11. Tidak Ada Ampun

7.3K 273 0
                                    

"Aku akan memberitahumu di rumah. Sekarang mari ku antar kau ke depan." ucapnya dengan kaki yang sudah siap untuk berdiri. Namun suaraku menginterupsi gerakannya.

"Bagaimana kalau aku tidak mau pulang?" ucapku sedikit menantang. Ia tidak bisa mempermainkanku begitu saja. Ia harus memberitahuku sekarang juga apapun yang terjadi.

Irvan nampak diam berpikir, cukup lama. Ku perhatikan, Ia sudah dua kali buang nafas kasar lalu sekarang muncul seringaian dari wajahnya. Aku tidak mengerti dengan ekspresinya namun tak lama setelah seringaian itu muncul, Irvan berkata, "Kau mau ku cium?" ucapnya yang lebih terdengar seperti pernyataan daripada pertanyaan.

Lalu dengan gerakan cepat, Irvan menggeser tubuhnya lebih dekat denganku kemudian tangannya meraih bagian belakang leherku.

Tentu saja mataku menajam menatapnya melakukan hal itu, ia benar benar sudah gila. Ku tepis tangan kirinya yang seenaknya memegang bagian belakang leherku.

"Kau memang sudah gila." ucapku ketus lalu segera berdiri kemudian melangkah meninggalkan ruangan. Aku akan pulang.

Irvan tidak memanggil atau mengejarku, sepertinya ia memang benar-benar ingin aku pulang. Hmm aku tidak berharap ia akan mengejarku. Oh astaga tentu saja tidak.

Selama perjalanan pulang, entah sudah berapa kali aku menahan untuk tidak menghubungi Papa. Aku penasaran, Papa sudah tahu masalah ini atau belum.

Ah sebaiknya ku tunggu saja dulu penjelasan dari Irvan walaupun aku masih tidak yakin ia akan menceritakannya padaku atau tidak.

"Biii.." panggilku ketika memasuki rumah.

Aku selalu memanggil Bi Murni karena sebenarnya aku penakut. Aku tidak mau sendirian di rumah.

Tidak ada jawaban.

Ku panggil sekali lagi, "Biiiii.." kali ini lebih kencang.

Tidak ada jawaban.

Kuputuskan untuk menghampiri kamarnya. Biasanya jam segini Bi Murni sedang menonton acara dangdut favoritnya.

Tok tok tok

Ceklek

"Loh Bibi mau kemana?" tanyaku heran ketika Bi Murni keluar kamar membawa tas jinjing besar berwarna hitam.

"Neng Dewi sudah pulang?"

Aku menarik napas, "Bibi mau kemana?" tanyaku penuh penekanan.

"Bibi mau pamit pulang, Neng."

"Loh kok mendadak Bi?"

"Iya Neng. Anak Bibi di kampung lahiran."

"Tapikan ini sudah malam, Bi." ucapku berusaha untuk mencegahnya untuk pulang.

Masalahnya, aku tidak bisa tidur jika di rumah hanya sendiri. Aku juga tidak bisa memastikan Irvan pulang atau tidak.

"Biar besok pagi sampai di kampung, Neng."

Aku menghela napas, aku tidak bisa mencegah lagi kalau Bi Murni sudah berkeinginan kuat untuk pulang.

"Bibi mau ke terminal sama siapa?"

"Sama ojeg depan komplek, Neng."

"Dewi antar saja Bi," tawarku. Sepertinya aku akan kembali lagi ke kantor daripada di rumah sendirian.

"Jangan, Neng."

"Sudah, Bi. Ayo."

Ajak ku seraya menarik tangan Bi Murni. Tipe orang seperti Bi Murni memang harus dipaksa.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang