Kencan?

20 4 0
                                    

Jarum jam menujukkan angka sepuluh. Tetapi mentari masih bersembunyi di balik awan. Tampak genangan air di beberapa pinggir jalan. Menandakan rinai yang baru saja jatuh ke bumi.

Semilir angin melintas menambah hawa dingin bagi apa saja yang dilintasinya. Tak terkecuali Ara yang ikut merasakan hawa itu. Ara mengeratkan pegangannya pada jaket yang dipakainya.

Ara enggan berpegang pada sang pengemudi di depannya. Di atas motor ia menahan hawa itu. Sesekali ia menahan napas tiap kali melewati genangan air. Takut basah karena ia memakai sepatu yang jika terkena air pasti jarinya akan keriput dan gatal.

Deru mesin belum berhenti begitu memasuki sebuah gedung. Belum menghilang saat Ara menekan tombol, lalu keluarlah kertas dari mesin yang ia pencet tadi. Sang pengemudi melanjutkan laju motor mencari tempat yang lengang.

Setelah sang pengemudi mematikan mesin, Ara turun lantas melepas helm dan jaketnya. Sang pengemudi pun juga melakukan hal yang sama. Begitu keduanya selesai mereka berjalan memasuki ruang utama gedung itu.

“Nanti jangan jauh-jauh ya ra, gue susah lagi ntar lo.”

“Aksa ih, ini cuma gramedia kali bukan stadion. Ntar kalo susah nyari gue ya tinggal tunggu aja di tempat parkir.”

Aksa diam namun ia menautkan jemarinya ke jemari Ara. Ia merasakan Ara yang kaget dengan sikapnya. Ara menoleh. Seolah tahu apa yang dipikirkan Ara Aksa lantas berujar,”Biar gue nggak susah nyari lo nona pena.”

Entah mengapa hati Ara menghangat dengan itu. Ara tersenyum dan membalas genggaman Aksa.

“Iya deh tubiker tapi ntar gimana milih bukunya kalo kayak gini?”

“Ha? Tubiker?”

“Hehe tuan bikin baper.”

Aksa terkekeh geli mendengar jawaban Ara,”Ntar kalo milih gue lepas.”

Mereka lantas masuk dengan senyum yang tak pudar. Membuat siapa saja yang melihatnya berpikir bahwa mereka pasangan yang romantis.

Begitu sampai di dalam Ara tampak kegirangan. Senyumnya kian merekah. Gigi gingsulnya tampak, menambah kesan cantik di mata Aksa.

“Bau syurga…..” ucapnya.

“Yaudah buru gih mau beli buku apa.”

Ara sibuk memilih buku sementara Aksa sibuk memperhatikan. Sejujurnya Aksa tidak terlalu suka dengan hal yang berbau buku. Baginya buku adalah kutukan. Buku membuatnya bosan.

Sama seperti sekarang, belum sampai lima belas menit ia menemani Ara rasa bosan sudah melandanya. Tiba-tiba ia punya ide untuk mengusir rasa bosannya. Aksa mengambil ponselnya lalu mulai memulai hobinya.

Aksa mengambil foto Ara, namun Ara tidak menyadarinya karena terlalu sibuk dengan bukunya. Aksa mengambilnya dengan berbagai pose. Ada yang sedang berjalan melewati rak-rak, saat ia mengambil buku, saat ia membaca sinopsisnya, bahkan ada yang saat ia tertawa sendiri tak tahu apa menyebabnya.

Satu jam sudah mereka berada ditoko buku. Namun Ara belum ada tanda-tanda ingin pulang.

“Ra, gue ke toilet bentar.”

Yang dibalas anggukan oleh Ara. Ara kembali memilih buku. Namun tak ada yang menarik minatnya. Ia mulai lelah memilih, lalu memutuskan duduk di pojokan. Sekalian istirahat ia iseng mengambil salah satu buku yang kebetulan sudah terbuka plastiknya.

Buku itu berjudul hadiah perasaan karya ivanasha. Bukunya tidak terlalu tebal. Ia mulai membuka lembar demi lembar. Dan rasa tertariknya muncul. Ia terhanyut ke dalamnya. Tak sadar jika sejak tadi Aksa sudah berdiri di sampingnya.

“Permisi mbak mau ambil buku di belakang mbak. Bisa geser sebentar?”

Ara lalu menggeser sedikit duduknya, tak menghiraukan orang yang menegurnya, yang tak lain adalah Aksa. Sementara Aksa hanya tersenyum melihatnya. Aksa lalu mengambil duduk di depan Ara dengan posisi menghadapnya.

“Ehem”

Mendengar deheman seseorang tak mengindahkan Ara dari perhatiannya. Aksa hanya menggelengkan kepala melihatnya.

Ia tetap duduk dalam diam di depan Ara. Lalu terbesit sebuah ide di kepalanya. Pelan-pelan jemarinya meraih ibu jari kaki Ara. Jemarinya ia gesekkan di ibu jari Ara. Awalnya pelan tapi kelamaan ia percepat temponya.

Merasa terganggu Ara menoleh. Mendapati perbuatan Aksa ia geram sendiri. Ia mencoba menghindari kejailan Aksa dengan menggeser kakinya. Tetapi Aksa menahan kakinya.

Ara ingin berteriak tetapi ia ingat di mana sekarang ia berada. Ia menutup mulutnya dengan buku yang ia pegang. Tangannya yang bebas lain mencoba menghentikan aksi Aksa. Namun nihil usahanya sia-sia. Tanpa sadar kakinya menendang-nendang.

Bukk!! Bukk!! Bukk!!

Buku-buku dibelakang Aksa berjatuhan karena terkena tendangan Ara. Dalam sekajap mereka menjadi pusat perhatian. Aksa dan Ara hanya mampu tersenyum canggung mendapati tatapan dari orang-orang. Pasti sebentar lagi akan ada badak mengamuk kepada mereka.

Dan benar dugaan mereka, tak lama seseorang datang dengan tampang sangar.
Benar-benar badak. Ara sedikit berjinjit membisikkan sesuatu kepada Aksa,”Mampus kita sa.”

Lima langkah lagi orang itu akan mencapai tempat Ara. Ia menahan napas. Takut jika sang badak menuntut ganti rugi. Kan dia masih pelajar dari panti asuhan pula, jadi tidak mungkin sanggup mengganti pasti. Secara impulsif Ara memegang tangan Aksa. Sangat erat.

Tiga langkah sang badak akan mencapai Aksa, badannya terasa kaku. Enggan bergerak barang semili saja. Ketakutannya kini menjadi takut kuadrat. Ketakuatannya yang pertama karena sang badak garang. Bisa dicincang dia sama papanya, jika ketahuan bikin rusuh di sini.

Sementara ketakutannya yang lain adalah karena ia merasakan tangan mungil menggenggam erat tangannya.

Dua langkah lagi Ara memejamkan mata sambil merapalkan ayat kursi dalam hati.

Satu langkah lagi, peluh membasahi dahi Aksa. Aksa menarik napas lalu mengeluarkan pelan-pelan. Berharap ketenangan menghampirinya.

Hening

Tunggu!!!

Mereka mengerutkan kening. Tak terjadi apapun. Mereka membuka mata. Orang-orang kembali ke kegiatan mereka.

Harusnya badak tadi sudah mencak-mencak kepada mereka. Namun tidak ada, orang itu hanya berlalu saja melewati mereka.

“Sumpah demi kepala botak Upin dan Ipin! Gue kira tuh orang bakal ngamuk sama kita sa!”

“Sama ra, gue juga udah gemeteran tahu nggak liat tuh orang. Habis mukanya sangar gila.”

“Bukan orang itu dek yang bakal marah,tapi saya.”

***

Aksara Dalam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang