28 (SIAPA YANG MENANG SEKARANG?)

355 52 42
                                    

28

SIAPA YANG MENANG SEKARANG?

"Bu! Saya minta maaf, saya masih belum bisa sepenuhnya jaga, Ibu." Pria itu mencium lengan sang Ibu yang terbaring sangat lemas di kasurnya itu. "Tapi sekarang saya janji, bakal terus berusaha agar Ibu bisa sembuh." Kata Salman dengan tenang namun matanya tak kuasa ingin menangis.

Kegagalan Operasi yang membuat Pasiennya meninggalah yang membuat Ibu Salman seperti ini, karena sang keluarga almarhum menuntut keras untuk mempenjarakannya. Hingga perjalanannya pulang dari tugas rumah sakit itupun dirinya terus kepikiran akan hal itu dan membuat konsentrasinya saat mengemudi hilang. Dan mobil itu hampir tertabrak mobil lain dan membanting stir hingga menabrak pohon. Kepala Ibunya terbentur stir mobil dengan keras hingga timbul efek trauma yang sampai saat ini Ibunya terima.

Rumah yang kini hanya ditinggalinya berdua, sepi rasanya, tak seperti dulu, kala di Jakarta. Dengan begini membuatnya tersadar akan teori bahwa semakin dewasa semakin banyak yang hilang ataupun pergi darinya.

Dirinya kembali ke kamar, dan langsung merebahkan dirinya di planet empuk itu. seperti biasa, dirinya memandang langit kamarnya. Bingung, kesal, marah, kecewa, semuanya menyatu menyerbu sanubarinya. Dirinya lelah diperlakukan begitu.

Mengambil ponsel miliknya mencari sebuah nama dan memanggilnya.

"Halo! Man?!"

"Kak!"

"Kenapa?"

"Gimana ya?" Salman bingung.

"Man! Serius ih! Ada apa? Ibu kenapa?" tanya Dini sedikit panik.

"Gue... udah selesai sama Nada."

Hening sesaat.

"Man! Kenapa begitu?" tanya Dini.

"Gue gak bisa, Din! Dia mau nikah."

"Sama lo?"

"Sama, teman."

"K-kok? Bisa?" Dini mulai bingung. Terdengar jelas dari ucapannya.

"Ya bisa lah."

"Terus sekarang rencana lo apa?"

"Kerja! Gue mau mulai cari kerja."

"Ibu?!" tanya Dini. Kalau tentang ini tidak akan ada yang melupakannya.

"Nanti gue cari orang buat bantu ngurus Ibu."

"Man!"

"Iya?"

"G-gue! Ke sana ya, biar gue bantu ngurus Ibu, kan sekarang gue sudah gak kerja."

"Jangan, Din! Suami lo gimana nanti?"

"Sementara aja, lagi juga bulan depan dia juga ada dinas ke luar kota!"

"Makasih ya! Nanti gue yang bilang ke suami lo," ucap Salman lalu tersenyum simpul sehabis mengatakan itu. beruntungnya dia masih memiliki keluarga yang peduli dengan kondisinya saat ini.

"K-kok lo yang bilang?! Gue lah. Kan gue istrinya!"

"Y-ya maksud gue kalau gak boleh sama suami lo, biar gue yang bilang."

"Oke! Oh iya, Man! Jadi sekarang sudah beneran gak sama Nada lagi?!" kembali ke topik inti, karena rasa penasaran di relung jiwanya sudah di ujung rasa.

"Paling, besok atau lusa atau, minggu depan, bulan depan, gue dapet undangannya." Mengatakan itu dengan wajah datar nan tidak teima dengan kenyataan ini, andai saja Dini dapat melihat ekspresi Salman saat mengatakan hal itu.

"Ya ampun! Adek gue kasihan banget!"

"Din! Ayolah!" Salman sedang tidak ingin diledek.

"Emangnya bisa lupain dia?" tanya Dini lagi namun tetap ada unsur-unsur meledek.

"Gak akan bisa. Batas gue masih peduli sama dia hanya sampai jika mereka berdua melakukan malam pertama. Di situ gue akan mulai pergi."

"Man!"

"Iya?"

"Lo gak kenapa-kenapa kan?"

"G-gapapa?! I-iya gapapa!"

Intonasi suara yang Salman keluarkan seketika berubah, sedikit parau, seperti menahan suaranya.

"Man! Gak ada yang gak sedih Man kalau dalam kondisi begini! Gue ngerasain, sebenarnya lo itu sedih kan? Maaf ya, gue gak bisa di deket lo pas lagi kondisi begini."

"Gak kenapa-kenapa! Gue ngerti kok! Begini aja gue sudah tenang teleponan sama lo. Makasih ya!"

"You are the best."

"You too."

"Pokoknya nanti gue kabarin lagi ya buat nginap di rumah."

"Yaudah, gak maksa ya."

"Haha. Tenang aja!"

Seusai Salman memutuskan panggilan itu, dirinya langsung bernapas lega dengan semua yang terucapkan barusan, namun tetap saja tidak ada bahagia untuknya, masih menyesal di dalam dirinya karena harus berpisah dengan gadisnya itu.

Andai dia tahu bahwa berpisah bukanlah keinginannya, andai dia tahu tidak lagi bersama itu bukan begitu maksudnya, andai dia tahu saat itu Salman begitu hanya karena dirinya cemburu namun tak bisa mengontrolnya hingga berakhir begitu.

Andai semua di posisi Salman pun apa yang kalian lakukan?!

Mungkin pisah bukanlah selalu hal yang terbaik, namun suatu kesalahan jika alasan pisah itu hanya karena cemburu. Mungkin Nada juga kesal namun Salman lebih dari itu. mungkin Salman tidak pernah memikirkan tentang perjuangan gadisnya dulu. Perjuangan untuk memenangkan hati Salman. Mungkin Salman lupa dengan itu.

Dulu mereka mampu bersama-sama walau terbelenggu oleh jarak. Namun, setelah kejadian Ibunya, pola pikir pria itu berubah, dirinya tidak memperdulikan lagi mimpinya, tetap fokus pada Ibunya dan pada Gadisnya bukanlah hal yang mudah. Berkelana ke negara impiannya juga dengan uang tabungannya, merelakan jauh dari Ibunya dengan bekerja di sana sambil mencari inspirasinya.

Kini dia sudah merelakan mimpinya untuk menjelajah Turki dan merelakan dirinya tak lagi untuk mencintai gadisnya. Dan itu hanya karena Ibunya. Tidak memiliki seorang Ayah sudah menjadi kesedihan terdalam baginya, dulu, dan jangan sampai kini kesedihan itu timbul lagi di dalam dirinya.

Harusnya kita sadar kalau perkara hilang itu karena kita melupakan.

Tapi, kita tidak sadar.






Gimana Gimana?
Sorry lama update.
Vote, comment, kritik & saran jangan lupa he he he

PAMIT (SEKUEL HE IS SALMAN) [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang