III

9.2K 1K 37
                                    

"Apa yang harus aku pelajari, Okaa-san?" tanya Sasuke sambil menutup bukunya. Ia duduk bersila ketika Mikoto memutuskan untuk duduk di hadapan meja kecilnya. Lantai kayu sedikit berderit karena beban meskipun Mikoto termasuk wanita yang kurus.

Malam itu, setelah menyelesaikan makan malam keluarga, Sasuke memutuskan untuk membaca novel fiksi yang ia pinjam dari perpustakaan Itachi, kakanya. Sang ibu mengantarkan secangkir teh hangat karena mengira ia tengah mempersiapkan diri untuk besok.

"Kau tidak tertarik untuk mempelajari hukum dan pemerintahan, Sasuke-kun?" tanya wanita berambut raven itu antusias setelah membaca judul buku di atas meja. Sasuke tidak sedang belajar.

"Aku sudah belajar dengan Itachi-nii sejak tadi siang di rumahnya," jawab Sasuke dengan senyum lembut yang hanya ia tunjukkan pada keluarganya.

Mikoto tertawa, bahkan wanita itu tetap terlihat anggun. Tangan kanannya terulur membelai lembut pipi kiri Sasuke. Ia memandang anak laki-lakinya dengan haru. Ia masih tak menyangka waktu akan berjalan begitu cepat. Rasanya beberapa hari lalu adalah terakhir kali menggendong Sasuke balita. Sekarang, anak laki-laki itu telah menjelma sebagai pemuda yang gagah.

Sasuke menangkup tangan ibunya, perlahan menurunkannya, lalu menggenggam erat tangan Mikoto. Permukaan kulit sang ibu sedikit kasar dan berkeriput.

Sasuke memandang wajah wanita itu. Sekilas, tak banyak perubahan yang terlihat. Namun, paras itu tak lagi sekencang dulu dengan guratan tipis di sekitar kelopak matanya. Mikoto telah mengalami tanda-tanda penuaan yang tak terelakkan. Meski begitu, wanita berbalut gaun berwarna kuning dengan lengan lonceng itu tetap ayu di mata Sasuke.

"Okaa-san," panggil Sasuke lembut.

"Ada apa, Sasuke-kun?" sahut Mikoto.

"Okaa-san ingin aku menjadi putra mahkota?" tanya Sasuke. Ia mencari jawaban itu di wajah ibunya. Ia hanya mulai meragu.

"Kaa-san dan Tou-san tidak menuntut apapun, Sasuke-kun," kata Mikoto menenangkan. Ia meraih kedua tangan Sasuke dan meremasnya.

"Jika kau tak menginginkannya, kau tak perlu berusaha begitu keras. Jika kau melakukannya untuk negeri ini, kami juga akan merestuimu," jelasnya lagi. Ia tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Lagian, gelar bukan satu-satunya hal yang istimewa di dunia ini. Bukankah begitu, Sasuke-kun?"

"Benar."

Sasuke memandang genggaman tangan mereka. Hatinya terasa menghangat.

"Arigatou, Okaa-san."

🏰
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Istana mendadak ramai dipadati oleh banyak orang. Beberapa tandu, pasukan berkuda, hingga kereta kencana berhenti di depan pintu gerbang istana. Semuanya terlihat mewah.

Sasuke hanya diantar oleh sahabat-sahabatnya dengan menunggang kuda. Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat para pemuda yang telah mendaftar sebagai calon putra mahkota.

Sasuke banyak mengenal mereka, anak-anak pejabat istana sama seperti dirinya. Kebanyakan memandang sinis ke arah Sasuke yang notabene tidak menduduki kursi pemerintahan seperti mereka. Pekerjaan di medan perang dan kepolisian masih diremehkan oleh sebagian penduduk istana sekalipun seperti Naruto yang notabene anak perdana menteri.

"Neji Hyuga," tunjuk Shikamaru pada Sasuke ketika sebuah tandu terakhir datang. Tandu dengan dominan warna putih dan hitam dihias lambang klan Hyuga empat sisi.

Beautiful Glows (Sasusaku)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang