Part 18

2.5K 220 6
                                    

Warna langit di atas sana telah berubah menjadi gelap. Namun bahkan Sungai Han masih saja ramai di datangi oleh orang-orang yang sekedar lewat ataupun menenangkan diri mereka sembari melihat pemandangan Sungai Han yang begitu tenang.

Jennie masih diam disana. Duduk berdampingan dengan Namjoon yang kini menatap ke arah depan. Tepatnya pada Sungai Han dimana Jennie juga melakukan hal yang sama.

Gadis itu terkesiap ketika merasakan jika bahu bagian kirinya saat ini terasa berat. Membuatnya melirik pada Namjoon disana yang kini menumpukan beban kepalanya pada bahu kecil itu.

Jennie tak menolaknya. Melirik pada tangan pria itu yang terulur padanya setelahnya. Tak butuh waktu yang lama bagi Jennie untuk mengerti apa maksud pria itu. Memilih untuk menerima uluran itu dan membuat tangan keduanya bertaut.

"Darimana Oppa tahu jika kita diikuti tadi?"

Namjoon tersenyum tipis mendengarnya. Belum menjawab pertanyaan Jennie padanya. Sementara Jennie tak mempermasalahkannya. Kini ikut menumpukkan kepalanya di atas kepala Namjoon yang masih bersandar padanya.

"Noona terlalu bodoh. Bahkan aku sudah menyadarinya ketika kita berangkat tadi. Dia benar-benar tak pandai bersembunyi."

Jennie hanya tersenyum tipis mendengarnya. Sebelum keheningan menelan keduanya. Tentunya dengan tautan tangan yang masih mereka tautkan.

"Jen..."

"Hmm?"

"Bagaimana jika kita pergi?"

Jennie masih diam. Belum menanggapinya.

"Maksudku, hanya berdua. Kau mungkin bisa menganggap itu sebagai bulan madu kita yang belum kita lakukan."

Jennie terdiam. Debar jantungnya kembali lagi. Selalu seperti itu. Berkaitan dengan Namjoon selalu membuatnya berdebar. Dan pria itu secara langsung mengajaknya untuk pergi bersamanya.

"Kau masih hidup, kan?"

Jennie mendengus. Terdengar kekehan dari Namjoon yang ia dengar sekarang.

"Mungkin akan jadi hobiku sekarang untuk menggodamu."

"Oppa..."

Tawa pelan Namjoon keluarkan. Membuat Jennie yang mendengarnya juga ikut tersenyum mendengarnya.

Keheningan kembali melanda keduanya. Masih dalam posisi mereka yang sama. Hingga pandangan keduanya beralih menatap pada langit di atas sana. Dimana ribuan kembang api bertaburan disana. Membuat malam hari menjadi indah dimata semua orang yang melihatnya.

Jennie menegakkan dirinya. Menatap takjub pada taburan kembang api disana. Bersamaan dengan Namjoon yang juga menegakkan dirinya dari bersandar pada bahu Jennie.

Mungkin kembang api di atas sana memang indah. Tapi dimata pria itu, senyuman gadis yang merangkap sebagai istrinya itu lebih indah.

Tangannya bergerak alami menyentuh kepalanya. Membuat Jennie kini mengalihkan pandangannya pada Namjoon disana. Terdiam karena tatapan pria itu.

Mata keduanya masih bertaut. Dengan tangan sang pria kini beralih mengelus kepala sang gadis. Tangan besar milik sang pria tak lagi mengelus kepalanya. Terus turun menyampirkan helaian rambut milik gadisnya agar ia lebih leluasa untuk melihat wajah cantiknya.

Jennie menutup matanya. Membiarkan dirinya merasakan sentuhan Namjoon pada kedua pipinya saat ini. Dan saat ia membuka kedua matanya, saat itu pula ia merasakan jika pria itu mendekat padanya. Bahkan ia sama sekali tak berpikir jika bibirnya akan merasakan kembali kehangatan bibir milik pria itu. Deru nafas sang pria yang menyentuh wajahnya, serta kedua mata yang tertutup untuk merasakannya.

Dan melihat itu semua, Jennie ikut menutup matanya perlahan. Saat ciuman itu berubah semakin intens dan membuatnya tak bisa melakukan apapun selain menerima semuanya. Menerima semua kasih sayang dan sentuhan lembut dari ciuman itu.

.

.

Pandangan pria itu tak ada hentinya dan terus saja mengikuti gadis dihadapannya saat ini. Berjalan dihadapannya mondar-mandir dan tampak terlihat gusar.

Ia menghela nafasnya. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Dengan segelas ice americano yang selalu menemaninya.

"Noona, bisakah kau berhenti mondar-mandir di depanku?"

Suara sang pria bahkan hanya angin lalu bagi gadis itu. Membuat sang pria mendengus karena ucapannya di abaikan.

"Noona--"

"Akh!"

Yoongi terkejut. Dengan cepat beranjak dan meletakkan begitu saja gelas yang ia pegang pada meja dihadapannya untuk menghampiri Jiwoo disana yang terduduk dengan memegangi betis kirinya yang baru saja terbentur oleh sudut meja.

"Cih, gadis bodoh." Gumamnya dan perlahan mulai mengamati sedikit memar pada betis gadis itu yang seingatnya tadi jika Jiwoo terbentur cukup keras.

"Apa noona bodoh? Bukankah aku sudah mengatakan untuk tidak mondar-mandir?"

Jiwoo mendengus. Menyempatkan dirinya untuk memukul kepala pria itu dan menyebabkan ia merintih dengan tatapan kesalnya.

"Lalu siapa yang membuatku seperti ini? Kalau kita tidak ketahuan tadi, sudah pasti rencana kita akan berhasil tadi. Aku bahkan sampai harus mencari cara lain sekarang."

"Itu rencanaku."

"Ck, cepat bantu aku. Ini sakit sekali."

Pria itu benar-benar tak ada pilihan lain selain membantu gadis itu. Dan Jiwoo terkesiap ketika tubuhnya di angkat begitu saja dengan mudahnya.

"Y-Ya, apa yang kau lakukan?"

"Apa lagi? Noona bilang ingin aku membantu noona."

Dan pria itu pun membawa Jiwoo untuk duduk pada sofa yang ia duduki sebelumnya. "Tunggu disini sebentar." Dan dengan perintah itu, Yoongi pun berlalu dari Jiwoo.

Gadis itu mendengus kembali. Meringis kembali sembari menatap pada betisnya yang memar. Bodoh. Ia sedang merutuki dirinya saat ini yang terbentur seperti anak kecil.

Menit berikutnya, ia bisa melihat Yoongi yang kembali padanya dan dengan sebuah wadah yang Jiwoo sendiri tak tahu apa isi di dalamnya.

Gadis itu hanya mengamati pria itu dengan matanya. Berlutut dihadapannya dan Jiwoo meringis setelahnya ketika Yoongi baru saja mengompres memarnya dengan sebuah kain yang ia yakini sudah berisi beberapa buah es batu.

"Sshh, pelan-pelan."

"Tahan saja."

Jiwoo masih menatapnya disana. Ringisannya sudah tak terdengar lagi dan membuat hening di antara keduanya.

"Bagaimana ibumu?"

Dan mendapat pertanyaan itu, Yoongi mendongak. Namun kembali mengalihkan pandangannya. "Sejak kapan noona peduli pada ibuku?"

"Apa aku tak boleh bertanya, huh? Ck, dasar menyebalkan."

Yoongi menghela nafasnya. "Setidaknya, dia lebih baik dari apa yang kudengar bulan lalu dari Jungkook."

"Lalu Jungkook?"

"Dia baik-baik saja. Kuliahnya juga lancar."

Jiwoo hanya mengangguk sekali menanggapinya. Mulai menyandarkan dirinya pada sofa yang ia duduki.

Sementara Yoongi memilih untuk fokus kembali untuk mengobati Jiwoo. Mendongak hanya untuk melihat bagaimana keadaan gadis itu yang kini diam. Bukan Jiwoo namanya jika tak bicara.

Dan pikirannya benar. Gadis itu sudah terlelap disana. Membuatnya menghela nafasnya setelahnya. "Bagus. Dia semakin menyusahkan saja sekarang."

Yoongi mendecak sebelum meletakkan kain itu pada wadah di atas meja. Menghela nafasnya kembali sebelum mengangkat tubuh Jiwoo kembali dan membawanya ke kamar utama. Membaringkan gadis itu di atas tempat tidurnya dan menyelimutinya.

"Setidaknya, aku tak akan pernah berani untuk mematahkan lehermu walaupun aku sangat ingin. Kau terlalu banyak membantu untukku dan keluargaku."


--To Be Continued--

a good wife ❌ namjenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang