22 (FLASHBACK)

401 57 32
                                    

22

FLASHBACK

Dalam jalannya sebuah mobil dari Istanbul menuju Ataturk Aiport. Dalam sebuah mobil itu, Nada tak henti-hentinya menitikan air matanya, menangisi semua kejadian tadi. Ponsel di genggamannya sudah sedari tadi menghubungi nomor Salman, namun jawaban dari telepon itu adalah sedang sibuk.

"Nad!" di kursi depan, Jery menoleh dan memberikan air mineral.

Nada mengambil air itu namun tak langsung meminumnya. Tak nafsu untuk apa-apa sekarang. Inginnya dia adalah Salman. Tapi, di mana dia? Sedang apa? Apa dia tau tahu tentang kejadian tadi? Mana mungkin dia tahu.

"Nad! Udahlah! Sebentar lagi kita kan pulang!"

"Y-ya tapi bukan tujuan gue untuk pulang dengan keadaan begini, Jer," sahut Nada dengan napas yang seg-segan.

"Iya-iya gue tahu, tapi setidaknya lo udah aman sekarang. Nanti, kalau udah sampai Jakarta gue langsung hubungin Salman."

"Gue juga bisa kalau begitu."

"Salman tuh susah dihubungin, Nad! Percuma lo nelpon pakai nomor asli dia, gak akan diangkat, hapenya aja selalu disilent."

"Terus gue harus nelpon siapa, Jer?" tanya Nada masih dengan napas terisak.

"Kita sudah sampai di Ataturk Aiport," kata sopir taksi itu dalam bahasa Turki.

"Yuk, Nad! Turun!"

Gadis itu turun dengan wajah yang sembab karena sedari tadi tak henti-hentinya menangis. Berjalan tanpa membawa apapun selain ponsel yang berada di genggamannya. Sisanya? Jery yang membawanya sendiri.

Dari bagasi mobil, Jery terus memperhatikan Nada yang terus melaju menuju gedung bandara tanpa memperdulikan dirinya, sesekali Jery tersenyum dan menggelengkan kepala melihat gadis itu.

Ngeselin sih! Tapi, sayang, ada yang punya, kata Jery sambil memandang Nada yang berjalan dan mulai menghilang dari peredaran karena ramainya orang yang hilir-mudik di sekitaran bandara. Cuaca sangat-sangat dingin, entah akan menjadi penyebab penerbangan delay atau normal. Entah! Itu rahasia petugas bandara.

__________***********___________

Yogyakarta,

"Bu! Cepet sehat ya!" Salman mengecup kening ibunya yang sudah mulai memejamkan matanya.

Berjalan keluar menemui kedua sahabatnya yang masih menginap di rumahnya. Persahabatan mereka benar-benar sudah teruji, walau dulu sempat meredup, kini cahaya itu kembali lagi, tiga cahaya yang saling menyinari satu sama lain.

Di teras rumah yang sudah tersedia dua cangkir kopi milik Alika juga Arby dan segelas jus alpukat, yang sudah menjadi kesukaan pria tinggi, putih itu, rambutnya berantakan seperti tak terurus, sibuk oleh hal yang lebih penting dibanding kesegaran rambutnya.

Niatnya mereka bertiga ingin ke Alun-alun. Namun apa daya, Salman memutuskan untuk tidak jadi karena tidak bisa meninggalkan Ibunya.

"Maaf ya! Gara-gara gue! Gak jadi ke Alun-alun."

Alika menyembulkan pipinya menahan gelak tawa yang akan keluar, dibalas dengan wajah bingung Salman dengan alis yang menaik sebelah.

"Tenang aja! Gapapa! Yang penting kita bisa kumpul aja, itu udah cukup!" Arby mengatakan itu sambil menyesap kopinya yang sudah mulai tak panas lagi.

"Gue jadi inget masa dulu, masa SMA! Gue, elo, elo," ucap Alika sambil menatap awan gelap yang hanya ada sekitaran empat bintang. "Waktu itu, kita ke mal, makan, belanja, habis itu nonton film! Kadang kita pergi ke sekolah naik sepeda, kadang cuma Salman yang naik sepeda." Salman dan Arby ikut menyimak sambil mendangak melihat langit yang dihiasi empat bintang itu.

"Terus setiap ulangan kita tuh selalu dapet nilai bagus di setiap bidang yang kita kuasai, tapi tetep aja Arby yang selalu peringkat satu. Terus, dari Nada yang suka Salman, Salman yang suka sama Ashilla, Mita yang suka Salman, terus, Arby suka sama Nada. Terlalu ramai yang suka sama Salman, bahkan Bunga sempat berantem sama Nada gara-gara Salman, Nada berantem sama Mita gara-gara mereka berdua suka sama Salman. Terlalu rumit, makannya gue gak mau suka sama kalian berdua. Kalian berdua aja musuhan, terus baru akur lagi sekarang, kira-kira empat atau hampir lima tahun, gue, Salman, lost contact sama lo, By."

Desiran angin sepoy-sepoy yang sangat mendukung untuk Alika melanjutkan ceritanya. Sedangkan Salman dan Arby masih menyimak tanpa mau memotong semua cerita tentang mereka yang didalangi Alika.

"Terus kita ke pulau seribu, posisi itu, gue lagi kesel sama Salman. Dan di malam itu, Nada sama Salman jadian, terus... besok, besoknya lagi." Alika meneguk ludah, rongga tenggorokannya seolah sudah kekurangan cairan, suaranya menjadi serak basah, jadi sendu, seolah ingin menangis. "Ashilla, dia dateng! Tiba-tiba banget! Hingga lo, Man, lebih milih Ashilla. Cewek yang udah ninggalin lo kurang lebih tiga tahun. Gue taunya lo suka Ashilla pas kelas satu SMP. Hingga akhirnya, lo ngasingin Nada seolah-olah lo gak pernah ngelakuin apapun ke anak itu, lo cuma fokus sama Ashilla."

"Al! Udah jangan dilanjut," potong Salman.

Alika langsung berpaling dan melihat sosok Salman, matanya mulai meneteskan air mata. Bukan, bukan dari mata Alika, melainkan Salman. Pria itu meneteskan air matanya untuk sebuah cerita yang dipersembahkan oleh Alika untuknya dan dari dirinya.

"Jangan bawa-bawa Ashilla, dia udah tenang di sana. kedatangannya waktu itu juga ngebuat gue sadar tentang penyakitnya," kata Salman, tanpa mengusap air matanya yang sudah sampai ke ujung bibir.

Arby hanya menyimak, walau di dalam cerita tadi, ada sosoknya yang sempat membenci Salman, memusuhinya selama hampir empat tahunan, hingga akhirnya kini dia dapat mengikhlaskannya.

"G-gue... sekarang cuma mau fokus sama, Ibu dan karya gue aja."

"Dan, Nada. Lo harus fokus sama dia. Man! Udah tujuh tahunan dia masih memperjuangkan lo. Dia perempuan, Man, gue juga. Gue tau gimana rasanya perjuangan yang gak dihargai sama sekali," sambung Alika dengan sendu dan berpura-pura tersenyum.

"Entah kenapa! Masa SMA kita dulu seseru itu! Dan sebenci-bencinya gue sama lo, Man! Gue masih nyimpen foto kita. Karena gue gak yakin bisa lupain lo." Arby mengeluarkan dompet dari saku celana belakangnya, mengambil foto yang diselipkan. "Foto ini diambil sebelum gue tau kalau lo nembak Nada. Gue juga di Malang sana berjuang buat ngedapetin perempuan yang sifatnya kayak lo, Man! Seolah, gue sekarang adalah, Nada!"

"Intinya, gue udah ngelepas Nada buat lo. Dan tolong, jalanin lagi hubungan deket lo sama dia seperti pas lo kuliah," lanjut Arby.

Salman mengangguk dan tersenyum samar. "Gue coba ya!"

Arby dan Alika membalas dengan anggukan yang berbarengan dengan tatapan percaya pada Salman.

"Omong-omong, gue besok pulang, ya," kata Arby seolah dirinya ingin berganti topik.

"Yah! Cepet banget, perasaan baru tadi sore lo nyampe," kata Salman seperti tak terima harus berpisah lagi dengan Arby.

Keadaan memang begitu, apapun yang membuat kita nyaman, pasti akan cepat perginya. Dan apapun yang tidak mengenakan akan terasa lama untuk pergi. Begitupun dengan mereka bertiga. Tidak. Tepatnya Salman yang harus menikmati hari bersama sahabat-sahabatnya, karena, Arby besok akan kembali ke Malang, dan Alika dua hari lagi akan pulang ke Jakarta. Kembali ke aktifitas mereka masing-masing, belajar, berjuang, bekerja dan apapun untuk mengisi luang waktu yang diberi dunia.

Perbincangan mereka tadi memang sudah lepas, seperti mereka remaja, bahasanya, tutur katanya, nadanya. Persis seperti mereka SMA. Atmosfer dengan sahabat memang tak bisa dibohongi, terasa. Sangat terasa.

Makasih udah nungguin
Gimana nih ceritanya?
Vote, comment, kritik sama saran juga ya. Haha

Ditunggu next partnya ya

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang