18. Insiden Kopi Tanpa Gula

6.1K 255 7
                                    

Mataku sepenuhnya tertuju pada langit indah yang ku pandang melalui dinding kaca yang berada di ruangan Irvan. Cuaca hari ini bisa dikatakan mendung karena matahari masih bersembunyi dibalik awan putih seakan enggan berjalan sendiri untuk menyinari dunia.

Irvan, pria itu tidak ada disini ketika aku datang begitupun dengan sekretarisnya. Aku tidak tahu kemana perginya mereka berdua. Namun yang jelas sekarang aku sedang mencoba mengerjakan tugas dengan perasaan malas. Aku harus merelakan pemandangan indah di luar sana demi selesainya tugas sialan ini.

Aku sedang mengerjakan laporan dinas di ruang hemodialisa. Itu ruangan pertamaku yang artinya masih ada tiga laporan lagi yang belum aku kerjakan. Ku buka satu persatu jurnal, e-book, website kesehatan yang ada di internet. Sebenarnya yang harus ku lakukan hanya copy paste saja namun terasa begitu berat.

"Kau sudah lama?" tanya Irvan dari arah pintu masuk.

"Maaf, tadi aku ada meeting." sambungnya.

Aku diam tak menanggapinya dengan kata-kata ataupun gestur tubuh. Sejujurnya aku sudah tidak dendam lagi hanya saja aku masih tidak ingin bicara padanya namun kalau aku tidak bicara bagaimana tugas ini akan selesai.

"Kau marah padaku?" tanyanya seraya mengusap kepalaku.

Aku menghela napas panjang seraya memejamkan mataku. Perasaan macam apa ini! Kenapa hatiku terasa mencelos ketika nada suara Irvan melemah. Astaga ia juga melakukan kontak fisik yang lembut padaku.

Segera ku tepis tangannya seraya berkata, "Aku sudah mengerjakan satu laporan. Sisanya kau yang kerjakan. Aku sudah catat diagnosa medis pasienku disetiap ruangan. Lembar asuhan keperawatannya biar aku yang kerjakan."

"Kau mau kemana?" tanya Irvan ketika aku menyerahkan tugasku kemudian berjalan menuju pintu.

"Aku ingin mencari sarapan." ucapku tanpa menoleh ke arahnya.

Setelah mengatakan itu, aku keluar ruangan. Tentang ucapanku akan mencari sarapan memang benar adanya. Di rumah, aku sepenuhnya kehilangan minat untuk sarapan namun setelah mengerjakan tugas, aku merasa sangat ingin makan dengan porsi super.

Ku lihat Wian sedang sibuk dengan keyboard komputernya tetapi ia masih tetap menyempatkan untuk menyapaku. Tadinya aku ingin bertanya dimana aku bisa mendapatkan makanan yang enak di sekitar kantor namun aku tidak sampai hati mengganggunya yang tengah bekerja.

Jadilah sekarang aku sedang berkeliaran di sekitar kantor tanpa arah. Disini hampir sama sibuknya dengan di rumah sakit namun bedanya disini mereka sibuk dengan mesin tetapi di rumah sakit sibuk dengan manusia. Mereka kerja satu lingkungan tetapi nampak jarang komunikasi satu sama lain sedangakan kalau di rumah sakit setiap tindakan harus selalu komunikasi.

Aku ingin bertanya dimana aku bisa menemukan kantin di kantor ini namun semuanya nampak sibuk. Sepertinya aku harus turun ke bawah menemui resepsionis. Lift nampak senggang jadi aku bisa cepat sampai.

"Mbak, saya mau tanya. Kalau kantin di sebelah mana ya?" tanyaku to the point.

"Disini tidak ada kantin untuk umum. Kalau anda perlu makanan bisa membelinya di luar." jelas resepsionis itu dengan kurang ramah.

Aku memutar tubuhku tanpa mengatakan sepatah katapun lagi. Astaga bisa-bisanya ia direkrut jadi seorang penerima tamu. Dengan perasaan dongkol, aku berjalan keluar untuk melanjutkan pencarianku.

Namun ketika aku berhasil keluar, yang pertama ku lihat adalah parkiran yang luas dan gerbang yang nampak masih jauh. Aku baru sadar setelah memerhatikannya. Bodohnya, aku lupa membawa kunci mobilku. Lebih baik aku kembali ke ruangan.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang