Menjemput Ara

21 3 0
                                    

Megan dan Aksa sampai di rumah sakit masih dengan selamat meski ada perang dingin diantara mereka. Mereka berjalan besisihan di sepanjang lorong rumah sakit. Diujung koridor Aksa melihat Alya tengah duduk sambil memejamkan matanya.

“Alya, tidur di dalam gih,” Megan mencoba membangunkan Alya.

Alya mengerjapkan matanya,”Enghh..” Alya bangkit menuju kamar tempat Asa dirawat. Ia tidur di sofa dengan memeluk bantal kecil disana. Megan mengambilkan selimut untuk Alya.

Aksa tak menghiraukan apa yang terjadi setelahnya. Ia kini menghampiri sosok yang tengah berbaring di sana. Ia meraih tangannya. “Hai sa, udah berapa lama tidur di sini?”

Aksa tersenyum getir, merasa bodoh dengan pertanyaan yang ia lontarkan. “Jangan lama-lama ya. Katanya lo sayang gue, bangun dong kalau sayang. Kita wujudin apa yang kita rencanain tempo hari.”

Tak ada jawaban, Aksa terkekeh. Ia memainkan ibu jarinya di punggung tangan Asa. Ia memperhatikanya dalam diam. Setetes air matanya turun. “Cepat bangun sa.” Aksa mencium puncak kepala Asa.

“Nggak usah keseringan cium-cium gitu, ingat yang di panti sa.” Suara Megan membuat Aksa menghentikan aktifitasnya. Ia jadi teringat kalau tadi ia sedang bertelpon ria dengan Ara.

Ia meraih ponselnya. Panggilannya sudah terputus sejak sepuluh menit yang lalu. Aksa merasa, ia belum sempat mengucapkan ucapan perpisahan dengan Ara tadi. Hingga sesuatu kemungkinan muncul di benaknya. Mungkinkah Ara mendengar percakapannya dengan Megan tadi.

Ia lalu keluar dari ruangan, lantas menelpon Ara. Namun dua kali ia memanggil, Ara tidak menjawab. Ia mengecek jam di tangannya, pukul sembilan malam. Mungkin Ara sudah tidur. Ia lalu masuk kembali, menemani Asa sampai pagi.

***

Sinar matahari mulai menyusup ke dalam kamar seorang gadis. Namun hal itu tak mengganggu sang pemilik kamar. Gadis itu masih enggan keluar dari hangatnya selimut yang membungkusnya. Rasanya matanya sangat berat untuk terbuka. Mungkin karena efek dia menangis semalaman.

Sabtu pagi yang cukup berat bagi Ara. Hingga setelah menunaikan sholat subuh ia kembali terlelap. Dengan sangat terpaksa Ara bangkit melipat selimutnya. Kemudian mandi agar tubuhnya lebih segar. Ia tidak boleh memberi contoh yang buruk pada anak-anak panti.

Sepuluh menit ia keluar dari kamar mandi. Menuju dapur, ia melihat ibu panti sedang memasak. Jadilah ia sekarang membantu ibu panti.

“Tumben agak siangan bangunnya?” tanya ibu panti sambil menumis sayur.

“Lagi nggak enak badan bu, agak pusing,” jawab Ara sambil memotong tempe.

“Ra, Alya beberapa hari ini nggak pulang ke sini. Kamu nggak kesepian kan?”

Ara memutar bola matanya,”Enggaklah bu, dia udah gede, punya kesibukan sendiri juga.”

“Kalian nggak lagi adamasalah kan? Biasannya kalau salah satu diantara kalian nggak ada, udah pada nyariin.”

“Enggak kok bu.” Ara menjawab singkat, enggan berbicara permasalahannya dari ibu panti.

Percakapan mereka terhenti karena salah seorang anak menghampiri mereka. “Ibu di depan ada kak Alya tapi dia bawa teman. Orangnya pake baju hitam. Nyariin ibu sama kak Ara.”

Ibu menghentikan aktifitasnya. Beliau mematikan kompor dan celemeknya. “Ara kamu disini saja ya,” ucap ibu panti dengan wajah datar.

Ara hanya mengangguk, karena tidak biasanya ibu memasang wajah datar seperti itu. Orang yang memakai baju serba hitam, Ara jadi ingat tempo hari tentang dua orang yang datang menemui ibu.

Ara jadi penasaran mungkinkah tamu itu sama dengan yang datang tempo hari. Jika iya, kenapa mencarinya. Dan kenapa bisa bersama Alya? Hal itu membuat kaki Ara tergerak menuju ruang tamu.

***

Hari ketiga Asa di rumah sakit. Orang tua Asa secara bergantian menjaga Asa dengan Alya dan Megan. Jika jam sekolah, orang tua Asa yang menjaga. Namun selebihnya, Alya dan Megan yang menjaga Asa.

Namun karena hari ini sekolah libur, jadilah mereka semua berkumpul di rumah sakit. Jangan lupakan keberadaan Aksa di sana. Karena setelah mengetahui kondisi Asa, Aksa juga tak lupa absen untuk menjaga Asa.

Kini mereka berlima tengah duduk di sofa menikmati sarapan yang rasanya tidak begitu nikmat, mengingat mereka memakannya dirumah sakit.

“Alya, om boleh minta tolong.” Om Andre memecah suasana.

“Boleh om, “ ucap Alya sembari memakan apel.

“Tolong kamu bawa Ara kemari.”

“Uhukk..” Aksa tersedak minumannya begitu nama itu disebut. Dia lupa menghubungi Ara semalam, karena ponselnya mati.

“Buat apa om?”

“Kamu tahu maksud om minta kamu bawa dia kemari kan nak?”

Alya mengangguk, lalu menoleh pada Aksa. “Mau ikut nggak lo? Soalnya gue nggak yakin Ara mau ikut kalau gue yang ngajak.”

Semua kini memandang Aksa, membuat Aksa salah tingkah. “Enggak deh, gue juga nggak yakin dia bakal mau kalau gue yang ngajak.”

Kali ini Megan yang bersuara, “Kalau gitu gue aja deh yang bawa dia.”

“Jangan!!!” Aksa dan Alya kompak menjawab.

“Lah kenapa? Kalian aneh.”

Alya menarik napasnya lalu mulai menceritakan semuanya, “Ara lagi marah sama gue  karena dia tahu gue ambil buku dia. Buku kumpulan puisinya. Udah beberapa hari ini kita saling mendiamkan.”

“Kalau lo kenapa dah sa? Lagi berantem juga sama cewek lo?”

“Dia kayaknya dengar percakapan kita semalam. Dia nggak bisa dihubungi. Mungkin dia marah sama gue.” Ucapnya dengan nada rendah.

Tepat saat Aksa selesai mengucapkan kalimat itu suara seseorang mengalihkan perhatian mereka.

“Aksa.”

Lantas semua kini menoleh pada sumber suara. Suara seorang gadis yang beberapa hari ini mereka tunggu beberapa hari ini. Semua berhambur mendekati Asa. Kecuali Alya, karena saat ini bahunya ditahan oleh seseorang.

“Om percaya kamu bisa bawa Ara kemari.”

Alya lantas mengangguk dan meninggalkan ruangan. Dengan pergolakan batin yang mengelayut di dirinya.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Aksara Dalam AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang