45 ~ Tangis Gendhis

24 1 0
                                    


"Gendhis, mengapa kamu belum juga menikah? Kamu nunggu apa?" Tanya Wika.

Gendhis cuma tersenyum kecil sambil menimang Arya anak sahabatnya, dia kebetulan sedang berkunjung ke Bandung, ada pekerjaan sambil main ke rumah sahabatnya. Wika dahulu adalah teman satu organisasi saat kuliah.

"Nunggu Arya gedhe Wika," jawab Gendhis asal. Arya bocah digendongannya sudah mulai gelisah tidak mau digendong, sementara Gendhis masih gemas pengen menggendong.

"Ih, nggak mau ah, nanti Aryanya dikatain berondong, hehe," tangkis Wika, Gendhis Cuma bisa nyengir aja. Lengsung pipinya muncul setiap Gendhis menarik kedua bibirnya menjadi senyuman atau sekadar nyengir kecil.

"Yee... Kan mau dijadiin among tamu, ganteng gini, putih, lucu, ih gemes..." Gendhis menurunkan Arya dari gendongannya, balita berumur 1,5 tahun itu mulai tidak tahan digendong.

"Bunda, Ashraf mau main ke Time Zone," tiba-tiba Kakaknya Arya muncul, si Ashraf pemilik alis tebal dengan kulit putih itu melongok di pintu kamar dengan telepon pintar di tangannya.

"Iya, nanti kalau Ayah pulang ya," Wika membalas Ashraf. Ashraf nampaknya tidak puas. "Kan, Ayah pulangnya tiga bulan sekali, ayah masih di laut, kelamaan Bundaaa," balas Ashraf. Ayahnya Ashraf dan Arya, suami Wika, memang bekerja sebagai pelaut. Baru pulang selama tiga bulan sekali.

"Yaaaah Bunda, kemarin temen Ashraf cerita kalau ada permainan baru di Time Zone, ayo Bunda, ayooo...." Ashraf mulai merajuk. Dahi Wika berkerut, dia tidak punya baby sitter untuk menjaga anak-anaknya. Kalau sendirian ia pasti kerepotan harus menjada dua orang anak.

Gendhis yang melihatnya tidak tega, "Ya udah sama tante Gendhis saja. Coba tanya sama Bunda, boleh nggak?"

"Asyiiikkk, tante Gendhis mau nemenin, boleh yaa Bundaa, boleh yaa..." Ashraf yang berusia 6 tahun ini merajuk sembari menarik-narik baju Bundanya.

Wika memperhatikan Gendhis sebentar sambil menimang, "Memang dirimu sedang luang, Ndhis? Kerjaan di Kemenkeu sudah selesai?"

"Iya, ini sudah kok. Makanya bisa main sebentar kesini. Aku ajak ke Time Zone sebentar sebagai obat inginnya Ashraf aja..." Gendhis tersenyum menenangkan.

"Dua jam aja ya Ashraf? Okee?" Gendhis memberi syarat. Gendhis tahu, Wika masih punya banyak urusan di rumah jadi tidak bisa lama-lama.

"Yaah, kok dua jam, yang lama dong tantee..." Bibir Ashraf mulai manyun dan dahinya berkerut.

"Em, tante harus balik ke Jakarta soalnya, nanti maghrib harus siap-siap. 2 jam atau nggak sama sekali. Gimana mau nggak tawaran tante..." Gendhis kembali menawarkan sambil berpura-pura galak.

"Ya udah deh, nggak apa-apa..."

Gendhis tertawa melihat muka Ashraf yang manyun.

"Ya udah siap-siap sana, pakai baju." Kata Wika.

Mata Ashraf langsung berbinar ceria, "Bunda, Ashraf mau pakai baju yang biru, yang ada gambar kapal lautnya."

"Ya udah cari sendiri di lemari, baru aja bunda lipet,"

***

Wika memperhatikan Arya yang sedang bermain sembari sesekali melihat Gendhis yang sedang menimang-nimang Arya yang memang sedang fase lucu-lucunya. Gendhis, perempuan teman seorganisasinya itu kurang apa, sudahlah anak tunggal, orang berada, mapan, cantik dan manis ala perempuan Jawa, keibuan dan satu lagi dia anak baik-baik, nggak macam-macam. Mereka berdua bertemu di sebuah organisasi ke-Islaman, bahkan dia memutuskan untuk masuk menjadi santri di sebuah Pesantren Putri untuk Mahasiswi. Bahkan hingga sekarang pakaiannya pun islami dengan rok lengkap dengan kerudung pasmina sedada.

"Gendhis, ini... em... kata A' Nizam ada teman kita seorganisasi dulu, jaman kuliah, yang nanyain kamu, kamu apakah mau?" kata Wika berhati-hati memulai pembicaraan.

"Dia siap membiayai anak yatim nggak Wika? Aku berniat mau membuka panti asuhan, jadi sebagian uangku mau aku buat memperbesar pesantren untuk anak yatim di desaku. Uangnya masih buat itu daripada buat yang lain," Jawab Gendhis tanpa menoleh kearah Wika.

"Dia sepertinya sudah mapan dan orang berada Gendhis, jadi kalau sevisi, proyek sosialmu jadi bisa bareng-bareng dikerjainnya. Pesta pernikahan jalan. Proyek sosial jalan."

Gendhis tersenyum kecil, "Ya, nanti dulu deh, belum ke pernikahan dulu. Terimakasih ya Wika,"

"Ndhis, sudah berapa juga yang nitip tanya ini mau dijawab apa juga,"

"Dijawab aja, Gendhisnya belum ada keinginan menikah dengan siapapun hehehe," Gendhis terkekeh sembari memperhatikan Arya.

"Kamu cari yang seperti apa, Ndhis. Kurang apa Bilal kemarin, dia berada, mampu, hafidz, dan secara fisik oke, nasab baik lagi dia keluarga pesantren," Wika mendesah.

"Hehe... mungkin aku yang kurang baik aja Wi, dia terlalu wah."

"Aduuh, Gendhis. Dia naksir berat gitu lho sama kamu, berarti dia mau nerima kamu apa adanya." Wika mulai geregetan. Gendhis cuma nyengir sambil bermain dengan Arya.

"Ya, apa benar mau nerima aku apa adanya? Belum tahu jelek-jeleknya aku kan," Gendhis menjawab ringan.

"Sejauh aku kenal kamu selama 4 tahun, kamu supel dan jarang bikin orang sebel. Kamu baik banget lagi, ndhis. You are as good as him. Atau bahkan lebih baik. Who knows?"

Gendhis tersenyum geli, "Makasih lho Wika udah dibantuin buat menaikkan rasa percaya diri aku, terimakasih juga sudah dibantuin ngenalin. Sementara, belum dulu ya, entah sampai kapan."

Wika hanya bisa menghela napas pasrah.

"Semoga segera mendapat yang sesuai ya ndhis," batinnya.

Gendhis tersenyum kecil namun tidak ada yang tahu bahwa hatinya tersayat.

***

Tidak ada yang tahu alasan Gendhis menolak semua lamaran adalah bahwa ia tidak bisa memiliki anak. Ia menderita kelainan genetic, dimana ia kelebihan kromosom Y. Secara sederhana, tubuhnya memang wanita, namun kromosomnya laki-laki. Ia tidak menstruasi. Tidak memiliki sel telur. Dan rahimnya tidak berkembang dengan baik. Maka, hati perempuan mana yang sanggup mengatakan kondisi tubuhnya di depan mereka yang datang. Tidak ada yang tahu malam-malam Gendhis bersujud dengan linangan air mata. Tidak ada yang tahu terapi-terapi yang telah dijalani Gendhis, bahkan kedua orangtuanya pun tidak tahu. Hatinya tersayat. Perasaan sebagai perempuan dengan segala harapan keperempuanannya hancur lebur tak bersisa. Perlu waktu lama untuk menerima takdir dan menentukan bahwa jalan jihadnya bukan menjadi seorang ibu.

***

Cerita ini nyata. Dari seorang kawan yang sholihah di sebuah asrama putri mahasiswi. Dikisahkan lewat jemari saya.

Semoga kebaikan selalu atasnya.

Batu, 24 Juni 2019.

Ngemil MaknaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang