Allah knows you the best!
Malam itu, saya menulis halaman persembahan skripsi saya dengan salah satu ayat dari surat Maryam, "Wa lam akun bidu'aaika syaqiyyaa" artinya "Dan aku belum pernah kecewa berdoa kepadaMu". Malam itu, saya menuntaskan halaman persembahan saya dengan muka sumringah. It is going to an end! Bismillah sidang April.
Keesokan harinya, saya ngasdos seperti biasa, dan kelas berjalan menyenangkan, saya nggak punya firasat apa-apa. Setelah ngasdos selesai, saya melangkah ke akademik untuk verifikasi nilai. Dan inilah salah satu mengapa saya menulis hal ini.
Sebuah Test terhadap Ayat yang Saya Tulis di Awal Lembar Persembahan Saya
Saat verifikasi nilai, baru saya sadari saya melakukan kesalahan fatal (saat menulis ini, saya sebenernya malu dan masih tersengat, tapi saya harus menulis ini, sebab saya percaya, ini adalah salah satu momen penting dalam hidup saya, yaitu: berbuat kesalahan dan belajar bangkit). Ada satu matakuliah pilihan wajib yang terlewat, total matkul saya sudah mencapai 141 sks dengan tambahan skripsi artinya saya dapat 146 sks. Tapi, karena kesalahan administrasi dan tidak ada sistem deteksi dini, saya tetap diijinkan mengambil skripsi meskipun matakuliah ini belum lengkap. Dan salah saya juga, kenapa ga menngecheck di semester 6. See, i did wrong thing. I feel like i want to deny that i was wrong, but, i will embrace it. I did the wrong thing, and i hope you will be more be careful than i am.
Pagi itu, di akademik, jantung saya melecos sampai ke tanah. Pandangan saya blur dan jari jemari saya gemetar. Saya akhirnya terduduk dan merapatkan diri ke salah satu komputer di akademik untuk mengecek sekali lagi. Berkali-kali mengecek saya tetap tidak bisa maju verifikasi nilai. Saya terdiam lama. Menahan napas yang tidak tahu mengapa paru-paru saya menjadi lebih berat bernapas. Kaki saya seperti tidak menapak lantai. Dan ransel di pundak saya terasa memuat jutaan kg. Saya menahan diri untuk tidak pecah di kantor akademik. Saya memberanikan diri nego Pak Arif, bapak akademik yang paling baik hati, dan tetap tidak bisa. Dunia saya runtuh.
Saya mencoba melakukan rasionalisasi berkali-kali, seperti "Atur napas, buang," atau "Pasti ada jalan," atau apapun itu. Setelah berkali-kali melakukan terapi napas, saya tetap merasa percuma. Akhirnya saya menuju mushola untuk bersujud. Minta petunjuk sama Allah. Setelah sampai disana, yang untungnya tidak ada orang, tangis saya pecah sepecah-pecahnya. Saya tergugu.
Gemetar saya menghubungi kedua orang tua saya. Orang tua saya kabari akan kemungkinan saya harus extend satu semester lagi, dan bayar ukt lagi!
Bagian terberat dari proses ini adalah saya harus menanggung kesadaran seumur hidup saya bahwa ini adalah salah saya. Bagian terberatnya adalah membuat orang lain harus menanggung apa yang menjadi kesalahan saya. Kalau saya saja yang terkena, mungkin ga akan sebesar ini rasa sakit saya. Saya teringat uang ukt adik-adik saya dll, dan lagi-lagi ini salah saya dan orang lain yang harus menanggungnya.
Saya menangis tersedu-sedu di dalam dhuha saya hingga dzuhur. But, life must go on! Saya harus ngasdos lagi habis dzuhur. Habis itu ngajar sampai malam. Ga sampai situ, saya kudu nyiapin data SLG untuk besok pagi. Saya nggak bisa terlihat menangis. Damn the emotional steer! "Ayo fakhi problem focused coping. Problem focused coping. Jangan emotional focused coping." But, sadly, saya masih nangis.
Masih di hari yang sama, habis dzuhur, saya seperti biasa harus menyiapkan beberapa hal untuk ngasdos, seperti booking ruangan perpus, presensi, menghubungi dosen, menyiapkan materi dll serta harus mondar-mandir ke sana ke sini dengan muka yang alhamdulillah karena saya orangnya kulitnya nggak cerah, jadi nggak kelihatan bengkak. Padahal di dalam, saya sedang luka.
Ternyata saya belum bisa 'baik-baik saja'. Siang itu saya banyak ngeblanknya dan melakukan banyak hal clumsy dan reckless. Bukan hanya hari itu, tapi hingga detik dimana saya menulis ini saya masih suka ga fokus. Otak saya seperti menyempit dan suka melupakan hal-hal penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ngemil Makna
Nonfiksi[Rank #1-Makna] For the meaning of life differs from man to man, from day to day and from hour to hour. What matters, therefore, is not the meaning of life in general but rather the specific meaning of a person's life at a given moment. (Viktor E...