7. Irvan Terlalu Berlebihan

9.3K 313 1
                                    

"Dok, apakah lukanya parah?"

Samar-samar aku mendengar ada suara didekatku. Perlahan ku buka mataku, aku sedikit merasa pusing dan mual namun itu tidak terlalu terasa dan aku masih bisa menahannya. Ini mungkin akibat benturan yang sebelumnya aku dapatkan.

Aku tidak mengalami disorientasi tempat sehingga aku tahu sedang berada dimana. Ini sebuah IGD rumah sakit tempatku praktek.

"Dew, kau tidak apa-apa?"

Ku tengokkan kepalaku kesebelah kanan tepat dimana Irvan berada. Pria itu terlihat cemas, dan aku ingin sekali memakinya kalau saja aku tidak lebih dulu melihat dokter yang aku kagumi.

"Biar saya periksa dulu,"

Dalam hati aku berteriak kegirangan ketika dokter bernametag Farhan itu memeriksa mata dan detak jantungku. Astaga ini seperti pantun yang sering ku baca, dari mata turun ke hati. Aku tidak bisa menahan senyumku ketika menatap dokter Farhan.

"Siapa namamu?" tanyanya.

"Dewi Silvia,"

"Kau tahu ini dimana?"

Aku mengangguk, "Di rumah sakit," ucapku.

Astaga mengapa aku begitu terbawa perasaan padahal aku tahu bahwa apa yang ia tanyakan adalah untuk mengetahui orientasiku baik atau tidak. Aku merasa tidak ingin pulang tetapi aku tahu bahwa aku sudah boleh pulang karena aku tidak mengalami komplikasi yang membuatku lebih lama disini.

"Mas, tolong keluar sebentar. Saya akan memeriksa pasien," ucapnya kepada Irvan.

Aku mengernyit mendengar dokter Farhan meminta Irvan untuk keluar dengan alasan untuk pemeriksaan. Jangan lupakan kalau aku ini mahasiswa fakultas kesehatan walaupun masih dibilang anak bawang, sedikit banyaknya aku tahu pemeriksaan apa saja yang dokter lakukan dan tadi menurutku sudah cukup. Aku akan diperiksa apalagi?

"Baik dok," ucap Irvan.

Ku kira pria itu akan menolaknya tetapi diluar dugaanku ia sangat menurut. Keluarga pasien biasanya memang selalu menurut kepada dokter, akupun tidak tahu mengapa mereka seperti itu. Mungkin karena butuh.

"Dewi, apa kau masih sering merasakan sakit pada kepala sebelah kananmu?" tanya doker Farhan.

Aku merasa aneh mendengar nada suara dan kata sering yang ia ucapkan. Nada suara dokter Farhan sangat berbeda dengan tadi ketika ada Irvan dan seharusnya ia mengatakan apakah aku merasakan sakit dikepalaku atau tidak, bukan mengatakan masih sering sakit atau tidak.

Ku rasa tidak mungkin Irvan memberitahu dokter Farhan tentang kecelakaanku dulu karena pria itu jelas tidak mengetahuinya.

"Lukamu tidak parah, hanya tergores saja tetapi kau mengalami-"

"Aku pernah mengalami kecelakaan parah sebelumnya dan aku mengalami trauma yang sampai sekarang belum bisa aku tangani," sahutku memotong ucapannya.

Aku bukan curhat melainkan agar dokter Farhan tahu bahwa ini bukan kasus baru tetapi kasus lama. Ku lihat dokter Farhan menghela napas panjang. Aku tidak mengerti dengan reaksinya namun aku juga tidak bisa menanyakan mengapa ia bereaksi seperti itu.

"Baiklah aku sudah resepkan obat untukmu. Ku harap kau meminum habis obatnya dan cepat sembuh," ucapnya.

"Dok, tunggu." ucapku ketika dokter Farhan akan membuka gorden yang menutupi bilik tempatku.

Dokter Farhan membalikkan tubuhnya seraya mengatakan, "Kau merasakan sakit?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Bolehkan aku meminta surat izin sakit?" tanyaku padanya.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang