Bag.16. Owalah

540 34 0
                                    


"Lah piye? Jare anakmu seng nomor telu arep mbojo... Kok sampe saiki ora mbojo-mbojo jane calonne mengendi to...?

Janu-janu calonne nduwe pandangan laen Yu...?"

"Alah Yo raklah, wong boca'e mbiyen wes pesen, jare seng penting anakku wes diikat dekne wes tenang dadi ora bakal dijuku wong liye, nek masalah nikah engko kan kono ngenei kabar nek arek nikah."

Sebuah obrolan saudara dengan ibuku yang kudengar dari bilik kamarku.

Mungkin saja, kabar pernikahanku dengan calon imamku yang tak jelas kabarnya sudah menjadi gunjingan sana sini. Dan mungkin saja selama ini Ibuku serta keluargaku yang lain menanggung malu bahkan harus menahan telinga serta hati mereka dari pertanyaan-pertanyaan saudara maupun tetangga yang menghampiri.

Terkadang, hati ini ingin sekali menelfon serta menanyakan sebuah kepastian tentang hubungan ini, namun acapkali rasa malu lebih mendominasi dan diam itu adalah pilihan yang terbaik.

"Heh.. Melamun!"

Yuk Lusi sengaja menguncang pundakku agar Aku tersadar dari lamunan.

"Ah.. Enggak..." Sahutku berkilah namun tetap saja Ayukku takkan mungkin bisa dibohongi, meski ragu namun Aku coba memberanikan diri.

"Yuk... Sebenarnya selama ini pertunanganku sama Mas Ahmad itu jadi gunjingan orang-orang ya..?"

Tanyaku langsung kepada Yuk Lusi yang tak memberikan respon apa-apa..

"Yuk, ayolah jawab, please jangan ditutup-tutupi, setidaknya ijinkan Ratna juga tahu, Ratna ini hanya tak ingin membuat Mamak semakin sedih apalagi berfikir terlalu dalam. Cukup Ratna yang menanggungnya Yuk jangan Mamak, Yayuk ataupun adek-adek Ratna.

Jujur ya, Ratna sendiri juga kecewa terhadap calon Ratna, tapi nggak mungkin Ratna mau menuntut macam-macam. Terlebih Ratna belum mengenal Dia sepenuhnya, bayangkan pertunangan Ratna yang terlalu tiba-tiba, mana ada orang mau menikah tapi baru seujung kuku yang Ratna tahu tentang Dia.

Tanpa terasa cairan bening ini sudah menetes mengalir dikedua pipiku, yuk Lusi yang melihat Aku menangis, berusaha menguatkanku meski tak dipungkiri, pelupuk matanya juga mulai berair.

Sedih itu pasti, kecewa itu sangat, entah sampai kapan penantian ini akan berakhir.

Ya Rabbi... Kuatkan kami...

Sore hari yang melow dan sebuah pelukan hangat mengakhiri curhatan kami berdua.

=

==

Kata demi kata sudah tersusun dengan baik, tidak banyak hanya ada beberapa kalimat.

Namun sedari tadi, kalimat ini belum juga aku luncurkan ke nomornya, entahlah rasanya terlalu gengsi dan malu jika tiba-tiba seorang wanita menyapa duluan ketimbang seorang pria, meski untuk zaman sekarang hal ini sudah bukanlah menjadi hal aneh lagi, namun tetap hatiku malu.

Dengan bismillah Aku nekad, mengirimkan sebuah pesan singkat ke hpnya, semoga saja Aku bisa mendapatkan sebuah kabar dan jawaban darinya. Harap-harap cemas, Aku menunggu balasan pesan dari calon imamku. Detik demi detik berjalan, menit demi menit mulai berlalu dan kini sudah hampir satu jam pesanku juga belum mendapatkan jawaban darinya. Sedang mataku sudah mulai lelah, rasa kantukpun sudah mulai menyerang namun ketika mata ini mulai tak sengaja terpejam.

Hpku berbunyi, dan waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam.  Dengan cepat, masih dengan mata setengah terpejam Aku membuka pesan yang bertuliskan kak Ahmad. Ya itu adalah nama calonku, semoga saja ini sebuah obrolan baik.

"Alhamdulillah baik, Semoga begitu juga sebaliknya Aamiin.

Maaf sementara Ratna jangan bertanya soal itu dulu."

Deg

Jawaban dari mas Ahmad, benar-benar membuat hatiku makin kecewa. Seketika rasa kantuk ini hilang tergantikan oleh tangisan sedih yang menyelimuti hati. Untuk kesekian kalinya pertanyaan kepastian kapan pernikahan itu benar-benar ditolak mentah-mentah oleh Dia. Jika memang Dia belum sanggup untuk menikahiku lalu kenapa harus menunang Aku? Sedang pernikahanpun tidak bisa Dia sanggupi.

Ya Tuhan, lelaki macam apa yang Engkau berikan kepadaku?

Apakah Dia adalah benar-benar lelaki terbaik yang akan bisa membimbingku kejalanMU..?

Hatiku mulai ragu, hatiku mulai bimbang.

Tak ada kepastian dan mungkin saja gunjingan serta ejekan akan semakin santer terdengar. 31 Desember menjadi penutup berakhirnya pertunanganku selama 3 tahun yang kini mulai berjalan menuju ke 4 tahun.

Apakah Aku sanggup??

Cobaan apalagi yang akan Engkau berikan Ya Rabb...

Sebuah pertanyaan dalam hati yang makin membuatku semakin hilang semangat.


=

===

"Rat, jangan lupa besok kita ada kegiatan risma."

Pesan singkat yang kuterima dari kak Maya hanya kubaca dan tak kuhirau, terlalu malas untuk melanjutkn hidup yang tak jelas seperti ini.

Apakah Aku putus asa?

Bukan, bukan putus asa namun rasanya balasan  singkat dari mas ahmad berhasil membuatku kehilangan setengah energiku.

Begitu mirisnya nasibku.


"Assalamu'alaikum.."

Sapaku kepada rekan-rekan anak-anak risma yang sudah berkumpul dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah.." Serempak menjawab .

"Eh.. Rat, tumben baru datang, biasanya kamu berangkat paling awal alias gasik." Mbak Indri menyahut dari belakang pintu.

"Ho'oh, piye lo Rat, kowe iki ditunggu ketmau malah santai-santai wae. " Mbak Ingga menimpali sedikit menggerutu sembari menaruh kotak makanan akan tersusun lebih rapih.

"Iyo, maaf mbak, Aku lagi rada nggak enak badan, jadi rada males mau berangkat."

"Owalah, sakit... Pasti mikirin kapan dinikahin... hahah." Mbak Ingga menertawakanku seenak udelnya dia, sedang Aku hanya menyikapinya dengan senyuman kecut.

Yah mungkin kisahku ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagi mereka, sehingga setiap-setiap orang yang bertemu denganku selalu menyindir dan mengolok-olok kisahku yang mirip seperti drama sinetron.

"Ah.. Sudahlah, tak mau dan tak ingin memikirkan hal ini dalam-dalam, Akupun pergi meninggalkan rombongan mbak Ingga menuju keruang acara.

"Owalah... Bocah dijak ngomong lakok malah lungo jan jan..."

Terdengar Mbak Ingga ngomel tak jelas, namun kutinggalkan saja dia bersama dengan snack-snack yang harus dia bagikan kepara tamu.




8 Tahun...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang