16 (BANDARA)

516 73 69
                                    

16

BANDARA

"Saya punya hak untuk memilih"

"Man, lo yakin nih mau langsung pergi hari ini?" tanya Nada pada Salman.

Sudah siap segala-galanya. Sudah membawa koper, membeli tiket pulang dan meninggalkan gadis itu di sini. Salman sendiri juga tidak akan mau jika Nada terus-terusan membuntuti dirinya.

"Kamu di sini aja, saya ada urusan di Indonesia," ucap Salman dengan nada seperti biasa, dengan lemah lembutnya.

"Ya kan gue ke sini cuma buat lo," balas Nada.

"Siapa yang nyuruh buat dateng."

Mendengar balasan Salman, wajah Nada langsung kusut, muram, kesal dengan perkataannya yang dikit namun menyakitkan itu.

"Jam berapa emang pesawatnya?"

"Empat jam lagi."

"Masih empat jam lagi kan? sekarang baru selesai zuhur. Gimana kita keluar sebentar dulu?" pendapat Nada, dirinya sengaja agar bisa berdua dengan Salman sebelum dirinya akan ditinggal lagi oleh laki-laki itu.

Salman hanya diam sambil memainkan ponselnya tanpa menyerap sedikitpun perkataan Nada barusan. Memang sedikit menyakitkan bagi wanita mendapatkan perlakuan itu. Tapi itu juga merupakan hak Salman karena datangnya dia ke sini karena tidak ingin ada yang menganggunya sama sekali, tapi berbeda dengan keinginannya karena Nada bertekad batu untuk menyusulnya.

"Man!"

"Enggak, Nad! Takut telat!"

"Ayolah."

"Nad!"

"Man."

"Nad! Saya bener-bener gak suka ya cara kamu begini."

"Ya emang gue begini, kenapa? Gak suka?" Nada seolah tampak kesal dengan Salman, emosinya pun ikut naik.

"Lagian ngapain si, ngikutin saya sampai ke bandara?"

"Kenapa si, Man! Gak pernah ngehargain gue?" tanya Nada dengan intonasi yang gemas-gemas tapi ingin nabok pria itu.

"Kenapa juga gak ngehargain keputusan saya?" Salman menjawabnya dengan menautkan kedua alisnya. "lagian, Jery sama calon tunangan kamu itu kemana?"

"Dih, calon tunangan." Nada malas mendengar itu. "Lagian tau-tauan dia calon tunangan gue dari mana si?"

"Gak penting juga," jawab Salman dengan santai.

Dalam hati gadis itu benar-benar bergejolak ingin menjambak rambut Salman. "Ya penting lah."

"Kalau penting, ya nikahin dong," cetus Salman dengan asalnya.

"Ya gak segampang mulut lo ngomong itu kali. Dia harus dewasa dulu, sarjana, dan kerja yang tetap, punya mobil, rumah, kalau gak rumah ya apartemen lah." Nada mengucapkan itu tanpa sadar sama sekali, hanya sekelibet yang ada di pikirannya saat itu.

"B-bagus dong," ucap Salman dengan kikuk.

"Iyalah, kita harus mikirin masa depan kita gimana juga."

"Y-ya bagus! Saya jadi gak usah mikirin kamu, saya harus lupain kamu, ninggalin kamu. Iya kan?"

"Kok?" skeptis namun pasti Nada merasakan perasaan yang tidak enak padanya. "Gue salah ngomong ya?"

Seolah suasana bandara yang ramai ini menjadi hening dalam seketika. Apalagi kedua orang yang tengah duduk bersama hening dalam seketika padahal tadi asik berbicara berdua.

"Nad, saya juga punya pilihan hidup, saya bebas pilih apa yang saya suka dan apa yang saya mau, mau itu kamu atau yang lai—"

"Yang lain? Yang lain siapa?!" Dengan cepat gadis itu memotong perkataan Salman.

"Saya gak tau, mungkin nanti, besok, lusa atau tahun depan saya bisa nemuin yang terbaik dari kamu kalau kamu emang gak bisa nunjukin kalau kamu yang terbaik buat saya."

"Kok lo jadi plin plan gitu si?" tanya Nada dengan intonasi yang cepat dan emosi.

"Gak, saya biasa aja. Saya cuma kasih tau dari sekarang aja." Salman langsung mencari kontak telepon Jery untuk menyuruhnya ke sini, ke bandara.

"Halo, Man!"

"Jer, susul ke bandara tempat lo dateng, sekarang." Salman langsung memutuskan teleponnya.

"Ngapain sih lo nyuruh Jery dateng ke sini?"

"Cuma gak mau nanti, kamu sendirian pulangnya."

Mendengar seculas ucapan Salman, wajah Nada sekelibet berubah memerah, untuk meredam itu dia memilih menunduk kikuk. Jantungnya seolah diajak terbang dalam ketinggian yang benar-benar tinggi.

"Biar gak ilang, kalau ilang kan repot. Pasti Jery ngasih tau saya."

"Terus lo panik ya?" tanya Nada menahan tawa.

"Y-ya! Gak lah, saya biarin kamu ilang. S-saya kan ga nyuruh buat anterin ke bandara, jangankan ke bandara, nyusul saya ke sini juga gak saya suruh."

"Yaudah sih jangan ungkit-ungkit itu. lagipula juga gue ke sini pakai uang gue, tenaga gue. Gak sama sekali ngerugiin lo kan."

"Ngerugiin dong, kamu ganggu saya di sini."

"Yaudah, maaf. Lagi siapa yang di telepon gak diangkat?"

"Nad! Gini deh biar ngerti. Jangan terlalu berharap banget sama saya ya, saya gak akan bisa ngasih kamu rumah, apartemen, uang setiap harinya. Saya cuma hidup dalam keadaan yang gini-gini aja. Saya juga belom nentuin kamu jadi pilihan saya."

"Tapi waktu itu lo bilang kalau lo bakal keep sama gue, bakal tua sama gue."

"Tua bersama bukan berarti jadi kan?! Bisa aja itu temenan, sahabatan."

"Y-yaudah, gini deh. Satu sampai sepuluh berapa cinta lo buat gue?"

"Nol koma satu." Salman menjawab dengan cepat dan yakinnya.

Nada langsung menyipitkan mata dengan karena kesal dan langsung membuang mukanya, begitu terus sampai sekurangnya satu jam, sampai Jery datang ke bandara dan kini Salman sudah tenang karena dia akan segera berangkat.

Salman langsung berdiri, memeluk Jery. "Pulang dulu ya. Ada urusan soalnya."

"Ya santai. Gue di sini masih tiga hari lagi, gue bakal jagain Nada di sini oke," ucap Jery seperti berbisik.

"Makasih."

"Sama-sama. Hati-hati lo."

Salman langsung membawa kopernya berjalan masuk ke dalam ruang siap terbang tanpa sedikitpun berpamitan dengan Nada. Padahal dalam hati gadis itu juga ingin sekali dipeluk oleh Salman.

Tapi apa boleh buat, wanita memang harus sedikit jual mahal, walau risikonya juga sangat mahal.


Gimana?
Terima Kasih sudah setia nunggu (hehe)
Vote, comment, dan kritik serta Saranya ya.

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang