27 (YANG JATUH YANG IKHLAS)

331 45 39
                                    

27

YANG JATUH YANG IKHLAS

"Jika pulang adalah obat terbaik untuk hati. Maka bergegaslah pergi. Jangan ragu."

Dalam bus yang sumpek dengan banyaknya jumlah penumpang di malam hari ini menuju rute yang sama, yaitu Jogja. Kali ini kereta bukan pilihan transportasinya untuk pulang. Karena, kereta yang telah membawanya pada kondisi sekarang ini.

Kekecewaan kali ini benar-benar harus dirinya terima dengan matang. Dengan kepala yang benar-benar dingin dan sikap yang benar-benar harus dewasa.

Hatinya ingin pergi. Benar-benar pergi jauh dan tak ingin kembali lagi. Bahkan untuk saat ini, baginya menoleh lagi ke belakangpun dia ragu. Mungkin tugasnya di Jakarta selesai. Tidak ada yang harus dia harapkan lagi. Hanya kini dirinya harus membangun semangat lagi untuk masa depannya.

Andai kertas yang sobek bisa menyatu lagi, andai tali yang putus bisa kembali menyambung seperti semula lagi tanpa jahitan. Andai, andai, andai, dan andai.

Duduk di kursi dekat jendela dengan kepala yang tersandar sambil membayangkan dirinya esok harus apa dan bagaimana. Inginnya memang terus bersama dengan Arby dan Alika di saat-saat begini. Namun, bisa apa dia selain berharap, karena memang mereka berdua tidak akan sesering dulu untuk bersama. Tepatnya sesering empat tahun yang lalu.

Mengambil ponselnya dan menggerakkan jari mencari nama Arby. Setelah ketemu nama itu di kontak ponselnya. Langsung menekan ikon hijau untuk berbicara dengan orang dia.

"Halo, Man!"

"By, Halo!" sapa baliknya dengan nada sendu, serak dan tak semangat.

"Kenapa, Man?" tanya Arby.

"Kabar, gimana?"

"Baik, Alhamdulillah. Kenapa, Man?"

"Lagi apa?"

"Makan. Man! Kenapa? Serius nih?"

"By! Apa penyebab suatu hubungan memang harus berakhir?" tanya Salman dengan pandangan kosong menatap jalan tol yang ramai lancar.

"Man? Lo kenapa? Ada masalah apa?" tanya Arby, terlihat khawatir dari suaranya.

"Jawab, By!"

"Man! Kalau memang ada masalah sama Nada. Selesaikan dulu baik-baik. Jangan pakai emosi, gue gak mau lo nyesel nantinya. Lebih dari enam tahun, Man. Lo sama dia kenal, deket banget kan. Cari tahu dulu kebenarannya."

"By! Gue nanya penyebab suatu hubungan itu harus berakhir dulu."

"Man! Percaya sama gue. Hubungan gak akan berakhir kalau ada yang mengalah. Salah satu dari kalian berdua harus ada yang mengalah. Kalau Nada gak mau ngalah, ya seharusnya lo yang ngalah. Man!"

"Gue sudah ngalah, By! Dan gue sama dia memang harus selesai."

"Man! Gue sudah ngalah buat lo. Masa lo mau lepasin dia?" tanya Arby sedikit kesal.

"Tapi memang gak harus dilanjut, kita bisa jadi temen. Mungkin gue bakal bisa cari yang lebih baik lagi."

"Lebih baik? Man? Heh! Kurang baik apa Nada sebegitu sabarnya nungguin lo. Nyari-nyari lo sampai ke Turki sana?"

"Kalau memang bukan jodoh ya mau gimana. Udah ya, By! Makasih sarannya. Gak enak, sudah malam soalnya. Gue lagi di bus mau pulang ke Jogja."

Tut... Tut...

Menekan tombol merah lalu mendangak menatap langit-langit bus, dan menghela napas panjang.

Dan saat itu juga pria dengan rambut kusut itu teringat sosok Ibunya yang dia tinggal di Jogja sana dan hanya ditemani oleh tetangga yang dirinya minta tolong untuk menjaga Ibunya.

Hatinya gelisah, dirinya ingin segera sampai untuk pulang dan bertemu Ibunya. Lagi-lagi rela meninggalkan Ibu hanya untuk sebuah penyesalan. Dan mungkin itu adalah balasan bagi dirinya.

Susah untuk dijelaskan, rumit juga untuk diselesaikan.

Mungkin, hari ini, juga lusa. Salman memang benar-benar harus siap menerima kenyataan lagi tentang apapun yang menimpa dirinya.

Ponselnya bergetar. Dan dilihatnya sebuah panggilan dari Nada. Entah ekspresi apa yang harus Salman tampilkan saat melihat itu. senang, sedih, atau marah.

Ditekan ikon hijau untuk mengangkat telepon itu.

"Man!"

"Ya?"

Terdengar suara isak tangis dari ponsel itu. "M-makasih buat selama ini, Man! Makasih banyak buat semuanya. Gue pikir, dulu gue bakal bisa sama-sama lo terus. Tapi, ternyata gak gitu, Man. Kita memang gak bisa buat bareng-bareng lagi." Lagi-lagi isak tangis terus-terusan terdengar dari speaker ponselnya. "Man! Tolong, lupain gue, kalau gak bisa, ingat saja kita sebagai orang yang pernah bahagia karena ego masing-masing. Dan semakin kita dewasa rasanya kita semakin harus bijak untuk memilih. Dan gue milih buat lepas dari lo. Gue harap pilihan lo juga sama ya. Man! Herşey için teşekkürler! Love you."

Tak sadar. Air mata pria itu menetes, membelah pipinya yang halus. Hatinya yang tulus mencintai harus dibalas dengan irisan yang amat perih dirasanya. Mungkin, esok, lusa, hanya rindu yang akan dia rasakan.

Dan pada akhirnya. Dari semua ini kita sadar bahwa selama apapun kita bersamanya, jika memang bukan untuk kita maka benar kita tidak akan bisa mendapatkannya. Seberusaha keras apapun kita.

"Man! Halo?"

"Ya!" Kali ini isak tangis bersuara dari pria itu. Tak kuasa menahan perihnya sakit yang dunia berikan kepadanya.

"Lo gak kenapa-kenapa, kan?" tanya gadis itu.

"G-gak, gak kenapa-kenapa." Salman langsung menyeka air matanya yang terus mengalir deras jatuh melintasi pipi bahkan melewati tepi bibirnya.

"Salam buat, Ibu juga Ka Dini. Bilangin, maaf untuk semuanya, ya."

"I-iya! P-pasti."

Tut... Tut...

Tak kuasa menahan perih di lubuk hatinya. Akhirnya Salman menekan ikon merah dan memutuskan sambungan telepon itu.

"Saya kuat, saya pasti bisa, saya bisa ya Allah," kata Salman dengan pelan dan seraknya di dalam bus yang sedang berjalan. Tangannya terus mencengkram kursi, ingin teriak namun dia harus bisa menahannya karena situasi yang tidak memungkinkan.

Menangis terus saja dirinya di dalam bus. Karena memang tak ada lagi yang dirinya bisa lakukan selain menangis. Mungkin sudah skenario hidupnya dia harus berperan begini. Jika boleh menolak, mungkin sudah dari kemarin dia melanggar untuk melewati alur hidupnya.

Saya kuat ya Allah, saya pasti bisa... pukulan keras tepat mengenai sepasang paha kakinya, terus saja dia memukuli tubuhnya sendiri karena hal ini.

Seolah dunia ini sedang membenci dirinya, hidupnya belakangan ini benar-benar terpuruk dalam banyak masalah.

Namun dari semua ini, tidak ada yang harus disalahkan. Ini memang sudah takdirnya dua insan itu harus menyelesaikan hubungannya namun harus tetap melanjutkan hidup untuk masa depannya.

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI

MAAF TELAT YA, hehe..

HIATUSNYA SUDAH SELESAI.

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang