24. Satu Langkah

289 31 0
                                    

Sudah seharusnya Allun bergerak cepat untuk segera mempertemukan Awan dengan Sharena. Bukannya mengulur waktu karena menganggap kondisi Awan sudah membaik. Menunda kini menjadi penyesalan berat bagi Allun. Kembali pada tempat di mana semua bermula; rumah sakit. Kabar datang dari Vena pagi tadi, Awan berniat mengiris urat nadinya. Sampai sekarang, tidak ada yang tahu motif Awan melakukan tindakan itu. Beruntung Awan belum merealisasikan untuk memotong urat nadinya karena Riko sudah lebih dulu mencegah Awan yang mulai melakukan pemanasan dengan membuat luka goresan yang mengakibatkan banyak darah yang merembes.

Dalam perjalanannya, Allun sudah menghubungi Sharena. Mengatakan bahwa tidak lama lagi teman yang waktu itu Allun ceritakan akan datang. Ia juga telah berbicara pada Dista beberapa hari yang lalu dan wanita itu mengucapkan banyak terimakasih pada Allun. Memberikan persetujuannya meski. harus kembali jauh dari Awan. Semua untuk kesembuhan Awan. Sekarang tinggal satu langkah lagi, yaitu persetujuan dari Awan langsung.

Sejak tadi Dista dan Allun berada di ruang tunggu IGD.  Awan sudah ditangani namun memerlukan waktu karena terpengaruh obat bius. Tidak perlu melakukan rawat inap karena lukanya tidak parah. Hanya butuh dijahit dan perban.

Tidak lama, seorang perawat mengatakan bahwa Awan sudah siuman. Langsung saja Dista dan Allun masuk ruangan. Tadi Riko yang membawa Awan ke rumah sakit lalu menghubungi Dista. Tapi sekarang laki-laki itu harus pamit karena mata kuliahnya akan dimulai.

"Awan?" Dista mengusap lembut rambut Awan. Dalam hati merasa sedih dengan kondisi putranya yang makin tidak terkendali.

"Rain?" Bahkan panggilan Allun tidak membuat Awan bereaksi. Laki-laki hanya diam menatap kosong ke arah depan. Posisi duduk bersandarnya juga tidak berubah. Awan kembali menjadi yang lain.

"Awan kenapa, Lun?" Suara Dista bergetar, wanita itu memandang Awan sendu.

"Rain? Kamu dengan Allun, kan?" Masih kembali mencoba, berharap Awan akan memberikan reaksi. Tapi harapannya sirna karena Awan tetap setia dalam kebungkamannya.

"Awan... Mama harus gimana lagi sama kamu?" Dista sudah putus asa tapi ia tidak mau melihat kondisi Awan yang terus seperti ini. Putranya itu sudah menanggung berbagai macam perasaan dan Dista merasa gagal menjadi ibu, tidak bisa ada di saat Awan membutuhkannya.

"Lun.. lakukan apa yang menjadi rencana kamu."

Suara yang terdengar mutlak itu membuat Allun terdiam. Ia memang sudah mengurus semua, tapi persetujuan Awan adalah hal yang terpenting.

"Jangan takut khawatir. Awan akan menerima keputusan itu karena Tante juga yang memberi persetujuan itu."

"Allun takut Rain kecewa.. "

"Tante paham kamu begitu menghargai Awan. Tapi keadaan sudah nggak mungkin lagi untuk mengulur waktu. Biar nanti saat Awan pulih, Tante yang akan jelaskan. Sudah diputuskan, Vena dan Venus akan ikut Awan ke Sidney. Sebenarnya Tante juga ingin, tapi suami Tante masih harus kerja di sini. Dimas juga masih menjadi tanggung jawab Tante."

Dista benar, sudah tidak ada waktu lagi. Semua perkiraan Allun jika Awan sudah dalam kondisi baik ternyata meleset jauh. Padahal baru minggu lalu keduanya dalam lingkaran romansa. Jangankan minggu lalu, kemarin malam Awan dan Allun masih sempat melakukan video call. Tapi pagi ini Allun melihat laki-laki itu seperti mayat hidup.

"Kapan berangkatnya?"

Senyum Dista terbit. Ia begitu menyayangi Allun yang begitu memperhatikan putranya, meski Awan bukan laki-laki yang sempurna.
"Besok Tante akan mengantar kembar dan Awan. Allun bisa ikut, kan?"

Allun menghela napas berat. Tidak mungkin ia bisa menyaksikan perginya Awan meski dirinya tahu kemana laki-laki itu akan pergi. Tapi rasa mengganjal di hatinya tidak bisa disingkirkan. Besok juga adalah ulang tahun Bima dan seluruh keluarga sudah bersedia hadir, kecuali keluarga Alfa yang berada di Sidney. Allun tidak ingin merusak suasana. Mungkin dengan acara itu bisa menjadi solusi untuk Allun menghindar.

Di ujung Senja (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang