25 (DELAPAN TAHUN YANG SIA-SIA)

435 60 54
                                    

25

DELAPAN TAHUN YANG SIA-SIA

"Mungkin harus ada yang mengalah untuk benar-benar merasa bersalah."

Matahari yang mulai meredup memilih turun dari peredaran menyisakan rona merah merekah yang indah dipandang setiap mata yang melihatnya. Sungguh indah memang segala ciptaan Tuhan itu.

Lelah rasanya ingin segera tidur dan inginnya untuk bangun itu esok hari. Perjalanan selama kurang lebih dua minggu itu menjadi titik lelah dan sabar. Menjadi tolak uji baginya, bagaimana menghadapi semua dengan sadar bukan sekedar sabar. Harusnya semua selesai. Inginnya dia begitu. Tapi dunia punya caranya sendiri untuk menggagalkan harapan seseorang.

Banyak yang kecewa di dunia ini, banyak yang patah, banyak yang lemah, banyak pula yang hancur, banyak yang memilih selesai, banyak yang terpaksa melanjutkan, banyak juga yang berpikir memang harus dilanjutkan. Nada berada di lingkaran tersebut. Ingin selesai namun susah, rasanya seperti terpaksa namun lebih tepat seperti takluk, sudah kepalang tanggung baginya untuk selesai. Delapan tahun juga bukan waktu yang sementara. Setiap ingin selesai yang diingatnya adalah delapan tahun itu, jika selesai? Sia-sia juga hanya sisa-sisa yang dia dapat dari hasil perjuangannya.

"Nad! Kamu sudah tidur?" sorak suara itu terdengar dari balik pintu.

Gadis yang masih mengenakan pakaian dinginnya itu masih terdiam di kasur menatap langit-langit kamarnya. Tanpa menjawab seruan Ibunya barusan.

Beberapa detikpun tak ada lagi yang memanggil. Kosong kembali, hampa lagi menyisakan keheningan yang amat dalam.

Semua memang punya ceritanya masing-masing. Memang Tuhan yang merancang skenario hidup ini, tetapi kita yang memerankan tokohnya, kita bebas melakukan improvisasi jika keadaan memang mendesak. Boleh keluar dari jalur. Asal itu benar, kenapa tidak?!

Berdiam diri di kasur dan tidak melakukan apa-apa sebenarnya bukan tanpa maksud darinya. Karena sebenarnya dua hal yang membuat dunianya seolah terbelah. Pertama, jelas. Yaitu, Salman. Kedua, Arya, laki-laki itu benar-benar membuat hidupnya menjadi penyeimbang antara masalah dan solusi baginya. Seolah luka-luka dirinya terobati dengan orang yang belum lama dia kenalnya itu. Apalagi sepulang Arya mengantarnya sampai ke rumah tadi, dia sangat wibawa saat berbicara dengan Ayahnya walau hanya sekedar basa-basi.

Nada sudah menceritakan semuanya pada Ayah juga Ibunya perihal kasusnya waktu itu, di mana dirinya hampir tak ada harga dirinya lagi. Namun tindakkan Ayah Nada hanya sekedar menelepon dan mengingatkan Albar, apa cukup orang seperti itu hanya sekedar diberi peringatan?

"Nad!" kembali lagi seruan itu menyerbu telinga Nada.

"Kenapa?" sahut Nada sambil melepas magnet yang menempel pada dirinya dengan berjalan dan membuka pintu.

Dibuka pintu itu dan dilihatnya Naya yang kini di hadapannya. "Gue capek, Nay! Pengen tidur yang lama. Kalau bisa sebulan," rengek Nada dengan kesalnya.

"Gak sekalian sampai lebaran?" cetus Naya balik.

Nada hanya mengernyit tak sudi perkataannya di balas begitu.

"Ada yang cariin tuh!"

"Siapa?"

"Temuin aja sana. Dia di luar, di teras, gak berani masuk katanya."

"Hah!" gadis itu kaget, alisnya sedikit menaut bingung."Siapa?"

Naya hanya tersenyum simpul, sengaja membuat sepupunya itu penasaran luar dalam.

"Udah temuin aja sana. Gue mau ke kamar dulu, besok gue kerja." Naya berbalik dan berjalan masuk menuju kamarnya, meninggalkan Nada sendiri dengan rasa sebal serta penasarannya itu.

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang