Sekarang bukan zamannya lagi saling menunggu kabar tanpa suatu kepastian yang jelas. Sudah saatnya untuk bertindak daripada hanya berdiam diri. Sama halnya yang dilakukan Allun, tidak tahu apa yang dipikirkannya sehingga saat ini ia sudah berada di depan kontrakan Awan dkk. Paper bag warna putih menggantung di tangan kirinya. Pagi-pagi ia turun ke dapur hanya untuk membuat sarapan bagi penghuni kontrakan itu. Sudah sepuluh menit berlalu dan Allun masih saja diam di depan pagar hitam yang akhirnya terbuka dengan Sutikno atau biasa dipanggil Tikno yang hendak keluar membeli sarapan.
"Cari siapa, Mbak?" tanyanya dalam logat jawa yang kental.
Walau sudah hampir lima tahun tinggal di kota, cara berbicaranya masih sama seperti daerah asalnya.
Allun yang baru pertama kali melihat Tikno juga bingung mau menjawab apa, ia kembali melirik bangunan di depannya dan yakin bahwa ia tidak salah alamat karena pernah kemari sekali, "Toro?" jawabnya ragu.
Ia tidak tahu kenapa malah nama Toro yang melintas, mungkin saja bayangan Toro yang berbicara sewot padanya membuatnya mengatakan nama itu. Tikno terdiam sebentar sambil memperhatikan penampilan Allun yang pagi ini mengenakan jaket jeans dengan kaos bergambar beruang, dipadukan celana jeans pendek dan sepatu kets putih membuatnya terlihat seperti remaja SMA.
Mana mungkin Toro dapat perempuan seperti ini? Bukannya selera dia yang tua-tua?
Allun merasa risih dipandangi oleh laki-laki yang baru dikenalnya. Memang Tikno parasnya gagah dan manis khas orang Jawa tulen yang entah bagian mana. Tapi tetap saja, hal yang dilakukan Tikno sebenarnya tidak sopan.
"Gue kira Si Tikno lupa tutup pagar dan lama amat beli nasi padahal cuma di depan sana, ternyata ada lo Lun, kenapa?" sepertinya Lifa menyelamatkan keadaan. Allun segera tersenyum lebar padanya dan tentu saja Lifa dibuat kagum oleh hal itu.
Pantes Awan sarap udah sembuh dikit. Obatnya manis gini!!
"Allun bawa sarapan! Dimakan, ya?" katanya sambil menyerahkan barang bawaannya. Lifa segera menerimanya masih berusaha menormalkan rasa kagum sesaatnya.
"Buat Toro apa buat kita?" Tikno kembali menatap Allun dengan tatapan mengintimidasi.
"Apaan sih, No? Ini bukan kecengannya Toro!" seru Lifa mewakili Allun.
"Tapi tadi aku tanya cari siapa, dia bilang cari Toro. Eh Mbak, asal mbak tahu, ya! Bukan berarti selera Toro yang biasanya sama berumur jadi naik tingkat gara-gara dia kecengin Mbak! Bisa aja kan penampilan mbak dilucu-lucuin, tapi percuma kalau sifatnya Mbak itu matre! Mending Toro sama yang tua yang jelas hidup mandiri daripada sama yang suka morotin!"
Tikno ini sama dengan Toro pada saat pertama kali bertemu dengan Allun. Bawaannya negativ melulu, tapi dari situ Allun sadar suasana bahwa niat mereka adalah melindungi teman karib mereka. Setiap pribadi mereka ingin yang terbaik dan tidak mau sahabatnya kembali terluka seperti sebelumnya. Jangan harap Allun akan mengutamakan egonya yang baru bertemu sudah dimaki lalu dia akan menangis.
Hey? Bukankah Allun menempuh pendidikan psikologi? Jadi ia akan gunakan kemampuan materi selama ini untuk memahami seseorang.
Dari dalam rumah, Toro yang asyik mengepel mendengar namanya disebut-sebut kencang oleh Tikno pun keluar dan sedikit heran melihat Allun yang sedang diintimidasi oleh Tikno.
"Ada apa ribut-ribut? Kau? Allunan? Ada apa kemari?" tanyanya masih bernada sewot, khas Toro.
"Bawain kita sarapan, tapi Tikno malah marah-marahin dia-" Lifa menyahuti Toro.

KAMU SEDANG MEMBACA
Di ujung Senja (SELESAI)
قصص عامة"Maksudnya yang mana sih, Lun? " "Itu! Yang itu!" "Mana? Ada banyak orang di arah sana!" "Itu yang baca buku! Pakai kacamata frame hitam biru!" "Lo serius?! Jangan dia, Lun! Gue mohon!" Gadis itu tersenyum penuh binar pada seorang laki-laki yang sed...