Sebuah keputusan secara dadakan dan tiba-tiba sudah diambil. Disaksikan oleh seluruh keluarga pria dan kedua orangtuaku, namun hatiku, bagaimana dengan hatiku yang sebenarnya enggan dengan pertunangan ini, bahkan hatiku tak tahu apakah Aku siap menerima lelaki itu untuk menjadi pendamping hidupku, bahkan nama panjang Dia dan wajah Dia baru aku kenali beberapa kali pertemuan saja, itupun karena Aku menginap dirumahnya dan tanpa sengaja bertemu dengannya ketika dimasjid dulu. Hatiku yang masih terasa gamblang dan tak terarah harus menghadapi sebuah kenyataan yang Aku ambil karena kesalahan serta kegugupanku sendiri. Apa boleh buat Aku tak dapat menolak bahkan menghindarinya.
Mungkin bagi beberapa orang, atau kebanyakan wanita lainnya. Mendapatkan seorang lelaki dan mendapatkan sebuah lamaran adalah hal yang menggembirakan. Ya, menggembirakan jika, Lelaki yang melamarmu adalah lelaki pilihanmu, lelaki yang melamarmu adalah lelaki yang sudah kau kenal lebih dulu. Namun bagiku, pertunangan serta lamaran ini adalah sebuah kecerobohan semata tidak lebih.
Ku akui Aku memang tak pernah memiliki lelaki spesial, namun jika dadakan seperti ini, siapa yang siap?
Bahkan hatiku masih bertanya tentang sosok seperti apa dirimu sebenarnya.
"Ah sudahlah"
"Mau difikirkan bagaimana juga ini takkan ada habisnya" Bathinku mengelak, dengan kepala yang kugeleng-gelengkan, berusaha menghilangkan fikiran aneh yang hinggap makin terasa runyam.
"Pulang Rat!" Tepok seseorang dari arah belakang.
"Eh.. Mbak Retno, bentar lagi deh, lagi asik ngelamun nih, hehe" sahutku sekenanya.
"Lah ngelamun kox enak, awas kesambet lo, apalagi ini udah mau maghrib." Jawabnya lagi
"hmmmm... Iya deh mbak, Yuk bareng" Ajakku sembari menggandeng tangan mbak Retno yang sudah berjalan lebih dulu.
-
--
"Gimana rasanya dilamar Rat?" Tanyanya sambil cengar-cengir.
"Emmz... Nggak tau mbak, bingung."
"Lah kok bingung, aturan seneng geh... " Ledeknya lagi,
Aku yang tengah sibuk menata barang untuk dibawa kegudang, hanya tersenyum kecut kepada mbak Yanti, yang sepertinya sengaja membahas soal lamaranku beberapa waktu lalu, namun karena hati ini terasa masih berat menerima kenyataan jadi setiap ada yang bertanya hanya kujawab sekenanya dan sekedar basa-basi semata. Hitung-hitung menutupi perasaan keluarga mereka juga sih.
Sudah beberapa hari ini nafsu makanku menurun, mungkin terlalu syok dengan lamaran yang dadakan dan acara pertunangan yang sebentar lagi akan diadakan.
Sudah sejak pagi tadi rasanya kepalaku pusing tujuh keliling, berasa bumi sedang bergoyang riya, atau mungkin ini hanya perasaanku saja. Aku memandang sekeliling gudang dimana Aku tengah mendorong troli yang berisi kaleng-kaleng buah segar hasil panenan hari ini, namun kalian tahu apa yang terjadi gw pingsan men...
"RATNAAAAA...."
Itu adalah suara terakhir yang Aku dengar sebelum akhirnya Aku tersadar, diriku sudah tergeletak diatas tempat tidur dengan selang impus menempel dipunggung tanganku.
"Masih pusing?" Tanya salah seorang wanita tepat disampingku yang tak lain adalah mbak Yanti, sedang wanita yang satu lagi tengah memeriksa denyut nadiku.
"Mbaknya udah berapa hari ini telat makan, jangan terlalu stress ya mbak..." Perintah wanita itu dengan suara yang amat terdengar lembut.
"Iya dok,, nanti saya suapin Dia, biar nggak pingsan lagi." Sahut temanku
yang tak lain adalah Yanti.
"Aku pingsan tah Yan?" Tanyaku heran, bukannya menjawab Dia justru mendengus kesal.
"Ya iyalah pingsan masak mabok!" jawabnya masih dengan nada kesal.
"Lah Aku kan nanya Yan, ya maaf kalau salah." Kali ini nadaku terdengar memelas dengan dibarengi deraian air mata yang sebenarnya tidak perlu, namun entah kenapa Aku yang memang terkenal cengeng terlebih dengan hal seperti ini, sakit dan jauh dari keluarga semakin membuat diriku terasa lemah tak berdaya. Sedang Yanti yang melihatku menangis mulai terlihat panik, diucapkannya kata maaf berulang-ulang agar membuat Aku lebih tenang.
Setelah sedikit tenang, Yanti pun menjelaskan dimana kondisiku jatuh pingsan tadi, dan apa saja yang dokter katakan tentang kesehatanku. Sedang Aku hanya melamun dengan sisa-sisa deraian air mata yang masih menggenang dipelupuk mataku.
=
==
Beberapa minggu dari kejadian itu, Aku kembali kerumah, tanpa mengabari bahwa Aku jatuh sakit, bukannya apa-apa hanya saja agar keluargaku tidak panik.
Minggu 24 Agustus hari itupun tiba.
Pertunangan secara sah akan segera dilangsungkan, bukan hanya sebuah pertunangan namun malam ini kakak perempuanku yang memang hendak melangsungkan acara pernikahan dan malam ini adalah acara seserahannya ikut digabungkan. Jadi dua prosesi dalam satu acara, hitung-hitung agar biaya yang dikeluarkan juga lebih sedikit.
Tak berapa lama keluarga dari Muhammad Agus datang, tidak banyak hanya satu mobil, yang diisi oleh kedua orang tua Muhammad Agus, Muhammad Agus sendiri dan satunya adalah kakaknya sebagai juru bicara.
Setelah acara seserahan selesai, kini acara pertunangan kami dimulai, Aku yang sebenarnya berat hati dngan acara ini hanya bisa pasrah dengan takdir ilahi.
Mungkin inilah yang terbaik untukku.
Bismillahirahmanirahim
Dengan mengucap bismillah Aku melangkah menemui calon suamiku kelak.
Gemetar dan panas dingin itu pasti namun Aku tak ingin membuat keluargaku malu. Meski malu ini harus dihadapi,
Acara pemakaian cincinpun dimulai.
Ketika Muhammad Agus hendak memakaikan cincin kejemari manisku,
ternyata cincin itu tidak muat
whaaatttttt....???
Maluuu.. iya maluuu
tapi semua sudah terlanjur, terpaksa cincin itu dipakai dijari kelingkingku.
"Mengapa harus ada tragedi seperti iniiiiii...???" bathinku mengeluh namun juga pasrah.
Ya sudahlah mungkin ini nasibku.
Miris.

KAMU SEDANG MEMBACA
8 Tahun...
Roman d'amourMengejar mimpi, angan-angan yang tertunda, gejolak kehidupan, hijrahku... Keputusan yang mendadak. Pacar Halal. Dimana dimanika kehidupanku terlihat biasa, namun begitu rumit untuk dijalani. 8 Tahun, bukanlah waktu yang singkat maupun sebentar. Nam...