26 (KENYATAAN YANG TERNODA)

433 56 54
                                    

26

KENYATAAN YANG TERNODA

"Mungkin dengan begitu saya sadar."

Jakarta entah mengapa sekarang-sekarang ini menjadi sering hujan, padahal bukan sedang schedule langit untuk menangis di Jakarta. Hujan membawa rindu yang tak kunjung bertemu. Bukan itu saja, hujan juga mengembalikan harapan seseorang yang sudah menua, yang tak ingin lagi diingat.

Masih ada waktu esok bagi dirinya di Jakarta, karena mulai lusa, dia harus sudah benar-benar tidak di sana, tidak akan bisa sesering ini pergi menuju Ibu Kota sesukanya. Hujan memang tidak deras, namun tetap saja basah setiap menembusnya. Bertepatan dengan pergantian siang dan malam, langit merubah warnanya menjadi merekah. Indah dan nikmat dipandang.

Kos-kosan yang hanya dua petak, satu ruang tamu, satunya lagi dapur dan kamar mandi. Tempat tinggal yang Salman tinggali saat ini adalah milik temannya, tepatnya milik teman dari teman kampusnya dulu.

Sepi, namun sejuk. Laptop menyala namun tak ada yang menari di atasnya. Seolah imajinasi liarnya hilang oleh kejadian semalam. masih teringat jelas perkataan gadisnya. Seolah sebuah balasan dari perlakuannya selama ini.

Dia sudah dewasa sekarang, sudah bijak menjawab seperti itu. Namun semalam, dia menjawab dengan perasaan yang rancu. Hatinya tidak tulus mengatakan seperti itu. Begitulah pemikiran Salman.

Terlentang di kasur dengan laptop yang masih di atas perutnya. Kepala mendangak entah apa yang dilihat. Tak ada musik, hanya ada suara rintikkan air hujan yang jatuh. Merenung sedemikian rupanya sekaligus berusaha berpikir jernih yang saat ini hanya dirinya bisa lakukan.

Azan magrib membangunkan lamunannya. Kembali ke posisi duduk dan mematikan layar laptop, menghela napas. Benar-benar seharian tak ada yang dirinya lakukan selain tiduran dan menghayal, itupun bukan tentang ide-ide tulisannya.

Tak lama pria itu langsung sigap berdiri, mengambil air wudhu tuk melaksanakan kewajibannya.

Usai melaksanakan kewajibannya itu, dirinya berjalan keluar kos menuju balkon dan memandang indahnya warna merekah yang langit berikan. Lalu, terbesit dalam ingatannya bayangan gadis itu yang dulu, di mana pertama kalinya mereka bertemu, tentang surat yang dirinya berikan saat dia sedang gugup untuk lomba puisi itu. Sudah lama, memang. Namun sangat kuat dikenang.

"Entah saya yang salah atau memang dia yang mengalah," desus Salman sambil menunduk menatap jalanan di bawah.

Mengambil napas, lalu berbalik mengambil kunci motor dan jaket. Berjalan mengemudi keluar dari kos, menuju rumah gadisnya. Seolah dirinya merasa terpanggil untuk datang ke rumahnya dan meminta jawabannya sekali lagi.

Melaju dengan kecepatan yang sedang, melaju menembus rintikkan hujan yang makin ke sini semakin deras dengan megenakan jas hujan.

"Saya mohon! Nad! Maafkan saya, dan beri saya kepuasan dalam jawabanmu," desusnya lagi sambil fokus menyetir.

Membelah jalan yang macet juga licin bukan halangan baginya, masih ada waktu yang bisa dikejar. Jika hari ini selesai, maka besok dirinya akan segera kembali pulang. Dan apapun jawabannya, memuaskan ataupun tidak, mulai besok mereka lagi-lagi harus berjarak. Dan sepertinya mereka sudah terlatih untuk itu.

Kisaran kurang-lebih 30 menit, motor itu sampai di depan gerbang rumah Nada, mematikan mesin lalu turun dan berlari masuk ke teras.

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang