27 ~ Perempuan Jawa, Muslimah, Asertif dan Vokal

45 1 0
                                    

Dilema selanjutnya yang sering mampir ke saya adalah terkait sikap vokal saya.

Menjadi Perempuan Jawa, tentu terdapat standar-standar bagaimana perempuan itu bersikap. Bukan hanya jadi perempuan ding, but menjadi Jawa, we have certain cultural rules to be obeyed.

Tentang kehalusan-kehalusan yang harus dijaga, tentang basa-basi, tentang simbol-simbol yang harus dibaca. Meskipun, orangtua saya tidak benar-benar menuntut saya dengan norma-norma Jawa (bahkan di rumah orang tua meminta kami pakai bahasa Indonesia saja) tapi ketika saya keluar rumah, saya bertemu dengan banyak norma Jawa yang membuat saya merasa serba salah.

Budaya asertif di keluarga saya itu agaknya secara tersirat dibangun. Setiap berkumpul, kita secara ga langsung akan menceritakan kegiatan masing-masing atau perasaan masing-masing. Saat menentukan sesuatu, kita biasanya berdiskusi, melempar pendapat dsb, sampai ibu dan ayah saya sampai tertawa "gini nih kalau rumahnya diisi orang-orang 'pinter' ceramah semua di rumah, hahaha".

Kalau pulang, of course, mostly dari kita akan perfecfly fine, karena rumah dan keluarga adalah habitat asal kita. Nanti kalau berkesempatan akan saya videokan bagaimana panasnya kita bahas isu koran di rumah. Apalagi, kita kebanyakan warga sosial hunaniora. Thus, bicara, dan menyampaikan pendapat adalah kebutuhan akademis yang diperluas.

Kemudian, saya pergi semakin jauh lagi, merantau ke Bogor. Dan budaya perempuannya pun berbeda. Meskipun Bogor dianggap lebih kasar daripada Bandung. Tetep aja, ada budaya2 Sunda yang halus dll. Disitu saja saya harus berjuang keras untuk jadi lembut. Di beberapa postingan saya, saya sudah menceritakan saya pernah putus asa.

Lalu, saya pergi ke Yogya. Dan... makin-makinlah. Meskipun saya hidup di lingkungan akademis, tapi nuansa keratonnya masih terasa hehe. Ya ga bisa digeneralisir, tetapi, banyak fakta di lapangan.

Tidak senang bertanya di kelas, bukan karena ga bisa, tapi karena bukan budaya berbicara terbuka di depan umum.

At some points, kadang saya merasa "what should I do? Keep silent? Or speak but with all the eyes narrow on me...

Lalu, apalagi dengan titel tambahan sebagai orang yang belajar Islam. Menjadi muslimah, people sometimes expects me to be kind of "that girl". Ramah, lembut, mengayomi, dll.

Jadi, di balik keberanian saya bertindak, saya nggak naif bahwa ada banyak dilema-dilema yang menggelayuti. Kadang-kadang itu memburuk dengan jatuh ke lembah ketidakpedulian.

Alhamdullillah, saya punya serangkaian ilmu dasar dan support system yang jadi protektor saya jatuh ke lembah dilema sosial yang berkelanjutan.

Huhu, terimakasih kalian yang support saya untuk tetap menjadi versi diri saya yang terbaik.

Keluarga Ibu, dengan wanita-wanita supernya, yang buat saya merasa menjadi wanita paling beruntung.
Ibu dengan cerita-cerita heroiknya, Tante Ayu (dengan cerita jadi TKI Ilegal karena mau uji nyali aja, jadi business woman sendiria tanpa suami), dan Tante Evi (yang SMAnya IPS tapi Kuliahnya Farmasi hahaha... Dan cumlaude! Segala hal bisa dipelajari katanya). Dari mereka saya belajar, hidup harus diperjuangkan dengan keberanian menjadi diri sendiri.

Tante Ayu, menjadi TKW, bukan karena apa-apa, tapi karena pengen keliling dunia. Hayoloh. Karena penampilannya chinese-arab, kalau di bandara sering dikira majikannya. Haha.

Tante Evi, SMAnya IPS, tapi bisa berjuang masuk Farmasi. Ternyata emang suka hitung-hitungan. Lalu, sekarang jadi pemilik Kumon cabang Bangil dan ibu dari sepupu aku yang kelas 5 SD sudah bisa ngerjain soal matematika ah SBMPTN.

Kapan2 saya cerita soal kisah mereka yang mungkin akan bikin geleng2 kepala juga. Perempuan2 nekad di jamannya.

Saya ga memungkiri, kadang saya ingin diam saja.

Kadang saya ingin seperti si A, B, C, D, E.
Kalau kata ibu saya, "Dasar sindroma perfeksionis, sebab ga ada orang yang benar-benar sempurna,'

Kok si ini lembut ya.
Kok si itu begini ya.
Kok saya ga bisa.
Pastikan semua orang pernah ngerasain kayak gini.

Akhirnya, saya cuma pakai satu kaidah ini yang dikasih oleh mentor hidup saya, ceilah, "Jangan takut berbuat jika memang itu bukan perbuatan dosa," sesederhana itu.

Memang cultural awareness itu penting banget. Tapi, menurut saya, ada part2 dari budaya juga yang ga bisa kita telan mentah-mentah. Kita harus menyeleksinya.
Jadi, akhirnya saya pakai kaidah itu aja.
"Selama ga dosa, selama masih dalam kebaikan, hajar gan!"

#DilemaMendewasa





Ngemil MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang