Kali pertama Asa mengenal Alya bukan di Panti Asuhan Mutiara. Waktu itu saat ia berumur sepuluh tahun, tiga bulan setelah papa menikahi mama. Mereka bertiga sedang piknik di taman kompleks.
Asa dan papa tengah bermain basket, sedangkan mama sedang menyiapkan cemilan. Asa sedang belajar mendribble bola dengan sabar papa memberi arahan. Sesekali ia menyeka peluh yang membanjiri keningnya.
Setengah jam ia berlatih dan ia merasa lelah. Meminta ijin papa untuk istirahat sejenak. Ia menghampiri mama. Seulas senyum ia dapatkan dari mama. Meneduhkan. Persis seperti senyum almarhum ibunya.
Mama memberinya segelas air putih, tidak dingin. Kata mama tidak baik habis olahraga langsung minum air dingin. Ia menerimanya dengan senang hati. Perasaan bahagia menyelimuti hatinya karena mendapat mama baru.
Lima menit berselang papa memanggilnya, “Asa ayolah lama sekali kamu istirahat. Kapan kamu jagonya kalau sedikit-sedikit minta istirahat?”
Mama tampak protes dengan ucapan papa,”Biarkan Asa istirahat dulu pa, papa ngajarinnya santai saja.”
Papa malah tertawa lantas bergabung dengan Asa dan mama. Mama melakukan hal yang sama kepada papa seperti yang ia lakukan kepadaku tadi.
Asa hanya mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan papa,”Papa ih kok malah ikut duduk! Asa mau latihan lagi ini.”
Papa mencium kepala Asa lalu merangkul bahunya,”Main sendiri dulu sana, papa lelah.”
Binar mata Asa merekah,”Boleh pa?”
“Boleh,tapi hati-hati. Kalau capek segera kemari. Papa nggak mau sakit kamu kambuh lagi.”“Siap papa bos!”
Asa berlari kembali ke lapangan. Memainkan bola basket dengan asal. Memantu-matulkannya sesekali lalu mencoba memasukkannya ke dalam ring.
Dan hasilnya selalu saja, gagal. Orang tuanya tertawa terbahak ketika ia tak berhasil melakukan shoot. Sedang Asa jangan ditanya seperti apa ekspresinya.
Namun jangan panggil Asa jika ia terima begitu saja ditertawakan. Asa menggiring bola menuju orang tuanya. Pelan tapi pasti dan papa tentu saja sudah tahu apa yang akan dilakukan putrinya itu. Ia bersiap diri.
Tepat di jarak tujuh langkah Asa melempar bola ke arah papa. Namun sesuatu menghalangi langkahnya dan ia terpleset.
Ia tak sampai jatuh tapi kedua orang tuanya sudah panik. Takut terjadi sesuatu yang burukpada putrinya.
Serempak mereka menghampiri Asa. Memeriksa keadaannya. Dan mendapati semua baik-baik saja merekabernapas lega.Mama memeluk Asa,“Untunglah kamu nggak kenapa-kenapa sayang,lain kali hati-hati.”
Asa mengangguk dan membaas pelukan mama.“Anak tante nggak apa-apa tapi lihat nih bunga anggrek saya jadi rusak gara-gara kena bola anak tante!” seorang anak perempuan berteriak lantang kepada mereka.
Mereka serempak menoleh ke arah sumber suara. Mendapati seorang anak perempuan dengan bunga anggrek di tangan kanannya yang tampak mengenaskan dan bola basket asa di tangan kirinya.
Papa menghampiri anak itu,”Maafkan kecerobohan anak om. Biar om yang ganti bunga anggrek kamu."
“Om nggak bisa gantiin! Om nggak ngerti!” anak itu menangis.
“Maaf aku nggak sengaja.”Asa kini bersuara.
Anak itu diam tak menjawab.
“Kenapa om nggak bisa ganti?” papa kembali menyela.“Karena ini aku sendiri yang bikin, aku yang tanam. Aku yang nyilangin bibitsatu ke bibit yang lain. Bunga ini udah aku siapain dari delapan bulan yang lalu untuk hadiah ulang tahun teman pantiku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksara Dalam Asa
General FictionTentang Ara dalam diamnya. Tentang Asa dengan segala keceriaannya. Dan tentang Aksa diantara keduanya. Tentang 3 orang berbeda pribadi yang berada dalam satu rasa. Apa yang akan terjadi pada mereka? Mari kita simak sama sama kisahnya.