34. Liburan Rahasia

5K 236 33
                                    

Ku kira setelah duduk di pesawat debaran jantungku akan tenang tetapi ternyata rasanya sama ketika diriku menginjakkan kaki di bandara. Jantungku berdebar-debar seperti baru pertama kali naik pesawat hanya karena aku pergi tanpa sepengetahuan orangtuaku dan Irvan.

Ini merupakan keputusan yang paling berani dalam hidupku. Aku berniat akan memberitahu orangtuaku pada hari kedua aku di jogja. Awalnya aku tidak akan memberitahu mereka sama sekali tetapi Winda melarangku melakukannya karena ia tidak mau disalahkan oleh orangtuaku.

Padahal aku sudah meletakkan surat di atas tempat tidur untuk kedua orangtuaku tetapi tetap saja Winda menyuruhku untuk mengabari mereka setelat-telatnya pada hari kedua dan mau tidak mau aku harus menurutinya.

Aku, Winda dan Reno duduk bersama atas permintaanku. Kami mengambil penerbangan pagi agar aku bisa keluar rumah tanpa sepengetahuan orangtuaku kecuali Pak Hadi, ia jelas mengetahuinya ketika aku hendak keluar dari gerbang.

Aku keluar memakai pakaian olahraga agar Pak Hadi tidak banyak bertanya. Ketika keluar dari gerbang rumah aku mengatakan akan olahraga keliling komplek lalu ia langsung membukakan gerbang untukku. Beruntungnya aku mempunyai penjaga rumah yang baik hati. Semua barang-barangku sudah ada di rumah Winda lengkap dengan kopernya.

Aku membawa ponselku tetapi sengaja ku nonaktifkan begitupun dengan Winda dan Reno yang ku suruh untuk melakukan hal yang sama karena mungkin saja orangtuaku akan menghubungi mereka setelah mendapati nomorku tidak aktif.

Kalau masalah Irvan, aku tidak mengkhawatirkannya karena dalam surat yang ku tulis aku meminta kedua orangtuaku untuk tidak memberitahu Irvan kalau aku pergi berlibur. Aku memohon kepada mereka untuk memberikanku waktu bersama teman-temanku. Semoga saja kali ini orangtuaku lebih toleran dengan keputusanku.

"Are you ready, Ew?" tanya Reno ketika pramugari memberitahu kepada kami bahwa pesawat akan take off.

"Yes." sahutku seraya tersenyum tipis.

Baiklah aku hanya harus menikmati perjalanan ini. Jangan tanya kemana Winda, ia sudah memakai penutup mata ketika baru saja duduk di pesawat. Menurutnya berada di dalam pesawat adalah hal yang paling menegangkan terutama ketika pesawat take off dan landing. Jadi, tidur adalah solusi yang tepat untuknya walaupun aku tidak yakin kalau ia benar-benar tidur.

Sebelumnya Winda selalu meminum obat tidur kalau bepergian tetapi karena kali ini kami berlibur di dalam negri yang waktu jarak tempuhnya kurang lebih 2 jam jadi aku melarangnya melakukan kebiasaan tersebut.

Aku meminta duduk di dekat jendela agar bisa melihat awan dalam jarak yang dekat. Kumpulan awan-awan putih mampu membuatku tersenyum walaupun hatiku belum sepenuhnya baik. Aku selalu penasaran bagaimana rasanya memegang awan. Apakah bisa di pegang atau tidak itu masih menjadi misteri. Salahkan aku yang selalu absen ketika pelajaran geografi.

"Kau belum memberitahuku dimana penginapan kita." ucapku kepada Reno.

"Kita tidak boleh mengobrol." sahutnya berbisik.

"Aku tahu kau bosan." sambungnya seraya memberikan headphone yang ia pakai padaku.

Aku menghela napas mendengar jawabannya. Aku tahu ia hanya beralasan saja karena sedaritadi penumpang yang ada di sebrang tempat duduk kami selalu mengobrol ya walaupun aku sedikit terganggu. Baiklah Reno benar kita tidak boleh mengobrol disini karena mungkin saja mengganggu penumpang yang lain.

Ku sempatkan untuk memotret pemandangan awan putih yang indah di langit biru. Ah ya, aku lupa mengambil foto kami bertiga ketika masih di jakarta. Ini semua karena rasa gelisah yang ku rasakan sehingga tidak mampu terpikir apapun.

Like a BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang