Angkasa begitu kelam malam ini. Kilatan petir sesekali menyapa. Namun sang guntur masih tampak enggan menggema. Sang rinai perlahan menghampiri. Membuat bumi kini basah olehnya.
Ara menatap siklus itu dengan tatapan kosong. Ia kembali merasakan lelah padahal sepulang sekolah ia tidak melakukan apa-apa. Ia hanya tiduran, meski rasa kantuk menghampirinya, namun otaknya memungkiri.
Terlalu banyak yang ia pikirkan hingga ia tak mampu pergi ke alam mimpi. Ketukan pintu memecah keheningan. Membuat Ara menoleh, dan mendapati seseorang wanita paruh baya tersenyum kepadanya. Membuat Ara mau tak mau membalas senyum itu.
“Kok belum tidur ra?” ibu panti mulai menginterupsi.
“Belum mengantuk bu,” jawabnya.
“Sedang ada masalah sayang?” ibu panti menatapnya khawatir.
“Enggak ada kok bu,” dustanya.
“Ra, hari ini Alya nggak pulang lagi. Kamu nggak apa-apakan?”
Ara menghembuskan napasnya. Hatinya bergejolak saat mendengar nama itu. Ada sakit yang menjalar didadanya saat nama itu disebut.ingin rasanya ia mengumpat dan berteriak sejadi-jadinya pada orang itu. Namun urung, karena pada dasarnya Ara tak pernah sanggup melakukan itu pada orang lain.
“Enggak apa-apa bu,” jawabnya datar.
“Kalian nggak lagi berantem kan?”
Enggak, cuma lagi perang dingin aja. Ingin Ara berkata demikian namun tertahan di tenggorokannya.
“Kita baik-baik saja.”
“Jangan bohong sayang. Kalau begitu pasti kamu sedang ada masalah. Karena nggak biasanya kamu kayak gini sayang.”
“Kelihatan banget ya bu.”
“Ibu selalu tahu kebiasaan anak-anak ibu. Sekarang Ara mau cerita sama ibu.”
Ah seandainya mama masih hidup, ia pasti bisa membagi kisahnya saat ini.
“Enggak kok bu. Enggak ada apa-apa. Lagipula sepertinya ibu yang sedang ada masalah. Maaf lancang, tapi kemarin Ara lihat ada dua orang yang datang menemui ibu. Setelah kepergian mereka ibu jadi ketakutan. Mereka siapa bu?”
“Kamu lihat mereka sayang? Mereka bukan orang yang penting untuk dibicarakan.” Suara beliau agak meninggi lantas pergi tanpa mengucapkan apapun,
“Aneh banget sih ibu.”
***
Suara instrument musik mengalun di kamar Aksa. Entah mengapa ia ingin mendengar jenis musik itu. Musik kesukaaannya bersama Asa dulu.
Ah iya, sudah beberapa hari ini Aksa tak melihat Asa di sekolah. Tidak juga bertukar pesan maupun menelpon. Mereka benar-benar putus hubungan, setelah Aksa menjalin hubungan dengan Ara. Apalagi setelah pernyataan Asa beberapa hari yang lalu.
Ia melirik pergelangan tangannya. Pukul 19.30, masih belum terlalu malam. Aksa ingin bertemu Asa malam ini. Ia lantas mengambil jaketnya dan menyambar kunci.
Kembali ia mendengarkan musik intrumen di dalam mobilnya. Ia mendengarkan dengan seksama sambil jarinya ia ketukkan di setir mobilnya. Ketika pertengahan perjalanan, ia meihat pedagang martabak. Aksa berpikir sejenak, lantas meminggirkan mobilnya.
“Martabaknya satu bang,” pinta Aksa.
“Siap aden.”
Sambil menunggu pesanannya tiba ia melihat sekelilingnya. Jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Dalam Asa
General FictionTentang Ara dalam diamnya. Tentang Asa dengan segala keceriaannya. Dan tentang Aksa diantara keduanya. Tentang 3 orang berbeda pribadi yang berada dalam satu rasa. Apa yang akan terjadi pada mereka? Mari kita simak sama sama kisahnya.