02 (ALBAR ILYAS ANGGARA)

747 98 67
                                    

02

ALBAR ILYAS ANGGARA

"Berharap tak pernah ada yang berubah. Tapi kenyataan berbeda."

#Nada POV

Mengunci diri di kamar seharian tak kenapa-kenapa kan kalau hanya untuk melepas rindu akan rumah ini. Begitu banyak kenangan di rumah, kamar, taman. Semua begitu indah sampai-sampai tak bisa melupakannya.

Satu pertanyaan yang tengah berkecamuk di benak saat ini? Setelah lulus, aku harus apa?

Masih bingung aku akan itu. Ingin sekali mengesampingkan masalah Salman yang belum memberi kabar apapun tentangnya. Tapi, tetap tidak bisa karena dia yang selalu mengesampingkan masalah aku saat ini.

Ingin sekali aku pergi ke rumah dia, jikalau dia tak ada di rumah juga tak apa. Asal bisa bertemu orangtua atau kakaknya pun sudah cukup. Tapi mana mungkin sekarang, apalagi sekarang sudah jam sebelas malam. Tak mungkin aku pergi sendiri, dan pasti jalanan Jakarta juga ada yang berubah, tak akan sama persis seperti dulu.

Hanya mondar-mandir di dalam kamar dengan menggigit sebuah ponsel milikku, habisnya bingung harus bagaimana. Mau kangen dengan rumah tapi kangen Salman selalu mengganggu. Manusia itu benar-benar bisa membuatku gila, membuatku kehabisan pikiran.

Terdengar suara ketukan pintu dari luar kamarku. Aku membuka pintu itu dan melihat Bi Anah di hadapanku.

"Ada apa, Bi?"

"Itu, Nad, disuruh turun sama Ayah Nad."

"Ngapain?" tanyaku bingung.

"Udah ya, turun aja. Bi Anah juga gak tau."

Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan pelan. Mengangguk menuruti perintah Ayahku. Bi Anah tersenyum dan turun kembali ke dapur, aku menutup pintu dan turun menuju ruang tamu. Berjalan dengan pelan dan penuh pikiran. Rasanya semakin dekat dengan ruang tamu semakin ku sesak rasanya, entah kenapa.

Badanku mulai keluar dari balik tembok, Ayah juga sudah melihat kehadiranku. Dia langsung memanggil namaku, menyuruhku duduk di sebelahnya.

Aku berjalan pelan dan menunduk. Heran! Kenapa aku jadi seperti orang pemalu dan tak berdaya seperti ini?

Aku duduk di sebelah Ayah, di sampingku ada laki-laki, entah berapa usianya, yang sekilas aku lihat, rambutnya ikal, seperti Salman yang aku lihat dalam mimpi burukku. Dan di bangku yang berhadapan langsung Ayah juga itu seperti teman Ayah, jelas terlihat dari raut wajahnya yang sudah mulai tidak muda lagi, apalagi aku melihat sedikit uban yang menghiasi kepalanya.

"Ini, Anakmu? Rud?" tanya teman Ayah.

"Iya, dia yang aku maksud itu, gimana-gimana?" balas Ayah.

"Cantik ya anakmu, kalau ini mah bukan anakku saja pasti yang mau, aku juga mau, Rud," balas teman ayah lagi, tapi kali ini sedikit menyeleneh.

"Kalau ngomong, udah tua! Inget."

Aku sepertinya sudah mengerti apa maksud dari pertemuan ini. Aku akan dijodohkan dengan dia! Laki-laki yang duduk di sebelah diriku. Hati ini dag dig dug entah kenapa. Memangnya masih jaman jodoh-jodohan seperti ini?

"Oh iya, Nad! Kenalin itu yang di sebelah kamu, dia Albar Ilyas.... Ilyas apa, Jar?" tanya Ayah pada temannya.

"Albar Ilyas Anggara."

"Nah! Coba kenalan, Nad."

Aku menengok ke samping, tepat mengarah kepadanya. Mencoba mengulurkan tangan kepadanya. "Nada," ucapku.

"Albar," ucapnya balik dengan senyum simpul yang benar-benar manis.

Wajah laki-laki itu benar-benar cerah, bahkan otak ini berpikir aku masih jauh cerah darinya.

Tapi ah sudahlah! Sudah kenal ini, mau apa lagi sekarang? Kalau sampai-sampai Ayah menyuruhku menikah dengannya, aku akan berontak lagi seperti dulu.

"Oh! Iya, Rud! Mana tanaman mu yang dari Australia itu. Mau lihat saya!"

"Di belakang! Yuk lihat." Ayah berdiri. "Nad, Ayah mau ke belakang nemenin Om Fajar, kamu temenin Albar dulu ya."

Aku menaikkan alis ini, sudah jelas tujuan mereka berdua adalah agar aku bisa berduaan dengan Albar. Yasudah! Mau diapakan lagi. Hitung-hitung hiburan untuk menghilangkan resah akan Salman.

"Mau ngapain ke sini?" kutanya dia.

"Mau nyoba melamar kamu," jawabnya dengan yakin dan menyeleneh bagiku.

Bahkan sampai-sampai aku menaikan alis ini di hadapannya.

"Yakin mau ngelamar?" kutanya dia.

"Iyalah, kenapa? Kamu mau ya?" dia tersenyum terlihat gembira.

"Nanti pacarnya gimana? Marah lagi sama gue?"

"Oh! Pacar mah tenang."

Benar-benar manusia bodoh! Padahal aku hanya meledek, tapi dia sepertinya memang dia punya pacar.

Aku pikir dia orang yang pendiam, tapi salah! Aku dapat pelajaran dari ini, bahwa jangan pernah menilai orang dari luar saja.

"Tenang kenapa?" kutanya lagi dia.

"Nanti diputusin, buat kamu."

"Gue aja belum pernah punya pacar loh, yakin mau sama gue? Gue galak loh, matre."

Dia terkekeh geli mendengar pernyataanku. Dan aku hanya bisa mengernyit dan bete dengan perlakuannya. Benar laki-laki yang gak punya hati, memutuskan pacarnya hanya karena ada yang baru.

Aku berharap banget Salman tidak begitu, walau kita ini memang tidak ada hak untuk melarang karena dia bukan pacarku.

Tapi, dia sudah menyatakannya padaku, kami sudah saling tahu dan berjanji untuk setia, jadi itu lebih bagus bukan daripada orang di sampingku ini.

"Aku lulusan Universitas di London jurusan bisnis, dan sekarang aku sama Papah aku sedang bareng-bareng berbisnis."

"Lulus apa nyogok di Universitas itu?" tanyaku bermaksud meledeknya.

"Lulus dong!"

Bagus deh kalau lulus karena usahanya. Senang masih ada yang mau berjuang karena tak mau mengecewakan orangtuanya.

"Udah malem nih, gue mau tidur." Aku berdiri dan berjalan menuju tangga untuk naik ke kamar.

"Eh!"

Aku berhenti dan menengok ke arahnya. Menautkan alis bermaksud bertanya.

"Minta nomor hape dong!"

"Minta sama Ayah gue nanti." Tanpa apa-apa lagi aku langsung berlari naik, menuju kamar dan mengunci rapat-rapat pintu kamar, kalau perlu aku akan beristigfar melihat dia. Tapi aku tetap tak boleh begitu seolah-olah aku tak pernah seperti itu.

Aku langsung terjun ke tempat tidur dan terlentang menatap langit-langit rumah, merasakan ketenangan sejenak.

GIMANA DENGAN ALBAR?

SUKA GAK? KALAU ENGGAK COMMENT YAH KASIH SARAN BIAR BAGUS.

VOTE + COMMENT JANGAN LUPA. HEHE

SEE YOU...

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang