanginya bingkisan ditangannya. Ia menghela nafas, bimbang membuatnya terdiam.

***

Seorang gadis duduk di ranjang berwarna putih. Wajahnya begitu masam mengalahkan sayur asem warteg depan kompleks. Ia memandang ke luar jendela. Pandangannya mengisyaratkan kelalahan dalam batinnya.

Pintu kamar terdengar terbuka. Gadis itu tampak kaget melihat seseorang yang masuk.

"Asa!!!" Orang itu langsung memeluk Asa.

"Gue sesak napas ogeb!"

"Hehe maaf gue kaget aja denger lo drop. Jadi tadi pulang sekolah gue langsung kesini."

"Kesini kalau Cuma tangan kosong mending nggak usah kesini al."

"Najong lo! Nih ada buah, bingkisan, sama bunga puas lo!"

"Hahaha banyak banget dah. Makasih deh."

Dengan sumringah ia meraih barang yang dibawa Alya. Ia tertarik dengan bingkisan berwarna keemasan itu.

Sekotak permen rasa coklat favoritnya. Senyumnya merekah menampilkan lesung pipitnya. Ia menoleh ke pintu masuk. Berharap ia menemukan orang lain yang mengirimkan bingkisan ini.

"Nyariin siapa dah?"

"Lo sama siapa kesini?"

"Sendiri kenapa?"

"Ehmm gapapa kok makasih ya."

Seorang anak kecil menangis di ujung ruangan bernuansa putih. Badannya gemetar menyaksikan ayahnya dan seorang yang ia tahu bapak dari sahabatnya. Di balik pintu seorang anak laki-laki sebayanya datang dan menarik tangannya. Ia membawa gadis itu ke taman rumah sakit.

Di taman itu si gadis menangis sejadi-jadinya, sedangkan si lelaki duduk di sampingnya. Membiarkan gadis itu menumpahkan kesedihannya. Sepuluh menit berlalu si gadis berhenti menangis.

"Semua akan baik-baik saja. Tenanglah asa, jangan bersedih."

"Bagaimana aku tidak bersedih Aksa?"

"Ini untukmu," lalu Aksa beranjak pergi karena mendengar panggilan ibunya.

Sebuah permen rasa coklat ada digenggaman Asa.

Asa teringat kenangan masa kecilnya dengan Aksa. Kenangan manis yang selalu ada dalam memorinya, namun tak mampu ia menyampaikannya pada orang lain. Bahkan pada Aksa sekalipun.

***

Aksara Dalam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang