15. Secarik Kertas Misterius

6.4K 239 4
                                    

Semilir angin malam dan taburan bintang di langit seakan menyita fokusku untuk tertuju memandangnya. 

Malam ini, ditemani manisnya hot vanilla aku berada di rooftop rumahku. Aku biasa berada disini jika sedang mengerjakan tugas kuliah karena jujur saja bila mengerjakan tugas di kamar hanya dalam waktu 5 menit saja mataku seperti disihir supaya mengantuk.

Kurang lebih satu minggu lagi praktek klinik akan selesai namun aku belum menyelesaikan satu tugaspun padahal seharusnya aku sudah menyelesaikan 4 tugas sesuai dengan ruangan yang aku lewati yaitu ruang HD, ICU, dalam, dan bedah.

Lusa aku akan pindah ke ruangan terakhir yaitu ruang OK atau ruang operasi. Jadi sebisa mungkin malam ini dan besok aku harus menyelesaikan semua tugas yang sebelumnya ku abaikan.

Namun, sudah dari tadi aku disini belum satu laporanpun yang berhasil aku selesaikan karena mataku yang tidak ingin beralih dari indahnya warna langit malam ini.

"Wii..."

Aku menengok sekilas ketika ada yang memanggil namaku. Yah siapa lagi kalau bukan Irvan.

Aku akan ceritakan sedikit kelanjutan tadi sore. Aku sangat kesal padanya karena ia memaksaku untuk menunggu Pak Hadi walaupun aku tidak ingin.

Pak Hadi sampai dalam waktu satu jam dan begitupun dengan perjalanan ke rumah memakan waktu  satu jam juga jadi kami menghabiskan waktu 2 jam dengan percuma karena seharusnya kalau tidak macet kami akan sampai dalam waktu 20 menit. Kalau saja ia tidak sedang sakit sudah ku tinggalkan ia di klinik.

Sesampainya di rumah aku tidak mengucapkan satu katapun padanya dan langsung berjalan dengan langkah cepat saat menuju kamar.

Aku tidak peduli ia akan meminum obatnya dengan apa karena memang tidak ada makanan. Jangankan makanan, bahan makanan saja tidak ada. Aku tidak tahu, Bi Murni sengaja mengerjaiku atau memang tidak sempat untuk belanja bahan makanan.

Dan sekarang ia baru menemuiku, semoga ia merasa bersalah tapi itu tidak mungkin. Seorang Irvan tetaplah Irvan dengan segala keangkuhannya. Astaga padahal tadi sore aku sudah mulai baik padanya tapi pria itu sepertinya tidak pantas di perlakukan baik baik.

"Wiii..." panggilnya lagi. Kali ini dengan sedikit penekanan.

Aku menarik napasku sebelum memutar tubuhku. Aku harus punya tenaga yang lebih banyak untuk menghadapi pria seperti Irvan.

"Aku lapar." ucapnya ketika kami baru saja berhadapan.

See? Ia memang tak akan menanyakan bagaimana perasaanku. Ia tidak akan menanyakan apakah aku marah atau tidak oh astaga bahkan sepertinya kata maaf sangat jauh dari orang ini.

"Pesan online saja apa susahnya." ucapku ketus.

"Lalu untuk sarapan besok pagi?" tanyanya lagi.

Aku diam berpikir. Kalau besok aku libur jadi aku tidak terlalu memikirkan tentang sarapan namun Irvan masih tetap berangkat ke kantor.

"Jadi apa maumu?" tanyaku balik.

"Kita belanja saja untuk minggu ini." sarannya.

Dengan spontan satu alisku terangkat satu. Bisa-bisanya ia berpikir sampai sejauh itu. Aku bahkan tidak terpikir kesana. Baiklah -baiklah berhubung aku ini baik hati dan tidak sombong akan ku setujui.

"Tapi aku masih banyak tugas. Kau saja yang belanja." ucapku seraya menunjuk laptop dan satu buah buku bimbingan praktek klinik yang ku simpan di sofa.

"Soal tugas nanti aku bantu." ucapnya menawarkan diri.

"Memangnya kau mengerti?" tanyaku.

"Kau hanya tinggal bilang saja padaku apa yang harus aku kerjakan."

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang