Chapter 9

500 24 8
                                    

Sejak mendengar semua cerita papa tentang kedua orang tuaku, aku selalu berusaha untuk mengingat kejadian buruk itu. Aku yakin bahwa aku pasti tahu sesuatu dan melihatnya, tidak mungkin aku langsung berinisiatif berada dikolong ranjang tempat tidur tanpa sebab. Tapi aku selalu gagal mengingatnya, mungkin pengaruh karena otakku sudah tua jadi daya ingatnya mulai menurun.

"Heii... kenapa melamun disiang bolong gini sayang?" Tanya Vano mengagetkanku.

"Aahh kamu ngagetin aja. Fokus nyetir sana nanti nabrak." Seruku.

"Bahkan mobilnya sudah parkir pun kamu masih belum sadar? Apa yang sedang mengganggu pikiranmu? Ayo ceritakan padaku." Pintanya.

"Tidak ada, ayo kita turun. Katanya mau makan siang." Ajakku. Tapi Vano menahan tanganku.

"Jangan berbohong, katakan yang sejujurnya sayang. Aku mengenalmu, kamu tidak bisa menyembunyikan sesuatu dariku. Itu terlihat jelas dari matamu." Jelasnya. Aku memandang Vano dengan lekat. "Mau berbagi cerita dengan calon suamimu?" Tanyanya kembali.

Akupun tersenyum. "Kamu memang tidak bisa membiarkan aku berbohong." Ujarku. Akupun menceritakan semua hal yang sedang mengganggu pikiranku, disela aku bercerita aku menitikkan airmataku. Siapa yang tidak akan menangis jika tahu orang tuanya meninggal dengan cara seperti itu. Aku juga manusia, hatiku tidak terbuat dari baja sehingga akan kuat. Melihatku yang menangis, Vano menarikku kedalam pelukannya, mengusap lembut rambutku. Vano berusaha menenangkanku.

"Aku mengerti perasaanmu, kamu harus sabar. Aku berjanji padamu, kita akan mencari siapa yang telah melakukan hal itu padamu dan keluargamu dan kita akan menghukumnya." Ujar Vano. Aku mengganggukkan kepalaku yang masih bersandar di dada bidang miliknya.

"Heii.. lihat! Apa ini sayang? Air mata ini, aku tidak suka melihat bidadariku menangis, itu menyakitiku." Vano menghapus air mataku dengan jemarinya. "ayo tersenyumlah sayang. Percayalah semuanya akan baik-baik saja."

"Baiklah karena kamu yang memintanya, aku akan berhenti menangis. tapi berikan aku bajumu." Pintaku dan sukses membuat Vano bingung.

"Bajuku? Apa yang ingin kamu lakukan dengan bajuku?" Tanyanya kebingungan.

"Aku ingin mengelap ingusku, karena menangis ingusnya jadi meleler." Jelasku.

"Apaa? Kamu serius?" Tanya Vano kaget. Aku mengganggukkan kepalaku. "Karena aku sangat mencintaimu, maka baiklah ayo lap ingusmu dengan kemejaku." Ucapnya tersenyum sambil mendekatkan dirinya padaku. Aku tersenyum geli.

"Tidak sayang. Aku hanya bercanda. Berikan saja aku tisu, aku akan mengelapnya dengan tisu." Pintaku.

"Kamu yakin mau tisu? Gak mau baju aku? Beneran? Ntar nyesal loh kehilangan kesempatan deket-deket sama aku." Ledek Vano.

"Vanoo!!" Aku memukul lengannya. Vano tertawa dan kemudian memberikan sapu tangannya padaku. Aku bisa melihat dengan jelas bahwa kemeja maroon yang ia kenakan sudah sedikit basah dibagian dadanya. Pastilah itu karena air mataku.

"Gimana? Udah legaan?" Tanyanya kemudian. Aku tersenyum memandangnya. "Ayo kita turun, aku lapar sekali." Rengeknya manja. Kamipun turun dari mobilnya dan menuju kesebuah restoran disana. Setelah mendapatkan tempat duduk yang terletak di lantai atas, pelayan restorannya pun segera menghampiri kami dan memberikan pilihan menu yang ada disana.

"Mau makan apa?" Tanya Vano padaku.

"Samakan saja dengan yang kamu pesan." Jawabku.

"Yakin mau disamain? Kalo gak suka gimana?" Tanyanya kembali.

"Aku mau belajar menyukai apa yang calon suamiku makan." Jawabku tersenyum padanya tanpa melihat daftar menu.

"Jadi gak sabar nunggu sebulan lagi, jadi pengen kita nikahnya besok." Bisik Vano padaku, aku tersenyum malu padanya. Vanopun menyebutkan menu Pullman cold cut combination, double boiled chicken soup, fried crispy broccoli, dan roasted duck Hongkong style with hoisin and plum sauce.

Cintailah Aku...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang