Aksa duduk termangu di teras Panti Asuhan Mutiara. Tempat yang tidak terlalu luas namun nyaman di gunakan untuk bersantai. Ia mengetuk ngetukkan jarinya di meja. Pikirannya melayang. Sudah sepuluh menit ia di sini tapi Ara takkunjug menemuinya. Mungkinkah ia enggan bertemu dengannya? Apakah ia marah karena panngilannyaia abaika?
Segelintir pertanyaan itu menghantui Aksa. Ia kembali mengecek ponselnya. Berharap Ara membalas pesannya. Tapi sama saja. Hal itu membuat nyali Aksa menciut. Seharusnya ia tidak usah ke sini saja tadi. Ia berdiri dan siap melangkah pergi.
Mungkin ia harus kembali pada Asa. Menemaninya dan meluluhkan hatinya. Tidak di sini menanti sesuatu yang tidak pasti. Yang hanya akan membuatnya berkecil hati.
Namun lagi hatinya dilema. Menunggu Ara atau kembali pada Asa. Ia tidak jadi melangkah. Kembali duduk. Ia perhatikan taman bunga di sampingnya. Bunga anggrek, membuatnya teringat akan dongeng yang dibawakan Ara tempo hari.
Seulas senyum terukir di bibirnya. Menyadari bahwa Ara memang berbeda dan diam-diam mencuri perhatiannya. Sama seperti Asa, yang membuat jantungnya berdetak lebh cepat ketika berada di dekatnya.
"Udah lama nunggu lo?"
Sapaan yang datang dari seorang gadis menyadarkan Aksa dari lamunannya. Mendapati seorang dengan senyum malu-malu menampakkan gigi gingsulnya. Hatinya berdesir seketika.
"Udah jamuran kali ra gue di sini. Nungguin lama banget deh. Sms nggakdi balas juga."
Ara hanya tersenyum samar menaggapinya. Mencoba menutupi perasaan gugupnya karena tiba-tiba jantungnya memompa lebih cepat. Keringat meluncur dari telapak tangannya.
Ara duduk di sebelah Aksa. Memilin jarinya bingung ingin berkata apa. Hanya suara hembusan angina yang terdengar. Waktu terasa lama bagi keduanya.
"Gue..."
"Lo.."
Mereka menoleh satu sama lain. Berucap pada waktu yang sama. Pandangan mereka bertemu. Terkunci dalam satu waktu.
Aksa menatap Ara. Alisnya tipis, hidungnya kecil. Tak begitu mancung tapi terlihat imut. Kulitnya tidak terlalu putih tapi tampak bersih. Iris matanya tak lepas dari penglihatannya.
Berwarna hitam menyiratkan kelam. Sorotnya begitu sendu seolah merindukan kedamaian. Bulu matanya lentik seperti diberi maskara.
Sedangkan Ara menatap Aksa dengan termangu. Tak siap bertemu pandang. Namun ia pun enggan mengalihkan arah pandang. Matanya menangkap wajah Aksa yang kini tepat di depannya. Hidungnya mancung seperti pinokio mungkin. Berbeda dengan hidungnya yang pesek.
Rahangnya kokoh mengisyaratkan ketegasan pada wajahnya. Alisnya tebal dan menyatu yang berarti dia orang yang bisa berubah jadi singa kalau sudah marah.
Lalu sampailah pada matanya. Bagian yang paling disukai Ara. Iris coklat terang seolah menawarkan kebahagiaan yang dirindukan Ara.
Ponsel Aksa berdering, namun itu tak mampu memecah suasana itu. Hal itu tak mampu mengalihkan pandangan keduanya. Lima menit kejadian itu, secara impulsif mereka tersenyum.
Seperti mengerti tatapan satu sama lain. Tatapan yang mengisyaratkan perasaan mereka.
"Ara kok Aksa nggak dibikinin minum?"
Pertanyaan ibu panti membuat tatapan keduanya teralihkan. Ara langsung menunduk sedangkan Aksa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Sama-sama salah tingkah mungkin.
"Ehm iya bu, tolong temani Aksa dulu. Mau minum apa sa?"
"Apa saja yang penting lo yang bikin dan cepat."
Ibu tertawa mendengar jawaban Aksa, sedangkan Ara hanya tersipu. Tinggallah Aksa dan ibu.Ibu menatap Aksa sejenak lalu menatap ke depan. Ragu ingin bertanya.
"Ingin bertanya sesuatu bu?"
Ibu tersenyum,"Iya, kamu nggak keberatan kan ibu tanyain?"
"Enggak, mau tanya apa? Soal Ara atau Alya"
"Ara," ibu menghela napas, "Bagaimana pergaulannya di sekolah?"
Aksa mengeryit tak mengerti, "Maksud ibu?"
"Dengan siapa saja ia berteman?"
Aksa berpikir sejenak, "ibu jujur saja saya baru kenal Ara beberapa minggu terakhir. Saya mengenalnya karena kami sama-sama dapat bagian mengisi mading, dengan saya yang mengambil gambar dan Ara yang membuat puisi untuk gambar tersebut. Sebelumnya saya malah tidak tahu keberadaan Ara di sekolah. Ia begitu tertutup. Dan selama saya mengenalnya saya hanya tahu Alya temannya."
Ibu mengeryit lagi dan menghela napas agak panjang dari sebelumnya. Beliau memejam.
"Ara bisa bikin puisi?"
Aksa mengangguk, "Memang ibu tidak tahu?"
"Tidak,mungkin karena di sini tidak hanya Ara yang ibu perhatikan." Ucap ibu.
"Atau mungkin karena Ara yang terlalu pendiam?" Balas Aksa.
"Mungkin saja itu,membuatnya susah disentuh. Kamu tahu bahkan sampai saat ini ibu tidak tahu apa yang ia sukai dan tidak ia sukai. Kami jarang berbincang. Ibu hanya dapat memantaunya lewat Alya. Ibu mempercayakannya pada Alya. Yah walau secara usia mereka sama tapi ibu yakin Alya dapat menjaganya."
"Dan aku ingin menyentuhnya bu. Menjaganya dengan segenap jiwa. Memberi sedikit cahaya kehidupan padanya. Karena aku melihat hidupnya gulita."
"Pada ngomongin apaan sih serius amat?" Ara datang membawa tiga cangkir teh.
"Bukan apa-apa sayang." Jawab ibu.
"Jadi kesini mau ngapain sa?"
"Mau ehm..ini.."
"Mau ngajakin kamu ke taman lampion nak. Kamu ada waktu kan?" Ibu yang menjawab pertanyaan Ara melihat kebingungan Aksa.
"Iya sekalian nyelesain Poetry Series kan kurang dua minggu lagi." Tambah Aksa.
"Oh iya sampai lupa sama itu gue sa."
"Besok malam ya ra."
"Iya Dimas Aksa Priangga. Jangan abaikan panggilan dari gue kalau gue telfon."
Aksa tergelak,"Iya tadi lagi dijalan. Maaf."
"Jangan ingkar janji."
"Iya, kenapa jadi bawel gini dah?"
Ara gelagapan,"Ya nggak apa-apa sekali kali harus cerewet kata Alya."
"Ehem ibu jadi obat nih di sini, ya udah ibu pergi deh." Ibu protes.
"Eh iya maaf bu sampai nggak sadar kalau ada ibu. Ngomong-ngomong Alya kemana bu?"
"Memang dia tidak pamit kamu nak?"
"Enggak bu. Tadi pulang sekolah nggak bareng juga."
"Dia ke rumah sakit." Celetuk Aksa.
"Tahu darimana lo?" Alya mengernyit,"Emang lo lihat dia?"
"Iya."
"Dimana?"
"Ampun deh ini anak, di rumah sakit nona pena." Katanya sambil mengusap kepala Ara.
"Rumah sakit?"
"Iya,lo belum tahu ra kalau bokap gue dokter di Moewardi."
"Oh ya? Eh bentar tadi lo panggil gue apaan?"
"Aral ah, siapa lagi."
"Ihhh bukan kok. Tadi bukan itu."
"Terus siapa?"
"Nona...."
Aksa menaikkan alisnya, "Iya Nona Pena......kut."
Ara meninju bahu Aksa sementara Aksa hanya tertawa. Dan hari itu mereka habiskan dengan bersendau gurau tanpa menghiraukan waktu yang berjalan menuju tengah malam.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Dalam Asa
General FictionTentang Ara dalam diamnya. Tentang Asa dengan segala keceriaannya. Dan tentang Aksa diantara keduanya. Tentang 3 orang berbeda pribadi yang berada dalam satu rasa. Apa yang akan terjadi pada mereka? Mari kita simak sama sama kisahnya.