3. Irvan Sebastian

14.1K 423 3
                                    

Menurut penjelasan Papa, Irvan Sebastian adalah anak pertama dari Tante Sofi, teman Papa dan Mama sewaktu muda. Aku tidak tahu Tante sofi karena keluarga Irvan menetap di Nyc. Irvan baru saja menyelesaikan gelar magisternya di salah satu universitas ternama di Nyc. Aku dan Irvan terpaut usia 4 tahun.

Irvan pulang ke Indonesia atas permintaan orangtuaku. Sebenarnya aku benci mengakui ini tetapi ternyata orangtuaku meminta Irvan menjagaku sekaligus meminta Irvan untuk sementara mengelola perusahaan menggantikan kedudukan orangtuaku karena mereka akan membuka cabang di pusat kota New York dan urusan mereka itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Sebelum ini terjadi, 2 hari sebelumnya aku diberikan pilihan oleh orangtuaku antara ikut mereka ke New York atau tetap di Indonesia. Tentu saja saat itu aku memilih untuk tetap di Indonesia karena aku memikirkan pendidikanku yang sudah setengah jalan. Aku tidak mau cuti karena bila aku cuti, aku tidak bisa wisuda dengan Winda.

Aku tidak percaya dengan ini tetapi pria itu sekarang sedang bersamaku. Kami berada di bandara karena ternyata orangtuaku berangkat malam ini juga. Sedari tadi Winda terus menelponku menanyakan aku datang atau tidak. Tentu saja ku jawab datang karena setelah pesawat yang ditumpangi orangtuaku lepas landas, aku akan langsung kesana.

“Van, jaga Dewi baik-baik.” pesan Papa kepada Irvan.

“Siap Om. Irvan janji tidak akan mengecewakan, Om dan Tante.”

Setelah itu, aku memeluk mereka satu persatu. Tidak ada haru atau tangis disini, mungkin beberapa orang akan menangis ketika menghadapi perpisahan tetapi sepertinya tidak berlaku untukku. Aku seperti sudah terbiasa hidup tanpa mereka.

Ku lambaikan tanganku kepada orangtuaku sebagai tanda perpisahan lalu setelah itu aku melihat ke arah Irvan, pria itu nampak sedang memerhatikan kepergian orangtuaku. Perlahan namun pasti, kakiku melangkah mundur, Irvan masih belum menyadarinya. Setelah aku berada tepat dibelakangnya, ku putar tubuhku lalu berlari secepat yang ku bisa.

“Dewi!”

Aku berlari seraya tak bisa menahan tawa karena sepertinya Irvan menyadari aku kabur darinya. Aku terus berlari melewati banyak orang, tidak sedikit yang memerhatikanku dan entah sudah berapa orang yang hampir aku tabrak, aku tidak peduli.

Aku tidak mencoba melihat kebelakang walaupun dalam hati aku ingin memastikan Irvan mengejarku atau tidak. Setelah mencapai parkiran, aku membunyikan alarm mobil Winda.

Tadi siang, setelah pertemuanku resmiku dengan Irvan selesai. Aku izin keluar dengan alasan membeli peralatan yang aku butuhkan untuk dinas dan orangtuaku memberiku izin tanpa curiga. Setelah itu, aku segera menghubungi Winda dan mengatur strategi ini karena aku menduga setelah orangtuaku pergi, Irvan akan terus mengekoriku dan aku yakin Irvan tidak akan mengizinkanku pergi ke klub.

“Dewi!”

Aku melihat Irvan berada tidak jauh dariku, jarak kami hanya terhalang dua mobil saja. Aku terkejut melihat wajahnya yang terlihat ingin menerkamku. Ku buka pintu mobil Winda, aku sedikit tenang ketika berhasil masuk tetapi Irvan juga berhasil menyusulku dan sialnya aku lupa mengunci pintu mobil sehingga Irvan juga berhasil masuk.

Deru napasku dan Irvan saling bersahutan. Irvan terus menatapku tetapi ia belum mengatakan sepatah katapun, kami seakan masih sibuk mengatur napas agar kembali normal. Aku sebenarnya merasa kesal karena ia berhasil mengejarku.

“Apa yang kau pikir sedang kau lakukan ini, Dewi?” tanya Irvan seraya membuka jaket yang ia kenakan menyisakkan kaos berwarna hitam. Kaos yang dipakai Irvan nampak ketat, aku bisa melihat lengannya yang berotot dan perutnya yang sixpack.

Ku hembuskan napasku dengan malas, “Tentu saja aku ingin pulang,”

“Kau bisa pulang denganku,”

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang