30. Menolak Bertemu

5.9K 252 19
                                    

Ku lambaikan tanganku untuk menghentikan kendaraan roda dua yang ku yakini tukang ojek. Kejadian ini seperti sebelumnya, ia tidak mengejarku. Aku tidak melihat ada tanda-tanda ia datang padahal aku menunggu kendaraan yang kuhentikan saat ini cukup lama. Hatiku semakin berkecamuk memikirkannya.

"Kemana, mbak?" tanya tukang ojek itu ketika aku hendak duduk di jok motornya.

"Jalan dulu saja, mas." ucapku seraya menutupi wajahku.

Aku masih tidak percaya telah meneriaki Irvan dengan sebutan bajingan. Aku mungkin kasar namun ia pantas mendapatkannya. Tidak ada satu wanita pun yang terima kalau dirinya dipermainkan, dibohongi atau bahkan diperdaya oleh rayuan dengan tujuan tertentu.

Aku mungkin akan mengurung diri setelah ini. Aku sungguh tidak ingin bertemu dengannya apalagi kalau harus mendengarkan penjelasannya. Biarkan semua orang tahu termasuk orangtuaku agar mereka tidak menyuruh Irvan untuk menjadi sopir sementaraku dan tidak mengizinkan Irvan memasuki rumahku atau bahkan mendekatiku.

Aku bahkan sudah membayangkan kalau Papa akan menghabisi Irvan sejadi-jadinya bila sampai tahu kalau aku dibuat menangis olehnya. Ah tidak-tidak akan lebih baik kalau mereka tidak mengetahuinya karena ini memalukan untuk diketahui banyak orang.

"Kita kemana, mbak?" tanya tukang ojek itu lagi.

"Ke jalan patimura nomor 12." ucapku.

Setelah aku menyebutkan alamat rumah, tukang ojek itu mengendarai motornya dengan cepat, salip sana salip sini. Kalau kata Winda, jangan heran dengan tukang ojek atau kendaraan umum lainnya kalau kebut-kebutan atau bahkan ugal-ugalan karena mereka tengah mengejar target.

Aku tidak memprotes ketika mengingat perkataan Winda yang satu itu dan memilih untuk berpegangan ke besi yang ada di bagian belakang jok motor. Ada untungnya juga tukang ojeknya mengebut karena aku bisa cepat sampai di rumah.

"Makasih, mas." ucapku seraya memberikan uang seratus ribu.

"Kembaliannya, mbak." teriak mas ojek ketika aku langsung pergi begitu saja saat melihat pak Hadi membuka pintu gerbang.

"Tolong ambilkan, pak." ucapku kepada pak Hadi ketika berlari melewatinya.

Aku berlari memasuki rumah. Ini jam istirahat jadi orangtuaku sudah pasti masih di kantor. Aku membuka pintu seperti mendobraknya sehingga menimbulkan suara yang keras ketika pintu membentur tembok.

"Ada, apa neng?" tanya Bi Murni.

Ia tampak berlari dari dapur ke arah depan, wajahnya tampak terjekut dan khawatir. Astaga apa yang sudah aku lakukan hingga membuatnya khawatir seperti itu. Aku ingin bicara padanya namun suasana hatiku sungguh sedang buruk.

Aku mengabaikannya lalu melanjutkan langkahku menuju tangga, aku ingin cepat membanting tubuhku ke atas kasur dan membenamkan wajahku disana, menangis meraung-raung meratapi semuanya.

Namun sebelum aku berhasil menaiki tangga,

"Hei, nak. Ada apa denganmu?" tanya Papa ketika aku dengannya bersitatap.

Sial mereka ada di rumah.

"Neng Dewi..." panggil Bi Murni tepat ketika kakiku menginjak tangga kedua.

"Loh ada apa ini." ucap Mama yang masih bisa ku dengar.

Aku terus menaiki tangga dengan bendungan air mata yang akan tumpah kapan saja kalau aku berkedip. Pandanganku sedikit kabur karena bendungan air yang ada di pelupuk mataku namun aku berusaha keras untuk tetap fokus menaiki satu persatu anak tangga demi cepat sampai di kamar.

Brak!

Aku melakukannya lagi namun kali ini aku melakukannya ketika menutup bukan membuka. Ku kunci pintu kamarku kemudian kubanting tubuhku diatas kasur tanpa mau melepas sepatu yang masih melekat di kakiku.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang