Mobil itu terparkir dengan rapi di depan sebuah cafe yang cukup ramai pengunjung. Seorang pria keluar dari sana. Terlihat gagah dan penuh dengan wibawa dalam balutan pakaian kantor itu.
Langkahnya membawanya untuk memasuki cafe itu dan pandangannya mulai menyusuri seseorang yang akan ia temui. Sampai akhirnya ia melihat siluet seorang gadis yang duduk di meja paling pojok akhir dari cafe itu. Menatap keluar dari kaca disampingnya sembari menyesap kopinya.
Dan ia pun mulai berjalan mendekat hingga sampai di meja yang ditempati sang gadis. Membuat perhatian sang gadis kini teralihkan untuk menatapnya.
"Aku tahu, kau pasti akan datang kemari ketika aku menyuruhmu."
"Tidak perlu basa-basi. Aku sibuk." Ucapnya dan kini mengisi kursi kosong yang menghadap pada sang gadis.
"Ah, benar juga. Kau pasti sekarang disibukkan dengan pernikahanmu, bukan? Maaf kalau begitu. Aku mengganggumu."
Namjoon tak terlalu menanggapinya. Masih menunggu apa yang akan dikatakan Jiwoo hingga gadis itu memintanya untuk menemuinya.
"Tapi, aku ingin bertanya sekali lagi padamu." Jiwoo mendekatkan dirinya. Menumpu wajahnya dengan satu tangannya. "Kau benar-benar akan menikah dengan gadis itu dan meninggalkanku? Aku mencintaimu, dan kau tak bisa lakukan ini padaku, Namjoon. Jika kau terpaksa menikahinya--"
"Dengar." Namjoon memotong ucapan gadis itu. Ikut mendekat dan melakukan gestur yang sama seperti yang dilakukan Jiwoo. "Aku sama sekali tak terpaksa menikahinya. Jadi, jangan lagi temui aku dan mengatakan jika kau mencintaiku sementara kau masih memiliki pria lain di luar sana yang menggenggam tanganmu."
Jiwoo tanpa sadar menahan nafasnya mendengar ucapan panjang pria itu. Sedikit menjauhkan dirinya ketika senyuman pria itu berikan padanya.
"Kau menuduhku berselingkuh?"
"Tidak. Apa noona merasa melakukannya?"
"Kau menuduhku. Cih, apa gadis itu telah meracunimu sehingga kau bisa berpikiran seperti itu?"
"Lalu apa yang kulihat saat itu?"
Jiwoo sedikit terlonjak ketika nada suara Namjoon mulai meninggi untuknya. Oh, mungkin ini pertama kalinya ia mendengar pria itu membentaknya. Namjoon adalah tipe pria yang sangat lembut untuk urusan wanita. Maka dari itulah, banyak yang jatuh oleh pesonanya.
"K-Kau, apa kau baru saja membentakku? Dan itu semua karena gadis itu?"
"Jangan menyebutnya seperti itu. Noona tahu jika dia adalah calon istriku."
Namjoon beranjak. Sedikit menetralkan dirinya dengan tatapan yang belum lepas dari Jiwoo.
"Jangan temui aku lagi. Kita berakhir."
Dan setelah mengucapkannya, Namjoon benar-benar pergi dari hadapan Jiwoo. Mengakhiri hubungan yang telah mereka jalin sebelumnya. Meninggalkan gadis itu dengan sebulir airmata yang entah sejak kapan telah jatuh. Meninggalkan pula kemarahan sang gadis dengan satu tangannya yang terkepal.
"Kau tak bisa melakukan ini semua padaku, Namjoon."
.
.
Jennie tak tahu berapa kali ia menghela nafasnya lalu menghembuskannya kembali untuk menutupi kegugupannya. Tangannya masih menggenggam sebuket bunga mawar putih. Seolah melampiaskan kegugupannya pada buket itu.
Hingga sebuah tepukan pada punggung tangannya membuatnya mengalihkan pandangannya pada seorang pria paruh baya disampingnya. Iya, dia adalah seseorang yang membawanya keluar dari panti asuhan yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Sosok seorang ayah yang tak pernah Jennie dapatkan bahkan saat dirinya masih sangatlah kecil. Senyuman itu. Senyuman itu bahkan mirip sekali dengan pria yang mengisi hatinya.
"Kau gugup, sayang?"
"Bohong jika aku tidak gugup, appa. Appa tahu bagaimana sikap Namjoon Oppa padaku, bukan? Bagaimana jika aku melakukan kesalahan dan malah mengacaukan pernikahan ini? Appa, apa pernikahan ini tidak usah dilakukan? Aku hanya--"
"Sstt, dengarkan appa, sayang."
Jennie tidak menolak ketika Ayahnya memegang kedua bahunya dan menghadapkan dirinya pada sang Ayah.
"Pernikahan ini tetap harus dilaksanakan. Kau tidak perlu takut. Bukankah Namjoon menyukaimu? Dan appa yakin, kau adalah wanita yang terbaik untuknya. Kau akan menjadi istri yang baik untuknya nantinya."
Jennie belum menanggapinya. Lagi-lagi kata-kata itu diucapkan. Jika Namjoon menyukainya. Tapi, bagaimana Jennie bisa memercayainya jika sikap dan perlakuan pria itu padanya bertolak belakang? Apa ia bisa memercayai ucapan Ayah dan Ibunya? Entahlah, ia sedang bingung saat ini.
"Tidak perlu bingung, sayang. Kau hanya harus membuat Namjoon mengakui sendiri jika ia menyukaimu. Jika perlu, buat dia hanya menatapmu dan hanya mencintaimu."
Jennie masih diam. Hingga akhirnya ia mengangguk dan tersenyum tipis sebagai jawabannya.
Percakapan keduanya terhenti begitu saja ketika pintu dihadapan keduanya terbuka lebar. Dengan sebuah karpet merah terpasang panjang dihadapan mereka.
"Kau sudah siap, sayang? Ingat, jangan takut. Maka semuanya akan berjalan dengan baik-baik saja."
Jennie hanya mengangguk sekali. Namun kegugupan masihlah menghinggapi dirinya. Bahkan rangkulannya pada sang Ayah semakin mengerat setiap detiknya. Apalagi, kini beberapa tatapan mulai menatap pada dirinya yang mulai berjalan dengan iringan musik pernikahan. Pasalnya, ia tak terlalu mengetahui siapa-siapa saja yang diundang dalam pernikahan ini. Terlalu asing baginya.
Hingga tatapannya terhenti pada seseorang yang berdiri disana. Di atas altar sana dengan penampilannya yang membuat kerja jantung Jennie semakin tak karuan. Memang, apapun yang ada pada pria itu akan tetap menjadi pemicu pertama kerja jantung Jennie akan menjadi dua kali lebih cepat.
Langkah demi langkah semakin membuatnya gugup. Genggamannya pada buket bunga ditangannya juga semakin mengerat. Hingga ia tak menyadari jika dirinya telah sampai dihadapan sang pria. Ketika tangannya telah berpindah pada genggaman sang pria, degupan jantungnya semakin bertambah cepat
Ia ditarik mendekat. Berdiri sejajar dengan sang pria disampingnya. Dihadapan seorang pastur yang akan meresmikan mereka dihadapan Tuhan. Jennie tak terlalu memikirkan apapun saat ini. Hanya menuruti semua yang dikatakan sang Pastur padanya.
"Aku bersedia."
Dan satu kalimat itu telah meresmikan keduanya dalam sebuah ikatan pernikahan. Sepasang suami istri. Ya, itulah status mereka saat ini. Kim Namjoon adalah suaminya saat ini. Dan seluruh hidupnya akan ia habiskan untuk pria itu.
Lalu keduanya kini berdiri saling berhadapan. Saat tangan Namjoon mengambil salah satu tangannya untuk menyematkan sebuah cincin di jari manisnya. Tampak sangat indah dijari lentiknya itu.
Lalu berganti dengan dirinya yang kini mulai menyematkan cincin itu pada jari manis sang pria. Doa yang ia panjatkan saat menyematkan cincin itu terus ia rapalkan. Agar cincin itu akan terus tersemat di jari Namjoon selamanya.
Dan tiba saat yang ditunggu bagi semua orang. Ketika Namjoon mulai mendekat pada Jennie. Menangkup wajah gadis itu dimana Jennie tak terlalu mengharapkan apapun saat ini. Mungkin pria itu akan menciumnya dikeningnya. Ia pun menutup matanya. Menunggu apa yang akan Namjoon lakukan padanya.
Sedangkan Namjoon masih setia menatap wajah gadis itu yang menutup matanya. Ia mengecup kening gadis itu cukup lama. Benar bukan apa yang Jennie pikirkan? Tapi itu tak apa bagi Jennie. Hanya dikening saja dan gadis itu sudah sangat bahagia.
Namun semua itu menjadi tak terduga ketika Namjoon dengan cepat mempertemukan kedua bibir keduanya. Membuat Jennie membuka kedua matanya dengan cepat. Bahkan tepukan riuh orang-orang tak begitu ia pedulikan. Tatapannya masih tertuju pada wajah Namjoon yang begitu dekat dengannya. Menutup matanya dan tengah menelusuri area bibirnya saat ini. Membuatnya tak punya pilihan lain selain ikut menutup matanya.
Karena Jennie tahu, ini semua hanyalah suatu kebohongan saat Namjoon mencium bibirnya.
Karena Jennie tahu, Namjoon tak akan mungkin untuk menyukai ataupun mencintainya.
--To Be Continued--
KAMU SEDANG MEMBACA
a good wife ❌ namjen
Fanfiction[18+] ✔ Kim Nam Joon harus menikahi gadis pilihan ayahnya yang ia adopsi 16 tahun yang lalu. Tentu saja Namjoon tidak menyukai pilihan ayahnya tersebut karena dirinya yang memang tidak pernah menyukai kehadiran gadis itu saat ayahnya mengadopsinya 1...