7. Mari berteman

348 39 0
                                    

Hari Minggu pagi adalah hari khusus untuk Allun. Bukan untuk bermalas-malasan atau bergelung di bawah selimut yang hangat melainkan berolahraga pagi ditemani tiga pangerannya. Walau Elang dan Raja masih tidak saling bertegur sapa tapi setidaknya mereka masih terlibat perbincangan berkat Bima yang selalu mengeluh dengan keheningan keduanya.

"Abam Da sama Mas Lan beltengkal, Nda?" Tanya Bima untuk keempat kalinya.

Allun yang sedang membersihkan sisa sarapan Bima hanya tersenyum menanggapinya, "Nggak kok. Cuma aja Bang Raja lagi sariawan, makannya dia ngomongnya cuma sedikit. Bima mau ke sana? Biasanya habis sarapan kan Bima minta main," Allun sengaja mengalihkan perhatian Bima pada arena bermain yang ada.

Raja sendiri memilih berlalu daripada harus terjebak suasana canggung dengan Elang, walau dia adalah saudara kembarnya.

"Kak, aku tunggu di warung bubur Mas Hasan, ya? Minta duit!" Elang menengadahkan tangannya pada Allun dan langsung tersenyum riang ketika kakaknya itu memberikan uang yang lebih dari cukup untuk membeli bubur ayam.

Melihat Elang sudah menjauh, Allun menggandeng tangan gempal Bima dengan kuat. Takut kejadian saat itu terulang lagi ketika ia lengah mengawasi Bima.

Mereka sudah sampai di arena bermain, Bima terlihat antusias menaiki rumah-rumahan. Anak itu memang susah untuk berbaur, tapi cukup mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan anak kecil lainnya yang beberapa adalah tetangga dalam satu kompleks. Jadi sering ia jumpai sehingga membuatnya tidak menjaga jarak. Mengamati Bima yang asyik bermain,  Allun memilih duduk tidak terlalu jauh dari jarak pandangannya pada Bima dan sesekali memainkan ponselnya.

"Ayah! Ayah, Nda! Ayahhhh!"

Gerakan refleks Allun yang mendengar lengkingan suara Bima segera berlari dengan raut paniknya tanpa mendengar dengan seksama apa yang Bima katakan tadi.

"Bim kenapa? Jatoh? Kenapa tiba-tiba ada di ayunan sih? Kan Nda udah bilang, kalau mau ke ayunan panggil aja. Kenapa main sendiri sih nanti-"

"Tadi aku yang bantu dia," potong seseorang yang sejak tadi berdiri di belakang Bima.

Allun spontan mendongak saat mengenali suara familiar itu dan dugaannya benar. Awan ada di sini! Belum sempat Allun menyapa Awan, dari arah pintu masuk taman arena terlihat barisan tujuh orang anak kecil menghampirinya dengan riang membuatnya makin tak percaya dengan situasi saat ini.

"MAMI SENJAAAA!!!"

Kalau kata Dimas, barisan playgroup datang!





•°•°•°•°•°•°•







Situasi memalukan yang dibayangkan Allun ternyata salah besar. Ia kira, dengan kehadiran tujuh anak kecil berusia dibawah sepuluh tahun dan satu anak berumur dua belas tahun adalah hal menegangkan jika saja orang yang kini tertawa bersama anak-anak itu adalah Dimas. Namun lain halnya jika ia adalah Awan.

Seorang laki-laki yang ramah dan hangat pada anak kecil, Allun sempat memimpikan jika saja Dimas bisa bersikap manis seperti Awan terhadap adik-adik kecilnya, tapi itu hanya sebuah khayalan. Takdir telah menggantikannya dengan Awan yang sudah menebar leluconnya pada anak-anak itu.

"Jadi? Siapa yang mau jadi perwakilan komandan untuk menyebutkan nama anggotanya beserta umur?"

Allun tertawa ketika para adiknya berebut untuk menunjuk Delvin, bocah berusia 9 tahun yang kini duduk di kelas tiga SD. Selalu seperti ini, karena Delvinlah yang paling dewasa di antara mereka, walau masih ada kakak mereka yang sudah berada di bangku kelas enam SD.

Di ujung Senja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang