Bagian17. Komitmen

508 31 0
                                    

Perjodohan ini rasanya bukanlah sebuah keputusan yang tepat, bagaimana tidak. Selama perjodohan berlangsung, dan selama 4 tahun pertunangan ini, pertemuan kami masih sangat bisa dihitung dengan jari bahkan jari 10 pun hanya terpakai 2 untuk menghitungan pertemuan kita.

Ya, pertunangan yang seperti permainan ini terkadang membuatku lelah dalam penantian, tak pernah adanya kepastian dan penjelasan yang jelas. 

Hari ini tepat ke 5 tahun pertunangan kita, kamu diwisuda, adikmu berpesan bahwa jika nanti Kamu wisuda, Aku diharapkan bisa datang dalam acara bahagia itu. Tanpa menunggu kabar darimu, Aku mempersiapkan bawaan sebagai oleh-oleh untuk keluargamu. Namun sayang itu hanyalah sebuah impian belaka. Aku yang memang pemalu, takkan pernah mungkin datang seorang diri, terlebih dirumahmu dan bakal bertemu dengan ayah serta keluargamu yang lain. 

Dari sejak pagi, Aku sudah mempersiapkan diri, tak lupa mengecek barang bawaan, tak banyak hanya buah jeruk 2 kilo dan beberapa kaleng biskuit. Setidaknya Aku kesana tidak dengan tangan hampa. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 siang, sedang Aku masih tertahan dikamar mesku. Kembali menimang-nimang haruskah Aku kesana atau tidak

Bukan tanpa alasan, namun rasanya begitu amat malu jika seorang wanita kesana seorang diri dan itu bukanlah sifatku. Wanita harus menjaga dirinya dari segala macam fitnah, jika Aku sampai kesana seorang diri, yang ada nanti diriku malah menjadi bahan gosip ataupun pergunjingan disana. Akhirnya setelah menimang-nimang cukup lama, rencanaku untuk pergi kerumah dia kubatalkan secara mantab, dan barang bawaan yang sudah kusiapkan Aku makan sendiri.

"Haahhh..."

Aku menghela nafas panjang, sedalam mungkin.

Menjatuhkan tubuhku yang kecil ini diatas kasur yang tidak terlalu empuk namun tetap memberikan kenyamanan. Hari libur ini kuhabiskan waktuku hanya untuk melamun dan menghabiskan makanan yang gatot kubawa untuk keluarga Ahmad.

Ada keinginan untukku pulang kerumah, namun entah kenapa rasanya terlalu berat untuk melangkah pulang, tahu sendiri para tetangga dan saudara yang selalu kepo dengan kehidupan kami, takkan mungkin diam melihat aku pulang. Yang ada ribuan pertanyaan kapan nikah bakal menjadi stok menumpuk dalam otakku.

*

**

***

"Mbak Ratna, kox nggak dateng". Terlihat raut kekecewaan dalam wajah Yanti, yang masih sibuk dengan pekerjaannya.

"Eh... Iya Maaf Aku nggak jadi datang, karena nggak ada temennya." Aku berkilah menutupi kejadian sebenarnya atas ketidak datanganku yang sebenarnya hanya karena malu.

"Padahal Yanti udah nungguin lo". Yanti melanjutkan.

"Iya, udah sempat kefikiran sih Kamu bakal nungguin, tapi kamunya nggak telfon or sms jadi Akunya ya ragu mau kesana".

"Ooh.. Gitu, ya udah deh maaf salahku juga sih nggak ngabarin, oya kak Ahmad titip salam buat Ratna." Yanti mengucapkannya dengan nada malas sembari berlalu dari pandanganku.

"Wa'alaikumussalam." Jawabku pelan entah terdengar atau tidak olehnya.

=

==

=========

Daripada Aku harus memikirkan pertunangan yang tiada pasti ini, lebih baik Aku fokus dengan hidupku, mengumpulkan pundi-pundi hasil keringatku agar bisa membahagiakan kedua orangtuaku dikampung dan menjalani hidup tanpa beban.

Biarlah orang-orang berargumen semau dan sekehendak mereka, toh diberi alasan apapun juga mereka takkan pernah dapat memahami serta memaklumi keadaanku, terlebih komunikasi kami yang memang sangatlah teramat jarang, Hingga Aku merasa bahwa hubungan ini hanyalah hubungan khayalan yang takkan pernah tau kapan akan menjadi sebuah kenyataan. Dilema,kecewa,hampa,hambar,bahkan tersakiti semua rasa itu harus Aku bersihkan dalam hati, karena sekecewa apapun perasaan ini takkan pernah ada ujungnya.

Entah apakah Aku masih pantas untuk merasakan sebuah kebahagiaan atau tidak. Entah apakah hatiku ini  masih akan tetap berlabuh kepadanya atau malah dengan orang lain tapi satu yang pasti Aku takkan pernah berani untuk melepaskan ikatan pertunangan yang halu ini. Kenapa??? Ya karena alasannya sepele, Aku takut akan perkataan orang-orang jaman dulu

"KUWALAT"

Meski hubungan ini digantung, toh nggak ada salahnya bertahan.

"Aku punya Allah, yakin dan pasti bisa..."

Biarlah Aku menanti Dia yang tak pernah hadir dalam kehidupan nyataku, Andaikan memang harus berakhir, biarlah Dia yang mengawali pembicaraan itu, bukan Aku maupun keluargaku. Karena Aku hanya tak ingin menyakiti kedua belah pihak terutama ibu dan ayahku. Meski ini terkesan terlalu berharap toh tak ada salahnya bertahan dengan sebuah komitmen yang rada sulit atau teramat sulit.

"Bismillah... Kuatkan Aku Ya Allah, serta sabarkan Aku dalam penantian ini Aamiin.."

Aku menutup kalimat doaku diakhir tahajudku. Berharap Allah meridhai dengan keputusan yang Aku ambil. Bukan ini masa bodoh dengan pertunangan ini hanya saja diri ini juga butuh kebahagiaan yang lain salah satunya menikmati hidup.

8 Tahun...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang